Siapa yang tak kenal dengan Ronaldinho. Aksi dribble yang indah, dan nutmeg yang dapat mempermalukan lawan, hingga umpan-umpan spektakuler adalah suatu hal yang tak dipisahkan saat nama Ronaldinho disebutkan. Tak terhitung sudah berapa banyak orang yang mengagung-agungkan Ronaldinho sebagai sesosok yang dapat menggebrak monotonnya sebuah taktik. Ia tak terduga, ia tak terhentikan, ia adalah idola.
Hal tersebut berhasil ia tunjukkan selama di Eropa. Barcelona, klub yang punya andil membesarkan namanya, tentu akan terus mengenang sosok fenomenal ini. Alasannya, berkat aksinya Barcelona terbantu dalam merajai Liga hingga Eropa. Torehan trofi telah ia raih sebagai bukti kontribusinya. Dengan senyumnya yang hangat, ia kemudian menjadi idola publik karena permainan dan personality-nya yang berimbang. Hal ini kemudian membuat banyak klub berebut mendapatkan tanda tangannya. Baik di Eropa, hingga di benua Amerika. Setelah Barcelona, AC Milan kemudian menjadi klub yang beruntung. Setelah Milan, ia kemudian kembali lagi ke benua Amerika dengan status sebagai idola dunia.
Ia kemudian pulang sebagai pahlawan. Di Brasil, ia diidolakan. Tiket ludes, penonton bergemuruh, dan klub terus meraup keuntungan dari penjualan kostumnya. Namun, Ronaldinho di benua Amerika berbeda dengan Ronaldinho di benua Eropa. Jumawa bisa menyerang siapa saja, bahkan untuk Ronaldinho sekalipun. Pernah bermain di klub besar dan di kompetisi sebesar Liga Champions sedikit banyak mengubah pandangannya di benua Amerika. Tiga klub Brasil: Flamengo, Atletico Mineiro, Fluminese; dan satu klub Meksiko: Queretaro, menjadi korban atas jumawanya Ronaldinho.
Kedatangan Ronaldinho di semua klub itu selalu berakhir mirip. Membuat penonton bersorak-sorai sambil membayangkan aksi solo dribbling-nya seperti saat di Barcelona. Saat kehadirannya telah dipastikan, bangku penonton selalu penuh. Semua ingin menjadi saksi nyata bagaimana saktinya seorang Ronaldinho dengan kedua mata mereka sendiri. Mereka berharap banyak kepada Ronaldinho.
Namun, Ronaldinho begitu menganggap remeh klub yang ia bela di benua Amerika. Ia lebih suka ke klub malam dibandingkan ke tempat latihan. Ia lebih keras dalam berpesta dibandingkan bermain bola. Ia lebih suka wanita dibandingkan sorak-sorai penggemarnya (yang mungkin ada wanitanya juga). Nama besarnya ia manfaatkan untuk menikmati hidup mudah di negeri asalnya.
Saking remehnya, kemudian ia tak sungkan-sungkan mengatakan kepada Wanderlei Luxemburgo, eks manajer Flamengo, suatu hinaan yang tak pantas. “you’re s***, you’re poor… I own three aeroplanes”.
Tiga klub Brasil: Flamengo, Atletico Mineiro, Fluminese; dan satu klub Meksiko: Queretaro, menjadi korban atas jumawanya Ronaldinho.
Tak masalah kemudian jika ia dapat menunjukkan kontribusinya di Flamengo, namun hal yang terjadi malah sebaliknya. Kontroversinya sendiri memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan kontribusinya. Hal ini kemudian membuat penggemar tiap tim yang ia bela merasa gerah dengan gaya hidupnya ini. Ia kemudian menerima cacian dan makian sebagai buah kekesalan penonton. Wakil Presiden Flamengo, Paulo Cesar Coutinho, bahkan sampai kesal setengah mati akan sikap Ronaldinho ini. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa ia dibohongi oleh Ronaldinho karena meminta empat hari izin untuk mengunjungi ibunya, padahal dia pergi ke pesta.
“Who do you thing will win? Flamengo is 100 years old. Ronaldinho doesn’t do a f*****g thing,” ujar Paulo Cesar Coutinho.
Tak tahan atas perilakunya, Ronaldinho “dibuang” ke Atletico Mineiro dua tahun setelah diboyong dari AC Milan pada tahun 2010. Di Mineiro, sikap semena-menanya menjadi-jadi. Meminum Pepsi saat press conference Atletico Mineiro (yang jelas-jelas merupakan rival sponsor Mineiro, Coca-Cola), hingga kontroversi yang saya sebutkan sebelumnya. Di Mineiro performanya tak kunjung membaik. Menyaksikan Ronaldinho bermain seperti di Barcelona ataupun Milan adalah suatu hal yang sangat jarang. Bahkan, ia kemudian sering terlihat bingung dalam membuka kesempatan saat timnya menyerang. Hal ini membuat Mineiro kesal, dan lalu memutuskan kontrak pada tahun 2014.
Berikutnya, adalah kisah-kisah pemecatan yang terjadi. Queritaro hanya tahan semusim dalam menghadapi Ronaldinho. Bahkan, klub terakhir yang ia bela hanya mampu menghadapi segala tingkah lakunya selama tak genap dua bulan, sejak diputus kontrak oleh Queritaro pada jendela musim panas lalu.
Menyedihkan kemudian menyaksikan Ronaldinho menderita dan karirnya pula terbunuh secara tragis. Ia dibuang, seolah hampir tak ada lagi klub yang membutuhkannya, selain untuk menaikkan penjualan kostum dan menjual tiket pertandingan. Menyedihkan kemudian mengingat bahwa Ronaldinho di Eropa dan di benua Amerika adalah dua sosok yang berbeda. Menyedihkan mengingat karirnya kemudian terbunuh begitu saja akibat sikap jumawanya.
Kini, Ronaldinho tampaknya akan meminta pilotnya merencanakan penerbangan ke India.