Manifestasi Mimpi Francis Coquelin

Ketika peluang mulai menguap dan beratnya usaha menggapai mimpi menghajar mentalmu dengan telak, manusia cenderung jatuh dan putus asa. Apa yang dibutuhkan untuk menemukan kepercayaan diri? Bagi Francis Coquelin, berserah dan ikhlas adalah jawaban. Pemuda dari Laval, Prancis, tersebut memanifestasikan kekecewaan menjadi senjata utama.

Hijrah ke Inggris pada usianya yang ke-16, Coquelin harus berpisah dari keluarga dan rekan-rekannya. Tinggal sendiri di sebuah hotel, terasing dari bahasa ibu, dan menggayang menu makanan yang berbeda membuatnya menderita. Belum lagi soal latihan Arsenal, yang ia sebut bagai “perang”. Mahir dalam judo dan tenis, Coquelin sadar bahwa ia harus beradaptasi.

Bersama skuat young Gunners, Coquelin menjuarai Youth Cup pada tahun 2009. Skuat tersebut berisisi nama-nama potensial. Seperti Jack Wilshere, Henri Lansbury, Jay Emmanuel-Thomas, Gilles Sunu, Luke Ayling, dan Kyle Bartley. Mereka adalah talenta-talenta muda yang bersaing meraih kesempatan untuk mekar.

Sayang, hanya Coquelin dan Wilshere yang benar-benar mekar sempurna dan menghiasai taman London Colney, lokasi latihan Arsenal. Wilshere sendiri langsung melejit, masuk ke skuat utama, dan mendapatkan kesempatan manggung di pergelaran Liga Champions.

Salah satu laga yang menegaskan bakat besar Wilshere adalah ketika menjamu Barcelona pada 16 November 2011. Berhadapan dengan Andres Iniesta dan Xavi Hernandez tidak membuat Wilshere gentar. Pemuda dari Inggris tersebut tetap kokoh dan yang paling memabukkan mata adalah kemampuannya bertahan menghadapi kebintangan dua dinamo raksasa Catalan tersebut.

Wilshere mencatatkan 93% umpan sukses di sepertiga lapangan lawan. Malam itu, Arsenal ditopang oleh pemuda 19 tahun dan gelar Man of the Match layak ia sandang.

Lantas bagaimana dengan nasib Coquelin? Pemain yang sekarang mendapatkan nick-name “Pitbull” tersebut harus mau “disekolahkan”. Persaingan ketat di lini tengah mengharuskan Coquelin angkat koper dan “dipulangkan” ke Prancis untuk merumput bersama FC Lorient. Selanjutnya, Coquelin diterbangkan ke Jerman untuk bermain bersama SC Freiburg.

BACA JUGA:  Rio Fahmi: Mesin Asis Timnas di Laga Pertama SEA Games 2023 Kamboja

Memahami situasi sulit yang ada di depannya, maka tidak heran apabila terlintas niat untuk hengkang di benak Coquelin.

“Pikiran tersebut terlintas di pikiran saya, (yaitu) untuk hengkang di jendela transfer akhir tahun (2014), tapi saya tidak ingin hanya sekadar pergi. Jika saya hengkang, saya ingin pergi untuk tujuan yang baik. Setelah berpikir demikian, saya sangat fokus untuk Arsenal tapi saya tahu saya pilihan kesekian di dalam skuat, jadi saya fokus untuk bekerja lebih keras bahkan jika saya tidak masuk dalam skuat,” kata Coquelin.

Pasrah, namun dalam kalimatnya tersirat tekad yang membaja. Menerima keadaan, pasrah, dan lipatan pengalaman dimanifestasikan dalam kerja keras. Jujur membuka diri akan cobaan dan membaptis diri dalam proses kerja yang panjang justru membantu Coquelin menggali bakat dan potensi terbaiknya.

Hingga akhirnya, trigger yang diharapkan mulai terbentuk. Arsene Wenger menyadari perkembangan dalam diri Coquelin dan memberi lampu hijau ketika si anak didik minta dipinjamkan.

Pemuda yang lahir pada tanggal 13 Mei 1991 tersebut menyambut tawaran bermain untuk Charlton Athletic. Bersama klub yang berlaga di divisi Championship tersebut, Coquelin berkembang lebih baik. Mendapatkan kepercayaan dari pelatih dan rekan-rekannya, Coquelin membayarnya dengan tuntas.

“Selama satu tahun setengah di sini mungkin menjadi waktu terbaik yang saya dapatkan karena saya melewati pengalaman yang berat di Jerman dan di Charlton mereka memberi saya kesempatan mencicipi sepak bola. Saya merasa diinginkan dan pelatih memang menginginkan saya. Para rekan satu tim sangat percaya dengan saya,” kenang Coquelin.

Proses panjang penemuan karakter dan effort besar yang sudah Coquelin keluarkan berbuah manis. Dick Law meminta Coquelin kembali ke Arsenal yang ditinggal Mikel Arteta karena cedera.

BACA JUGA:  Apakah Alex-Oxlade Chamberlain Mampu Bermain Sebagai Gelandang?

Sampai sebelum telepon-pengubah-takdir tersebut datang, Coquelin sudah pasrah dengan keadaan dan mencoba fokus dengan Charlton. Bermain untuk tim utama The Gunners hampir menguap dari prediksi si Pitbull, apalagi menjadi pemain kunci di lini tengah. Inilah proses kehidupan, memahami keadaan, menimba pengalaman, berserah diri, dan tetap bekerja keras membawa seseorang ke level pengakuan yang lebih tinggi.

Dahulu, bagi Coquelin, tim utama Arsenal adalah dunia fantasi, yang tidak nyata dan sulit digapai. Kini, Coquelin adalah bagian penting dari dunia tersebut. Manifestasi Coquelin adalah soal kerja keras dan dedikasi.

Pada akhirnya, manifestasi kekecewaan membantu Coquelin membuka kebenaran dalam diri, membuka tabir karakter yang ditempa keadaan. Penemuan karakter terbaik terasa manis setelah bergelut dengan cobaan dalam waktu yang panjang. Demikian manifestasi Francis Coquelin.

#COYG

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.