Jalan Berliku Piala Dunia Antarklub

Kesebelasan mana yang tak ingin memperoleh status sebagai klub terbaik di dunia? Tentunya tak sekadar punya skuat bertabur bintang atau kondisi finansial yang baik tapi juga berprestasi di atas lapangan hijau. Hal itulah yang kemudian menginisiasi banyak pihak untuk menyelenggarakan sebuah kejuaraan antarklub dunia guna mencari tim yang layak menyandang gelar terbaik seantero jagad.

Berturut-turut Sir Lipton Trophy, Copa Rio dan Pequena Copa del Mundo de Clubes atau Small World Cup diselenggarakan dengan tujuan mencari juara dunia. Sayangnya tak satu pun dari tiga ajang tersebut yang berumur panjang akibat serentetan masalah seperti kriteria peserta, hadiah, aturan dan sebagainya. Sehingga proses pencarian klub nomor satu di muka bumi berulangkali menemui kegagalan.

Hingga akhirnya pada tahun 1960, induk organisasi sepak bola Eropa (UEFA) dan induk organisasi sepak bola Amerika Selatan (CONMEBOL) bekerjasama guna membidani sebuah ajang bertajuk Piala Interkontinental.

Kejuaraan ini mempertemukan dua klub yang menjadi kampiun kompetisi antarklub tertinggi di benua masing-masing. UEFA diwakili pemenang Piala/Liga Champions sedangkan CONMEBOL mengirim jawara Copa Libertadores.

Trofi Piala Interkontinental edisi perdana sukses dimenangi oleh klub asal Spanyol, Real Madrid, yang sanggup membungkam wakil Uruguay, Penarol.

Partai perebutan Piala Interkontinental itu sendiri dihelat dalam dua leg alias berformat home and away plus sebuah pertandingan playoff jika dalam dua pertandingan sebelumnya kedua kubu sama-sama meraih satu kemenangan karena aturan agregat gol belum ada saat itu. Laga pertama di Montevideo berakhir dengan skor kacamata sebelum akhirnya Penarol dilibas dengan skor telak 1-5 saat bertandang ke Madrid.

Keberhasilan Los Blancos, julukan Madrid, menggondol gelar tersebut membuat kesebelasan yang kala itu diperkuat nama legendaris macam Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas didapuk sebagai tim terbaik di kolong langit.

Akan tetapi status itu mendapat penolakan dari induk organisasi sepak bola dunia, FIFA. Dasar dari penolakan tersebut adalah ajang ini hanya mempertemukan wakil Eropa dan Amerika Selatan. Organisasi independen yang bermarkas di Swiss tersebut menyatakan bahwa untuk mencari tim terbaik dunia, maka kompetisi harus diikuti oleh semua jawara kompetisi antarklub tertinggi di kontinen masing-masing.

Namun protes FIFA itu tak membuat Piala Interkontinental berhenti dihelat karena UEFA maupun CONMEBOL bersikeras untuk melanjutkan kejuaraan ini. Tapi sayang, kealpaan induk organisasi sepak bola Eropa dan Amerika Selatan dalam menyusun regulasi plus jumlah hadiah yang kecil menimbulkan jejeran masalah, persis seperti tiga kejuaraan pendahulunya.

Laga-laga Piala Interkontinental jadi lekat dengan tindakan brutal, terutama di penghujung 1960-an dan awal 1970-an akibat penampilan wakil-wakil CONMEBOL asal Argentina dan Uruguay yang sangat beringas.

Pada 1967 Eropa yang diwakili klub asal Skotlandia, Glasgow Celtic, sanggup mengatasi Racing Club dengan skor 1-0 di Glasgow sebelum akhirnya dibalas tim dari Argentina tersebut lewat kedudukan 2-1 saat mendapat giliran menjamu Celtic di Avellaneda. Karena masing-masing tim beroleh satu kemenangan, playoff pun harus digelar dengan Montevideo ditunjuk sebagai arena pertempuran hanya beberapa hari setelah leg kedua.

BACA JUGA:  Sepak Terjang PSIS di Kancah Internasional

Namun seperti dua partai sebelumnya, kebrutalan pun kembali hadir di partai tersebut. Lima kartu merah, tiga buat punggawa Celtic dan dua bagi pemain Racing Club, menjadi bumbu panas laga tersebut. Pertandingan itu sendiri berakhir dengan kemenangan bagi Racing via skor tipis 1-0 sehingga mereka berhak membawa pulang Piala Interkontinental ke Argentina.

Akan tetapi segala kebrutalan yang terjadi sepanjang 90 menit menghasilkan julukan “The Battle of Montevideo” untuk laga tersebut. Sesuatu yang masih dikenang hingga saat ini.

“Aku takkan lagi membawa timku bertanding ke Amerika Selatan meski diimingi-imingi uang sebanyak apa pun”, ujar pelatih legendaris Celtic, Jock Stein, seperti dikutip koran The Glasgow Herald.

Duel tak kalah mengerikan terjadi saat AC Milan bersua Estudiantes di kejuaraan ini pada 1969. Milan yang mengantongi kemenangan 3-0 di leg pertama yang dimainkan di San Siro terbang ke Buenos Aires untuk menjalani leg kedua di markas Estudiantes.

Namun bukan laga sepak bola murni yang ditemui Milan saat itu, tetapi juga beraneka aksi kasar pemain tuan rumah. Striker Milan asal Prancis yang kelahiran Argentina, Nestor Combin, menerima tendangan di wajah dari kiper Estudiantes, Alberto Jose Poletti.

Tak sampai di situ karena beberapa saat kemudian Combin mengalami patah hidung dan tulang pipi akibat sikutan brutal bek Estudiantes, Ramon Aguirre Suarez. Combin pun terkapar tak sadarkan diri dan berlumuran darah.

Dalam kondisi separah itu anehnya Combin justru ditangkap kepolisian Argentina karena dituding menghindari program wajib militer untuk negaranya. Sang striker pun dijebloskan ke penjara dan harus menginap di sana selama satu malam sebelum akhirnya dilepaskan usai menunjukkan bukti bahwa dirinya telah melaksanakan hal tersebut namun sebagai warga negara Prancis.

Rentetan kejadian gila dan ekstrem tersebut akhirnya mendorong klub-klub juara Piala Champions untuk memboikot ajang ini. Hal itu terlihat dari hadirnya Panathinaikos, Juventus, Atletico Madrid, Borussia Moenchengladbach dan Malmo FF di ajang ini guna menggantikan para kampiun seperti Ajax Amsterdam, Bayern Munchen, Liverpool dan Nottingham Forest yang menolak berpartisipasi. Degradasi kualitas pun menjangkiti turnamen ini sampai terancam bubar pada akhir 1970-an.

Sampai akhirnya kemunculan raksasa otomotif asal Jepang, Toyota, sebagai sponsor pada 1980 berandil besar atas keberlangsungan hidup kompetisi ini. Hanya saja semenjak saat itu format kompetisi tak lagi dimainkan home and away, melainkan diselenggarakan dalam satu laga yang berlangsung di tempat netral.

Toyota sebagai sponsor pun kemudian membawa ajang ini ke negeri matahari terbit untuk dihelat di Tokyo dan Yokohama serta berlangsung sampai tahun 2004.

Empat tahun sebelum Piala Interkontinental edisi pamungkas dimainkan alias tahun 2000, FIFA yang selama puluhan tahun menggagas adanya kejuaraan antarklub yang mempertemukan para jawara tiap konfederasi akhirnya meluncurkan kompetisi bertajuk FIFA Club World Championship di Brasil. Awalnya ajang ini akan diselenggarakan pada 1999 namun akhirnya ditunda selama setahun.

BACA JUGA:  New York Cosmos dan Mimpi Amerika

Di pagelaran perdana, kompetisi ini diikuti enam tim dari enam konfederasi yaitu Al-Nassr (AFC), Manchester United (UEFA), Necaxa (CONCACAF), Raja Casablanca (CAF), South Melbourne (OFC) dan Vasco Da Gama (CONMEBOL) plus Corinthians yang bertindak sebagai tuan rumah serta Real Madrid sebagai juara Piala Interkontinental 1998.

Corinthians pada akhirnya keluar sebagai juara turnamen ini setelah unggul 4-3 lewat drama adu penalti di babak final saat bersua kampiun Copa Libertadores 1998, Vasco Da Gama. Kesuksesan turnamen perdana ini membuat FIFA berencana mengadakan kembali turnamen ini tahun 2001 dengan Spanyol sebagai tuan rumah.

Naas buat FIFA karena partner pemasaran mereka, International Sports Leisure (ISL), mengalami kebangkrutan sehingga urung menyelenggarakan FIFA Club World Championship edisi kedua. FIFA pun menjadwal ulang kompetisi ini dan tahun 2003 menjadi target mereka untuk penyelenggaraan kedua, tapi sialnya gagal lagi.

Keinginan kuat FIFA dengan dalih keadilan yang diterima setiap konfederasi tersebut pada akhirnya membuat mereka melakukan lobi secara intensif kepada UEFA dan CONMEBOL sebagai penyelenggara Piala Interkontinental serta Toyota sebagai sponsor. Tujuannya jelas untuk menyatukan Piala Interkontinental dengan FIFA Club World Championship.

Ujung-ujungnya, FIFA memenangi “duel” dengan UEFA dan CONMEBOL sehingga dua organisasi yang berafiliasi kepada FIFA itu sepakat untuk melebur kejuaraan. Nama kompetisi pun diubah menjadi FIFA Club World Cup per tahun 2005.

Kejuaraan pun tak melulu jadi monopoli Jepang karena negara-negara lain boleh mengajukan diri sebagai tuan rumah. Sebut saja Uni Emirat Arab yang pernah menjadi tuan rumah kompetisi ini pada 2009 dan 2010. Lalu negara di semenanjung utara Afrika, Maroko, mendapat jatah sebagai tempat berlangsungnya turnamen di tahun 2013 dan 2014.

Hingga sebelas perhelatan Piala Dunia Antarklub sampai 2014 lalu, gelar juara dunia masih saja didominasi wakil-wakil UEFA dan CONMEBOL. Tercatat perwakilan Eropa merengkuh trofi ini sebanyak tujuh kali sedangkan utusan Amerika Selatan membawa pulang empat gelar. Pencapaian terbaik peserta asal Afrika hanyalah finalis sebanyak dua kali. Sementara wakil Asia, Amerika Utara dan Oseania malah belum pernah menjejakkan kaki di final.

Kontestan asal Eropa dan Amerika Selatan memang diberi “kemudahan” oleh FIFA karena baru tampil di babak semifinal. Bandingkan dengan utusan Asia, Afrika dan Amerika Utara yang sudah baku pukul sejak perempatfinal atau wakil Oseania yang mesti melakoni duel playoff melawan tim tuan rumah guna melaju ke perempatfinal.

Hal ini yang kemudian bisa mengaburkan bentuk keadilan yang FIFA gembar-gemborkan, terlepas dari kualitas sepak bola Eropa dan Amerika Selatan yang masih lebih baik ketimbang kontinen lain.

Turnamen yang jika kita runut proses terbentuknya penuh liku ini akan kembali berlangsung pada 10-20 Desember kali ini. Tujuh tim bakal berebut trofi Piala Dunia Antarklub di edisi keduabelas yang dihelat di Jepang. Akankah perwakilan Eropa dan Amerika Selatan melanjutkan dominasinya? Atau malah muncul kejutan baru dari utusan benua lain? Menarik untuk dinanti.

 

Komentar