Sanksi dalam Catatan Hitam Sepakbola Dunia

Bendera setengah tiang berkibar di markas FIFA di Zurich
Bendera setengah tiang di Markas FIFA di Zurich. (fifa.com)

Penelusuran catatan hitam beserta sanksi yang telah menimpa negara lain dalam sejarah sepakbola dunia dapat menjadi basis rekomendasi untuk menghukum sepakbola Indonesia. Duka cita mendalam masih menyelimuti Indonesia pasca insiden di Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang dan menyebabkan lebih dari 300 orang luka-luka. Data ini berdasarkan data per 3 Oktober yang dipaparkan oleh Kepala Staf Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Listyo Sigit.

Namun, jumlah korban secara keseluruhan diperkirakan mencapai lebih dari 200 orang sebab kelompok suporter Aremania menyebutkan bahwa beberapa jenazah ada yang langsung dibawa ke rumah dan memperkirakan masih ada korban dari luar area Malang Raya yang belum masuk pendataan, dilansir dari artikel di laman CNN yang terbit pada 4 Oktober 2022 pukul 13.54 WIB.

Insiden mencekam yang dipicu oleh penembakan gas air mata di dalam stadion tersebut kemudian membuat peristiwa Kanjuruhan masuk ke dalam daftar tragedi terburuk dalam sejarah sepakbola. Solidaritas dan doa terus mengalir dari berbagai elemen di dalam dan dari luar negeri untuk para korban dan keluarga yang ditinggalkan.

Di samping itu, Liga Indonesia resmi dibekukan sampai waktu yang belum bisa ditentukan melalui instruksi Presiden Joko Widodo. Hukuman untuk sepakbola negeri ini telah menanti, begitu pun dengan sanksi untuk setiap elemen yang terlibat dan sudah sepatutnya bertanggung jawab.

Namun, berkaca dari sejarah tragedi sepakbola di negara lain kira-kira bagaimana sanksi yang akan diterapkan terhadap insiden di Stadion Kanjuruhan? Terlebih Indonesia tengah bersiap untuk gelaran Piala Dunia U-20 2023 mendatang dan sedang mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Asia 2023.

Untuk itu penelusuran dilakukan guna melihat bagaimana sanksi diterapkan bagi negara lain yang tercatat pernah mengalami insiden serupa di dunia sepakbola. Berikut daftarnya.

1. Estadio Nacional Disaster di Lima, Peru (1964)

Insiden yang terjadi pasca Peru tertinggal 0-1 dari Argentina dalam ajang Kualifikasi Olimpiade Zona Amerika Selatan itu menyebabkan 328 orang meninggal dan menjadi bencana terparah dalam dunia sepakbola. Berawal dari gol penyama kedudukan Peru yang dianulir oleh wasit, sejumlah suporter bereaksi turun ke lapangan dan direspons dengan penembakan gas air mata oleh aparat.

Selain kepanikan yang menyebabkan sesak di pintu keluar stadion, kericuhan juga terjadi di jalanan dengan banyak korban jiwa berjatuhan karena luka tembak. Investigasi kemudian dilakukan dengan hasil mayoritas korban meninggal akibat asfiksia, yakni keadaan di mana seseorang mengalami kekurangan oksigen. Kejanggalan dalam data jumlah korban juga muncul sebab luka tembak tidak dimasukkan dalam perhitungan resmi dari tragedi tersebut.

Kericuhan saat tragedi di Estadio Nacional Lima, Peru pada 1964
Momen mencekam saat insiden di tribun Estadio Nacional pada pertandingan Peru kontra Argentina pada 1964. (footballpink.net)

Hukuman atas tragedi ini kemudian dijatuhkan untuk Jorge Azambuja, komandan polisi yang memerintahkan penembakan gas air mata dengan menjalani 30 bulan kurungan di penjara. Selain itu, hakim Castaneda didenda sebab gagal menyerahkan laporan tepat waktu dan telat enam bulan serta tidak menghadiri seluruh proses autopsi dari 328 korban yang seharusnya ia lakukan. Laporannya kemudian dilempar dan dibuang begitu saja saat penyerahan.

Pasca kejadian, Estadio Nacional kemudian direnovasi dengan mengurangi kapasitas dari 53.000 menjadi 42.000 pada 1964, sebelum kembali ditambah menjadi 47.000 saat gelaran Copa America 2004. Tidak ada sanksi dari FIFA selaku federasi sepakbola dunia atau IOC sebagai penyelenggara Olimpiade saat itu. Renovasi Estadio Nacional juga merupakan wewenang dan kebijakan dari pemerintah setempat.

2. Accra Sports Stadium Disaster di Ghana (2001)

Persitiwa terparah dalam sejarah sepakbola Ghana terjadi ketika dua klub tersukses negara itu, Accra Hearts of Oak dan Asante Kotoko bertanding dalam tajuk laga derby ibukota. Keadaan memanas jelang berakhirnya laga yang dimenangi oleh tim tuan rumah dengan skor 2-1. Pendukung Asante Kotoko mulai protes dan merobek serta melempar kursi ke lapangan bersamaan dengan benda-benda lainnya.

Kejadian langsung direspons oleh aparat keamanan dengan menembakkan gas air mata ke arah penonton. Suporter berlarian panik ke pintu keluar dan berdesakan hingga 126 orang dinyatakan tewas akibat insiden itu. Lagi-lagi mayoritas korban meninggal akibat asfiksia di tengah kondisi panik mencari jalan keluar dari stadion yang dipenuhi gas air mata.

Suasana panik dan ricuh saat tragedi di Accra Stadium pada 2001 silam
Suasana panik dan ricuh saat tragedi di Accra Stadium pada 2001 silam. (ghanaweb.com)

Atas kelalaian aparat waktu itu, penyelidikan secara resmi menempatkan polisi sebagai pelaku utama karena bereaksi berlebihan dalam situasi tersebut dan berperilaku ceroboh dengan menembakkan gas air mata dan peluru plastik secara membabi buta. Sejumlah petugas juga dituduh tidak jujur dalam kesaksiannya. Alhasil enam polisi didakwa atas tuduhan 127 pembunuhan.

Pengadilan memutuskan bahwa pihak penuntut telah gagal membuktikan bahwa asfiksia sebagai penyebab meninggalnya para korban dalam peristiwa itu disebabkan oleh penyerbuan dan bukan karena gas air mata. Berdasarkan keputusan dari komisi penyelidikan, Accra Stadium kemudian direnovasi agar sesuai dengan standar FIFA pada 2007 lalu. Atas kejadian itu, Liga Ghana dihentikan selama sebulan, namun tak ada sanksi tambahan dari FIFA meski Andreas Herren, juru bicara FIFA saat itu juga tidak ingin mengesampingkan implikasi negatif yang kemungkinan berdampak terhadap upaya negara Afrika untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia pertama kalinya.

BACA JUGA:  European Super League: Semua Tentang Uang

Hal ini dikarenakan pada saat itu dalam empat pekan terakhir juga telah terjadi insiden kelam di mana 43 orang terbunuh dalam peristiwa di Ellis Park Stadium, 8 orang tewas di Lubumbashi, Congo, dan 1 korban jiwa muncul akibat bentrok antar suporter di sebuah pertandingan di Pantai Gading. Pada akhirnya sejumlah kejadian itu tetap tidak berpengaruh terhadap pencalonan Afrika Selatan yang sedang mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006 sebab rentetan insiden tersebut terjadi dalam lingkup kompetisi domestik.

3. Tragedi Heysel (1985) dan Tragedi Hillsborough (1989)

Dua peristiwa hitam dalam sejarah sepakbola Inggris menimpa Liverpool dalam kurun waktu empat tahun. Tragedi Heysel terjadi saat final Piala Champions (saat ini Liga Champions) pada 29 Mei 1985. Tembok stadion runtuh menimpa para suporter yang hadir di Heysel Stadium, Brussels, Belgia sebelum pertandingan berlangsung dan menewaskan 39 orang serta menyebabkan lebih dari 600 lainya luka-luka. Bentrok antar kedua suporter yang saling lempar batu menyebabkan banyak penonton lainnya berlindung dengan memadati salah satu sisi tembok yang akhirnya mulai runtuh dan menimpa para penonton yang menepi tersebut. Namun, setelah penyelidikan ditemukan fakta bahwa mayoritas korban jiwa diakibatkan oleh jepitan kerumunan saat para suporter berlarian keluar stadion.

Para suporter saling tindih mencari jalan keluar di laga final Piala Champions antara Liverpool vs Juventus pada 1985
Para suporter saling tindih mencari jalan keluar di laga final Piala Champions antara Liverpool vs Juventus pada 1985. (The Observer)

Empat tahun berselang bencana kembali menimpa Liverpool. Pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool versus Nottingham Forest di Hillsborough Stadium, kandang Sheffield Wednesday memakan 96 korban jiwa dan tercatat sebagai kecelakaan stadion terparah dalam sejarah Britania Raya. Suasana ‘karnaval’ yang saat itu digambarkan dengan riuh riang tiba-tiba menjadi mencekam saat para suporter mendekat untuk masuk ke stadion melalui pintu putar Leppings Lane.

Komandan yang bertugas di pertandingan itu, David Duckenfield kemudian memerintahkan petugas untuk membuka gerbang luar. Namun, sekitar 2000 suporter Liverpool telah masuk melalui terowongan yang sudah penuh sesak sehingga menyebabkan kekurangan oksigen di tengah kerumunan. Hasil penyelidikan kemudian menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi akibat kelalaian pihak kepolisian. Pada 12 September 2012, Perdana Menteri Inggris, David Cameron meminta maaf secara terbuka atas upaya pihak kepolisian yang berusaha menutupi fakta penting dari insiden Hillsborough.

Suporter Liverpool berusaha menyelamatkan diri dengan memanjat tribun saat laga semifinal Piala FA antara Liverpool vs Nottingham Forest pada 1989 silam.
Suporter Liverpool berusaha menyelamatkan diri dengan memanjat tribun saat laga semifinal Piala FA antara Liverpool vs Nottingham Forest pada 1989 silam. (Bob Thomas/Getty Images.)

Sanksi berbeda dikeluarkan oleh pihak terkait terhadap dua peristiwa ini. Atas peristiwa di Heysel Stadium, Liverpool dan klub-klub sepakbola Inggris dikenai sanksi larangan berkompetisi di Eropa selama lima tahun, kecuali Liverpool yang mendapat hukuman larangan lebih lama yakni enam tahun. Hukuman itu diberikan berdasarkan hasil investigasi yang memutuskan bahwa 14 suporter The Reds dianggap sebagai provokator dari bentrokan yang terjadi dengan para suporter Juventus.

Sedangkan Tragedi Hillsborough tak mendapat sanksi dari UEFA ataupun FIFA sebab peristiwa itu terjadi di ajang turnamen domestik Inggris. Peristiwa Hillsborough kemudian memantik kebijakan pengetatan keamanan pertandingan sepakbola seperti melarang adanya alkohol hingga menghilangkan tribun berdiri di stadion-stadion Inggris sejak terbitnya laporan Taylor pada 1990, sebelum akhirnya Premier League kembali memperbolehkan uji coba tribun berdiri yang diperkenalkan saat laga tandang Liverpool ke Stamford Bridge dalam pertandingan Premier League pada awal tahun 2022.

4. Ellis Park Stadium Disaster di Johannesburg, Afrika Selatan (2001)

Terkait status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 dan calon tuan rumah Piala Asia 2023, kita dapat berkaca pada kasus Ellis Park Stadium Disaster yang terjadi di Johannesburg, Afrika Selatan pada 2001 silam. Saat itu Afrika Selatan tengah mengikuti seleksi untuk menjadi calon tuan rumah Piala Dunia 2006. Di tengah upaya itu, insiden kelam menimpa saat pertandingan Derby Soweto yang mempertemukan Kaizer Chiefs dan Orlando Pirates di Ellis Park Stadium pada 2001 silam.

Tragedi Ellis Park Stadium pada 2001 menewaskan 43 orang.
Tragedi Ellis Park Stadium pada 2001 menewaskan 43 orang. (Joe Sefale/Sunday Times)

Sekitar 60.000 penonton sudah memadati stadion tersebut sebelum 30.000 penonton lain mencoba menembus masuk ke dalam arena yang padat dan sesak. Menit 14 saat Kaizer Chiefs unggul lebih dulu, sejumlah penonton mulai turun ke area sentel ban. Orlando Pirates kemudian mencetak gol penyeimbang yang ternyata memantik keriuhan suporter dan menyebabkan desakan antar suporter hingga menyebabkan korban berjatuhan.

Total 43 orang tewas dalam tragedi itu dan 158 lainnya luka-luka. Atas kejadian itu Liga Afrika membayar 15.000 rand kepada setiap keluarga korban untuk biaya pemakaman dan tambahan dana perwalian sebesar 7.500 rand. Sedangkan Afrika Selatan di level internasional tetap diikutsertakan dalam seleksi calon tuan rumah Piala Dunia 2006, meski akhirnya mereka baru mendapat kesempatan saat Piala Dunia 2010 silam.

BACA JUGA:  Kala Fiorentina dan Batistuta Mencuri Hati Kita

Berkaca dari Sejarah, Indonesia Seharusnya Belajar

Berkaca dari sejumlah peristiwa kelam dalam sejarah sepakbola, sanksi untuk sepakbola Indonesia kemungkinan akan berkaca dari daftar insiden yang pernah terjadi sebelumnya. Mengenai sanksi terhadap Indonesia yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 dan sedang mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Asia 2023, belum ada keputusan lebih lanjut hingga proses dan laporan investigasi selesai.

Per 4 Oktober saat artikel ini ditulis, pihak PSSI telah menjalin komunikasi dengan FIFA selaku induk sepakbola internasional. FIFA dikabarkan telah meminta laporan investigasi lengkap dari insiden di Kanjuruhan sebagai bahan kajian untuk penentuan rekomendasi ataupun sanksi yang kemungkinan akan diberikan.

Jika dilihat dari kasus-kasus sebelumnya, sanksi atau hukuman yang diberikan terhadap sepakbola Indonesia tampaknya akan sepenuhnya menjadi kewenangan PSSI selaku federasi yang menaungi sepakbola Indonesia karena insiden Kanjuruhan terjadi di pertandingan kompetisi domestik Liga 1. Kecil kemungkinan federasi sepakbola Asia, AFC atau FIFA akan turut menjatuhkan sanksi terhadap sepakbola Indonesia baik di level kompetisi domestik maupun tim nasional.

Sementara investigasi terhadap insiden Kanjuruhan terus berjalan, Kapolri telah mencopot jabatan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Malang, AKBP Ferli Hidayat dan menonaktifkan 9 komandan Brimob Polda Jawa Timur, dan sebanyak 28 anggota polisi sedang menjalani pemeriksaan kode etik. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) independen juga telah dibentuk oleh pemerintah pusat yang diketuai oleh Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).

Upaya ini dilakukan untuk melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tumbangnya korban jiwa secara massal di Kanjuruhan. Sementara lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI mengatakan bahwa ada potensi maladministrasi yang melibatkan PSSI, operator kompetisi (LIB), polisi, dan panitia pelaksana (panpel) pertandingan di Kanjuruhan.

Temuan sementara oleh Ombudsman mengungkap bahwa mitigasi kerusuhan dalam pertandingan Derby Jatim itu tidak dilakukan dengan baik oleh keempat elemen yang disebutkan sebelumnya dengan menempatkan PSSI sebagai pihak yang memegang tanggung jawab penuh karena menjadi institusi yang punya wewenang untuk mendelegasikan pelaksanaan pertandingan kepada tiga pihak lainnya.

Jika hasil investigasi resmi nanti menyatakan demikian, maka bukan tak mungkin akan muncul intervensi pemerintah untuk membekukan sementara atau membubarkan kepengurusan PSSI yang sekarang serta menangguhkan kompetisi dalam waktu yang lebih lama hingga perbaikan tata kelola di seluruh aspek sepakbola nasional dijalankan dengan baik.

Kemungkinan Sanksi dari FIFA

Dengan begitu, maka ada potensi Indonesia akan kembali dikenai sanksi oleh FIFA jika induk sepakbola dunia itu menganggap hal ini sebagai intervensi pemerintah yang mana telah melanggar pasal 13 dan 17 dalam Statuta FIFA. Apabila benar terjadi, FIFA bisa saja kembali menerapkan sanksi bagi Indonesia seperti yang terjadi pada 2015 silam saat tata kelola sepakbola Indonesia bermasalah dan terjadi intervensi dari pemerintah.

Saat itu, FIFA mencabut keanggotaan PSSI, melarang timnas dan klub Indonesia mengikuti kompetisi internasional di bawah naungan FIFA dan AFC, serta setiap anggota dan ofisial PSSI tidak diperbolehkan mengikuti segala bentuk program atau kursus dari FIFA dan AFC selama sanksi berlaku. Satu tahun kemudian pada Mei 2016, sanksi baru dicabut oleh FIFA dan kembali mengakui PSSI. Untuk saat ini, sanksi seperti demikian tampaknya sangat diperlukan oleh pengelola sepakbola di Indonesia demi merevolusi secara total tata kelola sepakbola yang lebih profesional.

Kualifikasi Piala Asia U-17 2023 di Indonesia Digelar Tanpa Penonton

Saat ini, Indonesia juga sedang menggelar ajang Kualifikasi Piala Asia U-17 Grup B pada 1-9 Oktober 2022. Sebagai bentuk antisipasi dan penghormatan atas insiden di Kanjuruhan, pertandingan yang diselenggarakan terpusat di Stadion Pakansari itu telah diputuskan tetap berjalan tanpa penonton.

Apapun hukuman yang akan diterima oleh sepakbola Indonesia nanti, seharusnya menjadi momentum perbaikan secara total dari level federasi, operator kompetisi, klub dan suporter, dan pihak keamanan yang bertanggung jawab atas pengendalian kondisi darurat di stadion. Setelah ini, semoga tak ada lagi kabar duka yang muncul dari dunia sepakbola tanah air. Sudah cukup sering terdengar kalimat “Tidak ada sepakbola yang seharga nyawa manusia”, namun kondisi justru semakin parah dan tak mengalami perkembangan berarti. Semoga kebenaran dan keadilan terus tegak berdiri demi kemanusiaan.

Komentar