PSG: Kisah Berbeda di Prancis dan Eropa

Pada tahun 2011 silam, muncul sebuah aksi yang mengubah peta persepakbolaan Prancis hari ini. Dalam momen tersebut, Qatar Sports Invesment (QSI) datang membawa segepok uang guna mengakuisisi salah satu kesebelasan top di Negeri Anggur, Paris Saint-Germain (PSG).

Masuknya QSI berikut uang tak berserinya bikin Les Parisiens jadi klub terkaya di Prancis. Tak heran bila kemudian mereka berani mengusung proyek ambisius, menjadi kesebelasan nomor satu di kancah domestik dan bisa merajai Eropa di kemudian hari.

Cara yang ditempuh PSG persis dengan yang dilakukan klub-klub yang kedatangan pemilik baru nan tajir, membeli pesepakbola berlevel bintang agar kompetitif sesegera mungkin. Maka hadirlah nama-nama semisal Edinson Cavani, Angel Di Maria, Zlatan Ibrahimovic, Kylian Mbappe, Thiago Motta, Neymar, Thiago Silva dan Marco Verratti di Stadion Parc des Princes.

Bersama pelatih sekelas Carlo Ancelotti, Laurent Blanc, Unai Emery, dan Thomas Tuchel, Les Parisiens betul-betul merajai tanah Prancis. Secara keseluruhan mereka sukses merengkuh tujuh titel Ligue 1, lima Piala Prancis, enam Piala Liga, dan tujuh Trophee des Champions.

Akan tetapi, 25 silverwares yang memenuhi lemari trofi PSG tak membuat QSI sebagai pemilik puas. Seperti yang telah disebutkan di bagian awal artikel, ada mimpi raksasa yang ingin mereka wujudkan. Apa lagi kalau bukan menjadi kampiun kejuaraan antarklub paling prestisius di Eropa, Liga Champions.

Sialnya, langkah PSG di Benua Biru tak segagah di dalam negeri. Berulangkali mencoba, berulangkali pula mereka menemui kegagalan. Sedari musim 2012/2013 sampai 2018/2019, capaian terbaik klub yang berdiri pada 12 Agustus 1970 ini di Liga Champions hanyalah babak perempatfinal.

Maka saat Les Parisiens mampu menjajak final pertamanya di Liga Champions pada musim 2019/2020 dan bersua Bayern Munchen, melonjak berbagai harapan. Tinggal selangkah lagi, investasi gila-gilaan senilai lebih dari 1,5 milyar Euro yang telah digelontorkan QSI selama satu windu pamungkas menemui hasilnya. PSG siap menyusul sang rival bebuyutan, Olympique Marseille, sebagai klub Prancis yang bisa menjuarai Liga Champions.

BACA JUGA:  Kiprah Pemain Senior di Liga Champions dan Jika Mereka Berada dalam Satu Tim

Berbagai narasi manis sudah disiapkan QSI dan media-media Negeri Anggur begitu PSG membawa pulang trofi ke kota Paris. Percayalah, euforianya akan sama dengan keberhasilan tim nasional Prancis memenangkan Piala Dunia 1998 lalu.

PSG berkehendak, tapi Bayern yang memutuskan. Usaha luar biasa yang dipertontonkan Neymar dan kawan-kawan selama 90 menit di Stadion Da Luz dini hari tadi (24/8) mentah di tangan Manuel Neuer beserta kolega. Sebiji gol dari pemuda asal Prancis yang lahir di kota Paris dan berayahkan seorang fans PSG, Kingsley Coman, membuyarkan segalanya.

Menariknya, perjalanan karier sepakbola Coman juga erat dengan PSG. Ia merupakan jebolan akademi Les Parisiens. Debutnya di kancah profesional pun berlangsung saat mengenakan baju PSG, tepatnya pada 17 Februari 2013 lalu. Namun banyaknya pemain bintang di tubuh klub membuatnya terbuang ke Juventus sampai akhirnya bergabung dengan Bayern per musim 2015/2016 silam (diawali dengan status pinjaman hingga dipermanenkan sejak musim 2017/2018).

Kedudukan akhir 1-0 menjadi penentu siapa yang menang. Alih-alih ke Paris, gelar Liga Champions musim ini pulang lagi ke kota Munchen, Jerman. Tak ada juara baru, yang ada justru koleksi titel Liga Champions milik Bayern kini genap menjadi enam buah.

Kekalahan di final Liga Champions memukul telak PSG. Entah seperti apa raut wajah Nasser Al-Khelaifi, presiden klub, usai melihat tim yang dipimpinnya gagal di laga penentuan. Jangan pula kaget andai nama-nama semisal Mbappe dan Neymar bakal digosipkan mencari pelabuhan baru. Pun dengan kejelasan masa depan Tuchel sebagai pelatih (walau kontraknya baru berakhir musim panas 2021).

Proyek menjadikan PSG sebagai klub dominan di Prancis sudah terwujud, tapi membuat Les Parisiens jadi raja Eropa tak gampang direalisasikan. QSI pasti memutar otak lagi demi mencari ramuan paling pas dan bisa ditebak, mereka takkan sungkan untuk mengeluarkan duit lebih banyak.

BACA JUGA:  Hitam dan Putih Claudio Marchisio yang Abadi

Siapapun pasti ingat kisah Roman Abramovich usai mengambilalih Chelsea pada 2003 silam. Tumpukan uang yang ia bawa disepuhnya menjadi pemain bintang dan pelatih kenamaan. Dalam tempo singkat, The Blues berhasil menjadi klub nomor satu di Inggris. Mereka konsisten meraih trofi domestik dan menjadi pesaing nyata bagi Arsenal, Liverpool, dan Manchester United.

Namun ambisi Abramovich tak sekadar itu. Hasrat terbesarnya adalah melihat pemain-pemain Chelsea mengangkat trofi Liga Champions. Banyak percobaan yang dilakukan, banyak kegagalan yang dirasakan. Termasuk saat keok di final Liga Champions 2007/2008 dari United via adu penalti.

Butuh waktu nyaris satu dekade buat The Blues untuk benar-benar mewujudkan mimpi sang taipan. Tepat di musim 2011/2012, gelar Si Kuping Lebar mendarat untuk kali pertama sepanjang sejarah di kota London. Ketika itu, Chelsea mampu menumbangkan Bayern di partai puncak usai beradu tendangan 12 pas.

Kegagalan ini sepatutnya jadi pelajaran penting bagi PSG bahwa sehebat apapun kekuatan uang yang mereka miliki, tak menjamin segalanya bisa mereka dapatkan. Begitu banyak hal yang mesti mereka benahi, termasuk sikap congkaknya yang selama ini dipamerkan secara nyata dan membuat mereka dibenci banyak pihak.

Menjadi yang tak terkalahkan di Prancis berbeda dengan menjadi penguasa di Eropa. Di Benua Biru, kadar ujiannya berlipat ganda. Ada sejuta proses yang kudu mereka lakoni sebelum sampai di tujuan akhir. Pun dengan proyek yang mereka canangkan sedari lama, jika hasilnya belum terlihat sekarang, coba lagi di musim depan, musim depannya lagi dan seterusnya.

Sekarang kalau mau menangis, ya, nangis saja dulu.

Komentar