Manusia mana yang bisa ingkar bila dihadapkan pada pernyataan bahwa Johan Cruyff adalah sosok jenius nan revolusioner? Cruyff merupakan pesepak bola yang tak ada duanya di dunia bal-balan hingga saat ini. Menemukan pemain berlabel The Next Cruyff juga terasa begitu mustahil, sebaliknya menemukan The Next Pele, The Next Facchetti, The Next Beckenbauer dan The Next Maradona bukanlah perkara rumit.
Publik, orang Belanda atau bukan, maniak sepak bola atau hanya sekadar penikmat saja, pasti sepakat bila ada yang menyebut Cruyff bak jelmaan manusia setengah dewa. Contoh nyata adalah beberapa pujian berikut ini:
“Cruyff adalah hadiah dari Tuhan bagi umat manusia,” Vic Buckingham (eks pelatih Ajax 1959-161 dan 1964-1965).
“Aku sama sekali tak paham sepak bola. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Cruyff,” Pep Guardiola (mantan anak asuh Cruyff di Barcelona yang kemudian sukses menapaki jejaknya bersama Barcelona, sedang melatih Bayern Munchen dan siap melakukan petualangan di Inggris bersama Manchester City).
Dan ketika Cruyff wafat pada Kamis (24/3) lalu, dunia pun berbondong-bondong mengirim ucapan belasungkawa. Dunia tercenung meratapi kepergian sosok yang juga ayah kandung Jordi Cruyff, eks pesepak bola yang kini menjabat sebagai Direktur Olahraga klub Israel, Maccabi Tel Aviv.
Kehebatan seorang Cruyff selama menjadi pemain maupun pelatih menjadikan dirinya bak orang suci yang tanpa cela. Bagaimanapun juga, Cruyff tetaplah manusia yang tindak-tanduknya juga punya sisi negatif.
Bagi seorang atlet, rokok merupakan salah satu benda tabu yang harus dijauhi guna menjaga kesehatan. Tapi tidak dengan Cruyff, sejak masih bermain hingga menjadi pelatih kenamaan, rokok merupakan sahabat karibnya.
Dirinya bahkan disebut-sebut sanggup menghabiskan 20 batang rokok dalam sehari. Sampai kemudian kanker paru-paru menyerang dan mengharuskan sang meneer untuk menjalani operasi pada 1991. Sejak saat itu juga Cruyff “bertaubat” dan memilih untuk makan lolipop saat mendampingi timnya berlaga.
Seperti kebanyakan pemain asal negeri kincir angin Belanda, Cruyff juga punya ego tiada tara. Sosok Cruyff begitu populer sebagai pribadi yang keras kepala, vokal dan angkuh baik saat masih bermain maupun memberi instruksi dari tepi lapangan sebagai pelatih. Hal ini pula yang kemudian membuat Cruyff kerap berseteru dengan figur-figur lain yang dianggap tak sepaham dengannya.
Kisah Cruyff dengan Jan van Beveren dan Willy van der Kuijlen
Mayoritas Anda barangkali tak terlalu mengenal sosok bernama Jan van Beveren dan Willy van der Kuijlen kecuali Anda lahir sekitar tahun 1950-an dan 1960-an serta fanatik sepak bola. Saya sendiri harus berkali-kali searching di kanal Youtube untuk melihat bagaimana kedua sosok ini bermain.
Sepasang figur ini merupakan eks pemain yang melegenda bersama PSV Eindhoven, klub tersukses kedua di tanah Belanda setelah Ajax. De Boeren berhasil menggondol tiga titel juara Eredivisie, sepasang Piala Belanda serta satu gelar Piala UEFA dalam rentang 1974-1978 ketika van Beveren dan van der Kuijlen jadi pilar tim.
Dibeli PSV dari Sparta Rotterdam dengan harga 1 juta gulden pada 1970, van Beveren langsung tampil sebagai penjaga gawang nomor satu. Dirinya dikenal memiliki refleks yang luar biasa hebat. Ditunjang dengan lompatan, handling dan keberanian yang mumpuni membuat area kotak penalti PSV benar-benar jadi wilayah yang dikuasainya.
Beberapa pengamat bahkan meyakini bila van Beveren adalah kiper terbaik Belanda pada dekade 1970-an.
Jan van Beveren
Bila van Beveren menjadi komandan di barisan belakang, lain lagi dengan van der Kuijlen. Pemain ini merupakan pencetak gol ulung kubu De Boeren setelah direkrut sedari belia dari klub HVV Helmond.
Selayaknya pemain-pemain outfield Belanda di zaman itu, van der Kuijlen juga fasih bermain di banyak posisi. Penyerang, second striker, winger, playmaker sampai gelandang tengah bisa diperankannya dengan baik. Hingga hari ini nama van der Kuijlen masih terukir sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Liga Belanda dengan torehan 311 gol dari 545 penampilan. Julukan Mister PSV pun disematkan kepadanya.
Willy van der Kuijlen
Publik Belanda dan Eropa kala itu jelas tak menampik kehebatan van Beveren dan van der Kuijlen, namun ceritanya jadi berbeda tatkala berurusan dengan tim nasional Belanda yang di periode itu sangat kental beraroma Ajax. Cruyff tak sekadar penerjemah totaalvoetbal yang dianut Rinus Michels di atas lapangan, namun juga pemimpin di ruang ganti serta di luar lapangan.
Dengan pengaruh dan ego luar biasa yang dimilikinya, mudah buat Cruyff untuk membujuk pelatih bahkan federasi sepak bola Belanda (KNVB) guna melakukan hal-hal sesuai keinginannya.
Mulai dari taktik, pemilihan pemain bahkan soal pendapatan dari sponsor. Kontrol Cruyff inilah yang dinilai van Beveren dan van der Kuijlen melebihi batas normal.
Cruyff dan sesama pemain Ajax seperti Piet Keizer, Ruud Krol, Johan Neeskens dan Johnny Rep diketahui memperoleh uang sponsor dengan jumlah lebih besar ketimbang pemain-pemain lain jelang Piala Dunia 1974.
Van Beveren dan van der Kuijlen juga sangat membenci keangkuhan ala superstar yang dimiliki Cruyff.
Bersama rekan-rekannya sesama pemain Ajax, Cruyff membentuk semacam klan yang dominan di tubuh De Oranje. Hal ini menciptakan ketidakharmonisan dalam timnas Belanda sepanjang 1970-an. Dua pemain PSV itu sendiri pada akhirnya tak dibawa Michels ke perhelatan Piala Dunia 1974.
Pasca-turnamen akbar tersebut, keduanya kembali masuk ke dalam skuat manakala De Oranje bersiap menuju Piala Eropa 1976. Sayangnya, perseteruan dengan Cruyff kembali berlanjut dan justru makin sengit.
Berkali-kali duo PSV tersebut mengkritik gaya Cruyff yang cenderung semaunya dan terlalu berkuasa. Merasa kesal, Cruyff yang saat itu sudah bermain untuk Barcelona mengancam George Knobel, pelatih gres timnas Belanda, untuk memilih antara dirinya atau duo PSV tersebut.
Pada akhirnya Knobel lebih memilih Cruyff, hal ini yang kemudian memicu van Beveren dan van der Kuijlen untuk mundur dari timnas. Van Beveren tercatat hanya punya 32 caps timnas sedangkan van der Kuijlen hanya 22 kali mengenakan seragam oranye dan menyumbangkan 7 gol.
Perdebatan pun mengemuka sampai detik ini, apakah Belanda akan tumbang di final Piala Dunia 1974 dan Piala Dunia 1978 bila van Beveren yang berdiri di bawah mistar?
Mengingat 5 gol yang disarangkan ke gawang Jan Jongbloed, kiper Belanda di dua perhelatan Piala Dunia tersebut, dua dari Jerman Barat dan tiga dari Argentina dianggap sebagai bola yang masih bisa diantisipasi oleh seorang kiper.
Pun begitu dengan pertanyaan bagaimana hasilnya jika van der Kuijlen yang jadi ujung tombak lini depan Belanda yang malah memble di fase paling menentukan bernama final. Sayangnya, hanya Tuhan yang tahu.
Van Beveren sendiri telah wafat pada 2011 yang lalu sementara van der Kuijlen saat ini masih aktif sebagai pemandu bakat jempolan De Boeren. PSV sendiri telah membuat patung keduanya di sekitar Stadion Philips.
Perseteruan tiada akhir dengan Louis van Gaal
Nama berikut yang seringkali berseteru dengan Cruyff adalah Louis van Gaal. Meneer yang populer dengan nickname LvG ini bisa dikategorikan sebagai musuh nomor satu yang ada di dalam saku Cruyff selama hidupnya.
Sulit untuk mengatakan bila LvG adalah sosok pelatih yang jelek, kecuali Anda adalah seorang fan Manchester United. Curriculum vitae seorang LvG terhitung mentereng berkat 19 titel yang pernah didapatkannya semasa melatih Ajax Amsterdam, AZ Alkmaar, Barcelona dan Bayern Munchen. Tapi bagi Cruyff, LvG adalah perusak tatanan sepak bola revolusioner dan ideal yang diagungkannya.
Keduanya bertemu untuk kali pertama di Ajax Amsterdam pada awal tahun 1970-an. Kala itu Cruyff merupakan sosok sentral di klub berjuluk De Godenzonen tersebut. Sementara LvG baru saja bergabung dengan Ajax 2 (semacam youth team) dari klub amatir RKSV De Meer.
LvG muda berhasil memikat staf kepelatihan tim junior Ajax lewat skill dan visinya yang cakap walau terhitung lambat menemukan peak performance. Namun keberadaan Cruyff (berikut pengaruhnya) di tim senior membuat LvG sulit masuk tim utama.
Nasibnya pun berakhir tragis setelah diasingkan ke Belgia untuk “menimba ilmu” bersama Royal Antwerp. Sekembalinya ke Belanda, LvG langsung hengkang ke Telstar sebelum akhirnya hijrah dan lama berseragam Sparta Rotterdam. Karier LvG sendiri diakhirinya di AZ Alkmaar.
Jika saat masih berstatus pemain keduanya terlibat perselisihan terselubung, semuanya justru semakin kentara tatkala keduanya berprofesi sebagai pelatih.
Perseteruan LvG-Cruyff memasuki episode baru ketika pada 1989 Cruyff mengadakan jamuan natal dan LvG diundang dalam acara tersebut. Ketika jamuan sedang berlangsung, LvG mendapat telepon dari keluarganya yang mengatakan bila saudarinya tiada.
Tanpa berpamitan kepada Cruyff, LvG pun langsung ngacir begitu saja. Kepergian tanpa pamit atau ucapan terima kasih kepada Cruyff ini ditengarai sebagai salah satu hal yang membuat sang tuan rumah kesal.
Ketika itu LvG baru saja memulai karier kepelatihan bersama Ajax sebagai asisten manajer Leo Beenhakker yang didapuk menggantikan Cruyff yang hengkang ke Barcelona guna menukangi klub asal Catalan tersebut. Sebelumnya LvG sempat mencicipi pos yang sama di AZ usai pensiun sebagai pemain.
Ketika Beenhakker meninggalkan Ajax, LvG pun langsung naik pangkat. Bersama klub ini pula LvG menunjukkan kilaunya sebagai pelatih jempolan. Ajax dibawanya meraih tiga gelar Eredivisie, satu Piala Belanda, tiga trofi Piala Super Belanda (lazim disebut Johan Cruyff Schaal) dan masing-masing sebiji titel Liga Champions, Piala UEFA, Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental dalam rentang 1991-1997.
Segunung raihan trofi bersama De Godenzonen tersebut nyatanya tak membuat Cruyff terkesan. Alih-alih menyebut Ajax asuhan LvG sebagai tim paling atraktif dalam bermain selain Barcelona asuhannya, Cruyff justru menyebut nama Parma dan AJ Auxerre sebagai tim yang penampilannya mirip Barca.
Di sisi lain, LvG juga tak mengucapkan selamat atau pujian apa pun untuk Barcelona-nya Cruyff yang berhasil menggenggam trofi Liga Spanyol empat musim berurutan dari 1991-1994, sebiji Piala Raja Spanyol, tiga Piala Super Spanyol, serta masing-masing satu Piala Champions, Piala Winners dan Piala Super Eropa selama 1988-1996.
Hubungan keduanya semakin runcing ketika LvG diangkat sebagai salah satu Direktur Teknik Ajax pada 2011. Cruyff menganggap manajemen De Godenzonen saat itu tak mengajaknya berdiskusi mengenai pengangkatan LvG.
Tanpa tedeng aling-aling, Cruyff yang saat itu duduk sebagai commisioner Ajax melayangkan gugatan hukum. Sang legenda pun memenangkan perkara tersebut serta membuat Ajax mau tak mau harus membatalkan pengangkatan LvG. Perseteruan panjang tersebut, seperti yang diwartakan dailymail.co.uk pada 2014 silam, membuat Cruyff dan LvG tak pernah bertegur sapa.
Well, Cruyff memang telah tiada sembari meninggalkan kejeniusan, kehebatan dan hal-hal tak terungkapkan lainnya. Akan tetapi, Cruyff tetaplah manusia biasa yang tak sempurna.
Yes. Nobody’s perfect.