Disemai oleh Johan Cruyff, disiram dan dipupuk oleh Luis Aragones, dan dirawat sekaligus dipanen oleh Vicente del Bosque. Benih ide sepak bola Spanyol dalam wujud terbaiknya mengakar dengan kuat.
Paradigma Cruyff yang tertanam dalam konsep Totaalvoetbal masih sangat terasa meski sudah diterjemahkan ke dalam beragam konsep ide. Degup Juego de Posicion, sebuah ide bermain bola dengan tujuan yang jelas menjadi denyut pasti sepak bola warisan Cruyff.
Gaung pesepak bola terbesar yang pernah dimiliki Belanda beresonansi dari liang kuburnya.
Adalah La Masia, kawah candradimuka, sebuah panteon syahdu tempat anak-anak muda dari penjuru dunia dipoles. Mereka dibentuk, disiapkan untuk menaklukkan arena yang chaos, keras, bahkan kejam berwarna hijau dengan perpaduan goresan garis-garis warna putih yang tegak lurus.
Bertemu untuk berpisah
Di belakang bayang kebesaran La Masia terdapat sebuah klub amatir yang punya andil dalam sebuah pergerakan besar di Spanyol. Sebuah revolucion de futbol yang menghasilkan satu Piala Dunia, dua Piala Eropa, dan para artisnya yang wara-wiri di panggung Ballon d’Or.
Adalah Antiguoko Kirol Elkartea. Sebuah klub amatir bersahaja yang terletak kira-kira 500 kilometer dari La Masia. Klub kecil ini merupakan feeder dari Real Sociedad, terletak di sebuah area dengan darah Basque yang kental, San Sebastian, bernama Antiguoko. Dalam bahasa Spanyol, antiguoko berarti ‘antik’.
Dan di daerah yang berbatasan langsung dengan teluk Biscay ini, Mikel Arteta dan Xabi Alonso jatuh cinta dengan sepak bola.
Xabi Alonso Olano, lahir dari keluarga dengan nuansa sepak bola yang lekat. Ayahnya, Periko Alonso masih aktif bermain untuk SE Sabadell ketika Xabi lahir. Catatan prestasi Periko Alonso semasa masih aktif bermain sendiri cukup mengesankan. Tercatat, ia pernah tiga kali memenangi La Liga.
Kecintaan ayahnya akan sepak bola diwariskan dengan sempurna. Ketika sudah fasih berjalan sendiri menggunakan dua kakinya, Xabi kecil langsung akrab dengan si kulit bulat. Koneksi yang terbangun antara dirinya dengan bola menggambarkan bakat besar yang seperti terlahir secara alami.
Jika garis nasib pesepak bola Xabi seperti sudah turun-temurun, proses membuka kotak bakat Mikel Arteta Amatriain sedikit berbeda. Pemain berambut klimis tersebut tidak mempunyai darah sepak bola dari keluarganya. Ia mengasah sentuhan-sentuhan lembut dan kecepatan berpikirnya di jalanan.
Kedua bocah ini bertemu di lapangan berpasir, di tepi pantai La Concha, San Sebastian. Di sini, keduanya banyak bermain sebagai lawan. Saling mengadu kebolehan dan ketangkasan, sembari melontarkan ejekan-ejekan manja ala bocah. Dari persaingan para bocah, keduanya membangun hubungan persahabatan yang erat.
Maka, ketika datang tawaran dari Antiguoko, keduanya menyambut dengan riang gembira. Berawal dari rival bau kencur di lapangan berpasir, Arteta dan Xabi justru mampu menjalin komunikasi yang ciamik ketika berduet di lapangan tengah.
Kombinasi keduanya masih diingat sebagai kombinasi yang mendekati alami. Mereka berdua mendikte permainan. Jangkauan umpan dan akurasi yang sangat baik untuk ukuran bocah membuatnya menguasai lapangan tengah dengan mudah. Berbagai juara di turnamen usia muda mereka gapai dengan begitu mudah.
Sering, ketika sedang tidak berlatih atau bertanding, keduanya akan asik tenggelam dalam lamunan. Arteta dan Xabi sama-sama membangun impian berduet lagi di lapangan tengah Real Sociedad. Namun impian hanya menjadi kenangan ketika takdir ditulis dengan gaya yang berbeda.
Ketika pulang dari program pertukaran pelajar di Iralandia, Xabi mendapatkan kabar bahwa ia dan Arteta tidak akan dapat bermain bola bersama-sama lagi dalam waktu yang akan lama. Kedua sahabat dipisahkan mulai dari titik ini.
Arteta mendapatkan tawara dari La Masia. Barcelona menyodorkan tawaran bagi Arteta untuk bermain bagi tim B. Xabi paham bahwa impian bermain bersama untuk La Real tidak akan terwujud apabila Arteta menerima tawaran Barcelona. Tapi ini Barcelona, sebuah entitas yang memang jauh lebih besar ketimbang Sociedad.
Arteta dan keluarganya tak kuasa menampik tawaran El Barca. Apalagi, Arteta tak bisa menampik pesona berlatih bersama Pep Guardiola, sosok pahlawan si bocah. Dan memang, ketika melakoni debut untuk tim cadangan Barcelona, Arteta masuk menggantikan Guardiola. Debut impian yang sempurna.
Xabi sendiri tak berlama-lama di Antiguoko. Tawaran dari klub impiannya akhirnya datang juga. Real Sociedad menawarkan kontrak bagi Xabi. Proses adaptasi Xabi dengan Sociedad terbilang mulus lantaran sang kakak sudah lebih dahulu bergabung dengan akademi Sociedad. Kakak tertua Xabi bernama Mikel Alonso.
Ya, nama yang sama seperti nama sahabatnya, yang kini tengah menimba ilmu warisan Cruyff yang termasyhur. Sahabat yang kini terpisah 500 kilometer ke arah selatan dari San Sebastian.
Perkembangan dua matador muda
Xabi remaja benar-benar mencurahkan hidupnya untuk mengembangkan kemampuannya. Meski bakat besar seorang pesepak bola sudah mengalir deras dalam darahnya, Xabi menyadari bahwa dedikasi di lapangan latihan adalah bahan bakar terbaik untuk mencapai impiannya.
Ia sadar betul akan menderita. Namun ia juga sadar semua akan terbayar. Dan memang begitu adanya. Segala peluh dan kesah itu terbayar ketika Javier Clemente, pelatih Sociedad ketika itu memberi Xabi debutnya bersama tim senior. Saat itu, Xabi baru saja menapaki usia 18 tahun. Usia ideal untuk mentas bersama tim utama.
Namun kebahagiaan tak terbangun dalam semalam. Meski kemampuannya mengoper bola begitu disukai, Xabi harus sadar bahwa ia masih harus terus belajar. Tawaran untuk dipinjamkan ke Segunda Division bersama SD Eibar diambil. Masa peminjaman yang tak terlalu sukses, namun memberi perubahan besar untuk Xabi.
Saat itu bulan Januari, ketika pelatih baru Sociedad, John Toshack menarik pulang Xabi di tengah-tengah masa peminjamannya. Pelatih dari Wales tersebut tengah berada dalam situasi sulit. Ia mendapatkan mandat yang cukup berat: membawa Sociedad bertahan di Primera Division.
Toshack menaruh kepercayaan kepada kemampuan Xabi untuk mengendalikan lini tengah. bahkan, manajer yang lahir di Cardiff tersebut memberikan ban kapten kepada seorang remaja, yang baru berusia 19 tahun, dan sebelumnya masih berada dalam masa peminjaman di Segunda.
Perjudian tersebut dimenangi Toshack. Ketenangan Xabi jauh melampaui usianya. Seorang pemuda berusia 19 tahun, menjadi pusat semesta Sociedad. Memang, Xabi tak seorang diri menyelamatkan La Real. Namun, keberadannya begitu penting. Ia seperti mampu menarik keluar potensi-potensi para rekan.
“Saya tak tau lagi mantan pemain akademi mana yang bisa memberikan dampak sebesar Xabi terhadap tim. Semua pemain nampak bermain lebih baik ketika ada dia di atas lapangan,” ungkap Toshack ketika mengenang keajaiban tersebut. Xabi berpengaruh besar terhadap keberhasilan Sociedad menghindari jerat degradasi.
Lalu, apa yang terjadi dengan Arteta?
Arteta masih berjuang di Barcelona B. Sayang, kariernya bersama Barcelona tak berjalan mulus. Ia terancam dilepas tanpa sempat membela tim senior. Bukan karena kemampuannya yang tak berkembang. Namun, menggeser Philip Cocu, Luis Enrique, Pep Guardiola, dan bintang muda, Xavi Hernandez adalah pekerjaan yang sangat berat.
Mengetahui ia bakal kesulitan mencongkel nama-nama tersebut dari lini tengah Barcelona, Arteta menerima tawaran bermain di Paris Saint-Germain sebagai pemain pinjaman. Sama seperti Xabi, durasi peminjaman ini memberikan dimensi baru dalam diri Arteta, terutama dalam perkembangannya sebagai playmaker.
Di bawah asuhan Luis Fernandez, Arteta mempelajari peran baru. Ia bermain lebih ke depan. Peran baru ini cocok dengan imajinasi Arteta. Ia bukan lagi seorang gelandang bertahan yang mampu mengumpan dengan akurat. Ia kini seorang pengatur serangan. Seorang pemain vokal yang keberadaannya amat vital bagi tim.
Ketika musim berakhir, PSG sudah terlanjut jatuh hati kepada Arteta. Pinangannya kepada Barcelona berjalan mulus. Namun, Arteta menampik lamaran tersebut. Ia tak siap berpisah dengan Barcelona. Impiannya mengenakan seragam kebesaran Blaugrana masih belum kesampaian. Ia ingin fokus mengejar impinannya. Sebuah keputusan yang salah.
Jika Xabi tengah menikmati kedewasaannya sebagai kapten tim utama, Arteta justru harus berjibaku memperebutkan kesempatan mentas. Sekali lagi, Arteta tersisih bukan karena kualitasnya, tetapi nama-nama besar yang di tim utama memang terlalu besar untuk si pemuda dari San Sebastian.
Bersama Sociedad, Xabi memaku namanya sebagai salah satu pemain muda terbaik di saat itu. Pun dengan Sociedad yang mengalami perkembangan secara tim. La Real bukan lagi tim dengan target tidak degradasi. Sociedad mulai diperhitungkan di La Liga. Xabi Alonso menjadi dirigen salah satu lini tengah yang begitu dinamis di Spanyol.
Di Catalan, karier Arteta cenderung stagan. Ia makin jauh dari pintu tim utama. Oleh sebab itu, pada akhirnya, Arteta menerima rayuan PSG untuk kembali ke pelukan Kota Paris. Cinta yang lama mekar kembali. Arteta membentuk lini tengah yang atraktif bersama Ronaldinho dan Jay-Jay Okocha.
Dua wajah kegamangan dan cahaya terang pada akhirnya
Meski sudah menegaskan namanya sebagai salah gelandang potensial di Spanyol, pertanyaan klasik selalu datang. Puncak apa lagi yang bisa Xabi gapai? Namun bersama Sociedad, cinta Xabi akan sepak bola berwujud. Ia menampik godaan dan memutuskan untuk bertahan, terus menjadi bagian integral Txuriurdins.
Kegamangan Xabi adalah berkah, karena masa depan yang jernih terbuka untuknya. Meskipun bertahan, pintu masa depan itu tetap terbuka. Usia muda dan kepastian lapangnya jalan masa depan memuat Xabi bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Sociedad menuai Xabi Alonso “yang sebenarnya”. Ia perlahan mencapai bentuk penampilan paling sempurna.
Xabi dan Arteta bak dua mata uang. Dan di balik sisi itu, berdiri Arteta dalam persimpangan kariernya. PSG masih begitu berhasrat untuk mempersunting Arteta. Namun, manajemen Barcelona yang keras kepala menghambat proses menuju sah tersebut. Perbedaan soal mahar menjadi alasan utama penolakan keluara Catalan.
Di tengah proses negosiasi yang alot, Glasgow Rangers datang dengan setumpuk pesona, salah satunya mahar yang lebih menarik. Glasgow Biru siap saja menggelontorkan 6 juta poundsterling untuk memboyong Arteta ke Skotlandia. PSG, yang belum diguyur uang minyak dari Timur Tengah tak berdaya. Ia iklaskan cintanya berlabuh di Eropa bagian barat.
Kegamangan Arteta akan kariernya membawanya ke Skotlandia yang dingin, kontras dengan Barcelona yang hangat atau Paris yang begitu romantis. Pun ia dikagetkan dengan kebiasaan lawan yang seperti ingin selalu “melukai” dirinya. Proses adaptasi berlangsung keras dan berdarah-darah.
Namun, darah Basque tak kalah panas dengan darah dari tanah Loch Ness. Arteta belajar memperkuat fisiknya dan mempertebal mentalnya untuk bertarung di lapangan hijau. Tak sia-sia, Alex McLeish, manajer Rangers, percaya dengan kerja keras pemain barunya. Posisi Arteta mulai diakui oleh kawan dan lawan.
Total, Arteta mencatatkan 35 penampilan dengan torehan 5 gol. Dirinya menjadi sosok yang tak tergantikan. Rangers menikmati buah kerja keras dan bakat istimewa sang Spaniard. Musim itu, Arteta menjadi nyawa Rangers yang mampu meraih domestic treble dengan memenangi Liga Primer Skotlandia, Piala Liga Skotlandia, dan Piala Skotlandia.
Di Semenanjung Iberia, nama Xabi semakin harus setelah ia dengan luar biasa meladeni dan mampu mengimbangi Zinedine Zidane. Meski pada akhirnya Real Madrid menjadi juara, penampilan Sociedad dengan Xabi di tengah-tengahnya menuai banyak pujian. La Seleccion, tim nasional Spanyol adalah panggung yang layak untuk Xabi.
Ganjaran yang pantas apabila Xabi mendapatkan tempat di tim nasional. Ia sendiri sudah seperti cult hero bagi masyarakat Donostia. Dan memang, pelatih tim nasional La Furia Roja saat itu, Inaki Saez dengan senang hati memberikan debut bagi Xabi saat melawan Ekuador.
Sebuah pintu baru terbuka untuk Xabi. Sebuah pintu yang ia masuki dengan penuh kebanggaan. Yang kelak akan ia hiasi dengan riuh rendah perayaan kemenangan lambang supremasi tertinggi sepak bola di dunia, ditambah dua kali gelar Henri Delaunay yang mewarnai revolucion de futbol di Spanyol, bahkan dunia.
Inspirasi dua matador
Kisah Arteta dan Xabi masih berlanjut, dengan kegembiraan, kegamangan, dan kesedihan masing-masing. Cerita awal karier dan kerja keras mereka menegaskan potensi sebagai pesepak bola tak melulu berkaitan dengan bakat. Keyakinan dan keberanian mempertanggungjawabkan pilihan adalah modal yang justru lebih penting.
Arteta mungkin mengambil keputusan yang salah ketika tidak menerima tawaran bergabung bersama PSG secara permanen. Namun itulah bukti cinta sesungguhnya. Cinta adalah ketika kamu tetap melangkah dalam lorong gelap dan percaya sebuah tangan akan diulurkan untuk membantumu meniti jalan.
Kariernya bersama Barcelona adalah lorong gelap, di mana ia tak bisa meraba masa depannya sendiri. Namun jika Arteta tidak setia dengan impinannya, ia tak akan merasakan kesuksesan besar bersama Glasgow Rangers. Kesulitan ada untuk menunjukkan kepada kita bahwa hasil perjuangan itu semanis gula.
Di sisi lain, Xabi menunjukkan bahwa bersyukur adalah keharusan. Bersyukur tak hanya dengan memejamkan mata dan menyebut nama Tuhan dengan penuh perasaan. Wujud syukur paling syahdu adalah terus bekerja, mencangkul tanah supaya gembur, menanam benih bakat di lahan terbaik, merawatnya dengan telaten, dan memanennya ketika masanya tiba.
Xabi tak kecewa ketika ia ditinggal sahabatnya Arteta. Ia tak jatuh dalam kesedihan mendalam ketika impinan bermain bersama Arteta untuk Sociedad tak terwujud. Ia mengambil jalan lelaki. Jalan penuh tanggung jawab dan kesadaran untuk terus belajar.
Pembaca, mari temukan “Arteta” dan “Xabi” dalam diri masing-masing. Pelihara perasaan kesetiaan dan kerja keras selalu dalam langkahmu.
NB: Artikel ini disarikan dari artikel di laman thesefootballtimes.com yang berjudul “Xabi Alonso and Mikel Arteta: a story of friendship from Antiguo to Merseyside”. Artikel terkait bisa dibaca di sini.