Senyum Matteo Darmian di Sisi Biru Kota Milan

Kepastian siapa penguasa Serie A musim 2020/2021 sudah terjawab di giornata ke-34. Kemenangan dengan skor 2-0 yang didapat Inter Milan atas Crotone dan diikuti hasil imbang 1-1 pada laga Atalanta kontra Sassuolo memastikan gelar Scudetto ke-19 untuk Il Biscione.

Inter yang ketika itu sudah mengoleksi 82 poin, sudah tak bisa dikejar lagi oleh para pesaing mengingat kompetisi tinggal menyisakan empat pekan. Atalanta sendiri yang duduk di posisi kedua, pada saat itu baru mengemas 69 angka.

Keberhasilan Inter menjuarai Serie A musim ini terasa sangat spesial karena dua alasan utama. Pertama, mereka berhasil menyudahi dominasi Juventus yang selama sembilan musim pamungkas jadi kampiun di Italia. Kedua, prestasi ini bikin Il Biscione menikmati rasanya berbuka usai puasa gelar selama satu dekade.

Lebih manisnya lagi, Scudetto ke-19 ini membuat Inter menyalip jumlah gelar yang dimiliki sang tetangga, AC Milan (18 Scudetto).

Kesuksesan Inter pada musim ini tentu sulit dilepaskan dari tangan dingin Antonio Conte sebagai pelatih. Bekas pelatih tim nasional Italia tersebut mampu membuat anak asuhnya tampil spartan, kolektif dan punya mentalitas jempolan.

Beberapa penggawa asuhan Conte memang tampil sangat luar biasa musim ini. Alessandro Bastoni memikat di lini belakang.

Nicolo Barella bak mesin tempur yang tak kenal lelah. Christian Eriksen perlahan tetapi pasti melejit sebagai inisiator permainan dari sektor tengah.

Sementara duet Lautaro Martinez dan Romelu Lukaku di barisan depan begitu sukar dibendung oleh bek-bek lawan.

Di luar nama-nama tersebut, ada Matteo Darmian yang juga tampil memuaskan. Padahal, ia hanyalah pemain pelapis dalam skuad Il Biscione.

Saat direkrut dengan status pinjaman dari Parma dengan opsi tebus permanen pada akhir musim, banyak Interisti yang ragu akan kemampuannya.

Tatkala Darmian tiba di kota Milan dan menjalani tes medis, tak ada sambutan yang ia terima.

Hal ini berbeda jauh dengan apa yang dirasakan Achraf Hakimi atau Arturo Vidal saat didatangkan klub sebagai amunisi anyar jelang bergulirnya musim 2020/2021.

Akan tetapi, Conte mengerti betul siapa Darmian. Ia memiliki segudang alasan sehingga mendorong pihak manajemen untuk memboyong eks penggawa Manchester United tersebut.

BACA JUGA:  Zlatan Ibrahimovic yang Menguning Lagi

Kendati banyak tampil sebagai pelapis, tetapi presensi Darmian sangat berharga untuk pilihan taktik Conte.

Berposisi natural sebagai fullback atau wingback, pria asli Milan ini bisa dimainkan di sisi kanan maupun kiri. Performanya saat menyisir dua area sayap pun tergolong prima.

Tak sampai di situ, Darmian juga pernah dimainkan Conte sebagai salah satu dari tiga bek tengahnya dalam formasi 3-5-2.

Keputusan itu sendiri bukan sebuah perjudian belaka karena semasa junior, Darmian memang berposisi sebagai bek sentral.

Bergantian dengan Hakimi, Ivan Perisic, dan Ashley Young dalam mengokupansi pos wingback, Darmian memiliki kontribusi yang eksepsional. Hingga tulisan ini dibuat, ia sudah mengukir empat asis dan tiga gol di Serie A.

Fantastisnya, dua dari tiga golnya itu berperan besar atas kemenangan yang didapat tipis 1-0 yang dikantongi Inter. Masing-masing saat berjumpa Cagliari (11/4) dan Hellas Verona (25/4).

Minim Kesempatan di AC Milan, Jadi Andalan di Torino

Pada usia muda, talenta Darmian ditemukan oleh Beniamino Abate, mantan penjaga gawang yang menjadi pemandu bakat tim junior AC Milan.

Aksi-aksi Darmian dinilai Abate cukup bagus dan sang pemuda bisa menjadi pesepakbola hebat di masa yang akan datang. Hal itu membuat Abate mendorong tim junior Il Diavolo Rosso untuk merekrut Darmian.

Keputusan Milan memang tepat. Darmian muda memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa.

Pada fase ini pula, Darmian mengasah kemampuannya bermain di sejumlah posisi kendati mengawali masa pendidikannya dengan berperan sebagai bek tengah.

Penampilan apik di tim junior kemudian menggoda pelatih Milan era pertengahan 2000-an, Carlo Ancelotti, untuk mempromosikannya ke tim utama.

Pada 28 November 2006, Darmian pun melakoni debut profesionalnya saat menggantikan Kakha Kaladze dalam partai Piala Italia melawan Brescia.

Berselang beberapa bulan, pemain berambut gondrong ini melakoni debutnya di Serie A ketika Milan tumbang 2-3 di tangan Udinese.

Melihat semua yang telah terjadi, banyak yang merasa jika masa depan Darmian di Milan akan cerah. Namun apa lacur, segalanya jsutru tak berjalan mulus di kemudian hari.

Menumpuknya pemain belakang hebat, baik di pos bek tengah maupun fullback, pada era tersebut bikin Darmian tak kunjung mendapat kesempatan lebih.

BACA JUGA:  Rizky Ridho: Dari Ortuseight ke Mizuno

Jujur saja, dibutuhkan kemampuan maha dahsyat untuk menggeser posisi Marcos Cafu, Alessandro Costacurta, Kaladze, Marek Jankulovski, Paolo Maldini, Alessandro Nesta dan Massimo Oddo.

Realita tersebut mendorong Darmian menerima tawaran Padova, Palermo sampai akhirnya berlabuh ke Torino. Bersama klub yang disebut terakhir inilah, Darmian menampakkan kualitasnya.

Ditebus dengan biaya 1,5 juta Euro, Il Toro mendapatkan seorang pemain serbabisa dalam wujud Darmian.

Keputusan mencomot sang pemain rupanya tidak salah. Bersama Torino, pria berusia 31 tahun ini tampil amat konsisten.

Berkat performa apiknya di Torino, Darmian beroleh panggilan dari Cesare Prandelli untuk bergabung dengan timnas Italia pada Piala Dunia 2014 serta Conte dalam ajang Piala Eropa 2016.

Penampilan memukau Darmian pada akhirnya menarik atensi Manchester United. Lewat mahar senilai 12,7 juta Poundsterling, ia digaet ke Stadion Old Trafford.

Walau sempat jadi pilihan utama, tetapi performa Darmian kurang konsisten selama merumput di Inggris.

Dari musim ke musim, kesempatan bermain yang ia dapatkan kian sedikit. Kenyataan ini memantik keinginannya untuk mudik ke Italia.

Pada saat itu pula, banyak sekali asumsi yang menyebut jika Darmian sudah habis. Ia takkan bisa mengembalikan performanya seperti saat membela Torino.

Namun Parma bergeming, klub yang berkandang di Stadion Ennio Tardini tersebut tetap percaya bahwa Darmian bisa memberi kontribusi maksimal.

Meski secara keseluruhan penampilan Parma di musim 2019/2020 kurang elok, tetapi mereka masih sanggup finis di posisi sebelas.

Darmian sendiri bermain lebih dari 30 kali pada musim itu. Sebuah bukti kalau dirinya masih bisa diandalkan.

Kejelian Conte dan cocoknya Darmian pada taktik kesukaannya bikin dua orang ini akhirnya bersatu di Inter.

Dan benar saja, sang pemain berhasil menjawab kepercayaan sang pelatih tiap kali diberi kesempatan. Conte dan Darmian akhirnya sama-sama berpesta karena Il Biscione meraup Scudetto.

Lika-liku karier Darmian membuatnya mencicipi kostum dua kesebalasan top asal kota mode. Namun senyum dan kegembiraan lebih terlihat dari wajahnya saat bermain untuk sisi biru kota Milan.

Komentar
Seorang mahasiswa yang gemar nonton bola, menulis dan tidur. Penggemar AC Milan. Bisa disapa via akun Twitter @Anwarmustofa10_