Bagi Andriy Shevchenko, Italia merupakan tempat yang indah. Semasa aktif bermain, lelaki Ukraina ini mereguk banyak kesuksesan di sana saat berseragam AC Milan.
Apakah hal serupa bakal dirasakannya lagi ketika kembali ke Negeri Spaghetti tetapi dengan label pelatih?
Laga melawan Empoli pada giornata 12 Serie A 2021/22 menjadi akhir kebersamaan Davide Ballardini dengan Genoa.
Meski terhindar dari kekalahan, laga yang berakhir dengan skor 2-2 tersebut sudah cukup untuk menyudahi periode keempat sang allenatore bersama Il Grifone.
Hubungan Ballardini dan Genoa terbilang cukup unik. Dalam empat periodenya, ia datang saat kompetisi tengah bergulir.
Hebatnya, Ballardini selalu berhasil mempertahankan eksistensi Il Grifone di Serie A.
Ironisnya, manakala ia dipercaya menukangi Genoa dari awal musim seperti pada musim 2018/2019 lalu dan musim ini, langkahnya justru terhenti di tengah jalan.
Ballardini memang dikenal sebagai pelatih yang hampir tidak bisa menyelesaikan musim dengan penuh.
Baru sekali ia tercatat menangani tim semusim penuh yakni saat membesut Sambenedettese pada musim 2004/2005, musim pertamanya sebagai pelatih profesional.
Performa rival sekota Sampdoria musim ini memang kurang memuaskan. Mereka hanya mengantongi satu kemenangan, enam kali imbang, dan lima kekalahan dari 12 giornata.
Akibatnya, Genoa tersungkur di urutan ke-17 klasemen sementara alias satu tingkat di atas zona degradasi.
Poin mereka sejatinya sama dengan Sampdoria yakni sembilan poin. Namun Domenico Criscito dan kolega unggul selisih gol.
Sementara jarak dengan Cagliari yang menghuni dasar klasemen cuma tiga poin saja.
Setelah mendepak Ballardini, manajemen Genoa lalu menunjuk Shevchenko sebagai suksesor.
Seperti yang saya tuliskan di paragraf awal, penggila calcio, khususnya pada era 1990-an dan 2000-an pasti mengenal siapa Shevchenko.
Ia direkrut Milan dari Dynamo Kiev dan menjadi tulang punggung I Rossoneri di sektor depan.
Ratusan gol Shevchenko bukukan dan banyak gelar yang didapatkan, baik individu maupun kolektif, bersama Milan. Dirinya adalah legenda hidup kesebelasan yang kini diasuh Stefano Pioli tersebut.
Kembalinya Shevchenko ke Italia dengan status berbeda membuat penggemar Serie A penasaran.
Bisakah ia meraih kesuksesan seperti dahulu di saat tugasnya adalah memberi instruksi dari tepi lapangan, bukan menjalankan instruksi yang diberikan?
Apalagi Genoa menjadi klub profesional pertama yang ia tangani karena sebelumnya hanya menukangi Tim Nasional Ukraina.
Saat menahkodai Ukraina, Sheva, sapaan akrabnya, bisa dikatakan cukup sukses setelah mengantarkan negaranya itu lolos ke babak perempatfinal Piala Eropa 2020.
Capaian tersebut merupakan yang pertama kalinya untuk negara bekas wilayah Uni Soviet.
Melatih timnas dan klub adalah hal yang berbeda. Di level klub, Shevchenko dihadapkan pada laga yang lebih banyak serta intens sehingga menimbulkan kesulitan lebih tinggi.
Menariknya, petualangan Shevchenko di Stadion Luigi Ferraris nanti juga diikuti oleh orang yang ia kenal sejak di Milan, Mauro Tassotti.
Sebelum sama-sama merapat ke Genoa, Shevchenko dan Tassotti sudah bekerja sama di timnas Ukraina.
Pengalaman luar biasa Tassotti di bidang kepelatihan serta pemahamannya akan taktik bisa membuat pekerjaan Shevchenko lebih mudah.
Dengan target sintas, sebetulnya Genoa sudah memiliki skuad yang cukup kukuh musim ini.
Berdasarkan situs Transfermarkt, terdapat 34 pemain di skuad dengan rata-rata usianya 27,6 tahun.
Il Grifone memang cukup aktif dalam mendatangkan pemain di bursa transfer kemarin. Dilihat dari jumlahnya, Genoa bisa dibilang surplus pemain.
Dengan jumlah pemain sebanyak itu, Shevchenko kudu berhati-hati dalam mengevaluasi kemampuan seluruh pemainnya.
Bila proses evaluasi sudah dijalankan secara tepat, ia bisa membentuk komposisi terbaik dalam skuad guna bertarung dan menyelesaikan misi bertahan di Serie A.
Dalam beberapa musim terakhir, Genoa memang kerap bongkar pasang pemain. Mungkin inilah salah satu penyebab performa tim yang tidak stabil tiap musimnya.
Saat masih ditukangi Ballardini saja, starting eleven Genoa selalu berbeda tiap pekannya. Apakah hal tersebut bikin Genoa kesulitan menemukan konsistensinya?
Praktis, hanya ada tiga nama yang selalu turun sejak menit pertama dan menjadi andalan saban pekan. Mereka adalah Salvatore Sirigu, Criscito, dan Nicolo Rovella.
Ketiga pemain di atas, bersama Andrea Cambiaso dan Yayah Kallon menjadi pemain yang selalu dimainkan Ballardini dalam 12 giornata awal.
Kendati Genoa peninggalan Ballardini meninggalkan banyak lubang, setidaknya ada sejumlah hal positif yang diwariskan pelatih berkepala plontos tersebut.
Selain Rovella yang berusia 19 tahun, Cambiaso (21), dan Kallon (20), Ballardini juga memberi banyak kesempatan main kepada Flavio Bianchi (21), Aleksander Buksa (18), Zinho Vanheusden (22), dan Johan Vasquez (23).
Artinya, sang mantan allenatore memberi kesempatan cukup luas bagi para pemain muda untuk meningkatkan kemampuan serta menambah jam terbangnya. Hasilnya pun tidak mengecewakan.
Rovella menjelma sebagai motor permainan tim dan sukses mengemas tiga asis. Cambiaso yang bisa menempati posisi bek sayap kanan maupun kiri sudah mengukir satu gol dan dua asis.
Kallon lewat kecepatan dan skill individunya telah mengemas dua asis. Vasquez yang mengawal lini belakang ikut menyumbang satu gol saat bersua Sassuolo.
Sementara Bianchi ikut menyelamatkan Genoa dari kekalahan lewat gol penyama kedudukannya pada laga melawan Empoli.
Selain dihuni oleh anak-anak muda, skuad Il Grifone juga dijejali sejumlah penggawa veteran yang bisa membimbing para juniornya.
Selain Sirigu dan Criscito, masih ada nama Milan Badelj, Valon Behrami, Mattia Destro, Federico Marchetti, Andrea Masiello, dan Goran Pandev di tubuh skuad.
Maka tugas Shevchenko adalah memadukan para pemain tua-muda tersebut agar menjadi unit yang pulih tanding.
Dengan begitu, Genoa bisa memamerkan aksi yang lebih paripurna sehingga tidak berada di tempat mereka sekarang.
Shevchenko juga mesti membenahi permasalahan di sektor pertahanan. Hingga giornata ke-12, jala Sirigu sudah bobol sebanyak 24 kali!
Hal itu membuat Genoa melejit sebagai salah satu kesebelasan dengan pertahanan terburuk di Serie A.
Bila melihat statistik kepelatihan Shevchenko kala mengarsiteki Ukraina, dari 52 pertandingan yang dijalani, timnya kebobolan 62 kali!
Catatan tersebut jelas kurang oke buat Genoa yang kudu membereskan masalah di lini belakang.
Selain sektor pertahanan yang kurang tangguh, Sheva mesti membenahi mentalitas skuad Genoa.
Selama ini, mereka acap tertinggal lebih dahulu dari lawannya. Pengecualian terjadi saat bersua Empoli.
Meski tidak selalu berakhir dengan nirpoin, alangkah bagusnya jika kebiasaan tertinggal ini bisa dikurangi. Dengan begitu, kans menggamit angka akan lebih besar.
Genoa bisa saja membentuk mentalitas kukuh dan semangat pantang menyerah yang adiluhung, tetapi melihat situasi saat ini, Il Grifone lebih membutuhkan koleksi poin secepat-cepatnya.
Formasi 4-3-3 atau 3-5-2 yang biasa digunakan Shevchenko ketika menukangi Ukraina cocok untuk diterapkan di Genoa jika melihat ketersediaan skuad yang dimiliki. Apalagi skema tersebut juga sudah dipakai Ballardini pada musim lalu dan musim ini.
Memilih Il Grifone barangkali sebuah pertaruhan besar bagi Shevchenko. Ia dihadapkan pada situasi tim yang sedang tidak baik-baik saja pada debutnya melatih sebuah klub.
Mempertahankan eksistensi klub yang sudah berusia 128 tahun ini di Serie A adalah kewajiban. Terlebih, mereka sudah bertahan di puncak piramida sepakbola Italia selama 15 musim terakhir.
Datang di tengah musim dengan skuad yang bukan pilihannya, menanggung ekspektasi segudang serta memanggul harapan sintas menjadi awalan yang penuh ujian bagi Shevchenko.
Langkahnya bisa semakin terasa berat kalau melihat tujuh lawan Genoa di Serie A hingga akhir tahun nanti.
Ada AS Roma, Udinese, Milan, Juventus, Sampdoria, Lazio dan Atalanta. Di atas kertas, mereka adalah yang tidak mudah bagi Criscito kawan-kawan.
Selamat berjuang, Sheva. Semoga sukses.