Jejak Manchester United yang Diikuti Liverpool

Musim ini bertepatan dengan 30 tahun perayaan nirgelar Liga Primer Inggris dari Liverpool. Padahal, dalam rentang yang sama mereka cukup rajin menggondol trofi di ajang cup competition maupun kejuaraan antarklub Eropa (masing-masing berupa tiga Piala FA dan Piala Super Eropa, empat Piala Liga, dua Community Shield dan Liga Champions, dan sebiji Piala UEFA/Liga Europa).

Jujur saja, Liga Primer Inggris memang tidak semudah itu untuk didapatkan, pun liga-liga dengan konsep sejenis. Ada banyak sekali syarat yang mesti dipenuhi, termasuk oleh Liverpool, agar bisa memenangkan trofi Liga Primer Inggris.

Akan tetapi, sesulit apapun kondisi yang dihadapi, sejatinya ada cara atau trik untuk meraihnya. Berkaitan dengan gelar Liga Primer Inggris, trik paling sahih tentunya bisa The Reds tilik dari kesebelasan tersukses di era Liga Primer Inggris. Tak peduli bahwa tim tersebut adalah rival bebuyutan mereka yakni Manchester United.

Sebenci apapun pendukung Liverpool kepada United, hal itu takkan mengubah realita bahwa di tangan Sir Alex Ferguson, The Red Devils sukses menancapkan namanya sebagai langganan juara.

Menurut saya, ada lima poin penting yang menandai kesuksesan United di bawah rezim Ferguson. Dan hal itu pula yang kini coba diikuti oleh Liverpool buat menyudahi dahaga titel Liga Primer Inggris mereka.

Lini Pertahanan yang Kokoh

Sebelum kedatangan Jose Mourinho dengan gaya main yang cenderung defensif, United sebenarnya sudah terkenal dengan lini pertahanan yang kuat. Dari posisi kiper, khalayak pasti mengenal rekam jejak Peter Schmeichel, Edwin Van Der Sar, hingga kini ada David De Gea. Lalu dari posisi bek, ada yang beringas macam Jaap Stam dan Nemanja Vidic serta elegan tapi brilian seperti Rio Ferdinand.

Sempat memiliki Daniel Agger, Jamie Carragher, Sami Hyypia sampai Martin Skrtel yang tangguh, lini belakang Liverpool juga sempat jadi guyonan karena diisi oleh Loris Karius, Dejan Lovren, Simon Mignolet dan Mamadou Sakho.

Sadar bila mereka butuh memperkuat lini belakang, manajemen akhirnya rela merogoh kocek dalam-dalam buat merekrut Alisson Becker, Andrew Robertson dan Virgil van Dijk ke Stadion Anfield. Diakui atau tidak, ketiganya pun memberi perubahan yang cukup signifikan.

Pelatih Karismatik

Kala menukangi United, Opa Fergie dikenal sebagai figur yang temperamental sekaligus disiplin. Sampai-sampai istilah hairdryer treatment melekat kepadanya. Sebuah terapi pembangkit semangat yang dilakukan untuk mengembalikan moral bertarung para pemainnya supaya bermain lebih baik lagi dan mentalnya tidak lembek.

BACA JUGA:  Suka dan Duka Ballboy di Lapangan Sepakbola

Salah satu contoh dari proses tersebut muncul pada final Liga Champions 1998/1999 di mana United bermain kurang baik di babak pertama dan tertinggal dari Bayern München. Setelah mendapat hairdryer treatment saat turun minum, The Red Devils bangkit dan menghasilkan laga dramatis usai comeback dengan mencetak sepasang gol di menit-menit terakhir laga.

Jürgen Klopp juga termasuk pelatih yang emosional dan ekspresif, tapi ia bukan tipe yang akan memarahi pemainnya seperti yang Ferguson lakukan. Di sejumlah momen, Klopp malah melindungi dan membela para pemainnya dari tekanan publik.

Klopp juga menjadi sosok yang mampu mencairkan suasana. Contoh paripurnanya terlihat kala dirinya memakai celana dalam merek C. Ronaldo dan menariknya tinggi-tinggi sampai ke dada dalam persiapan menghadapi Real Madrid di final Liga Champions musim 2017/2018 kemarin.

Jika diibaratkan, Opa Fergie adalah sosok ayah pemarah yang menunjukkan kepeduliannya dengan memarahi anaknya habis-habisan jika memang bersalah. Sementara Klopp adalah sosok ayah penyayang yang selalu mendukung tumbuh kembang anaknya, tidak perlu dimarahi cukup diarahkan saja.

Tidak ada yang lebih benar di antara keduanya sebab pendekatan masing-masing adalah ciri khas dari Ferguson maupun Klopp. Satu hal yang pasti, karisma kedua pelatih ini membuat seisi skuat merasa nyaman dan bersemangat.

Semangat Pantang Menyerah

Sepakbola dimainkan selama 90 menit, dan selama itu pula sebuah tim seharusnya terus bermain dengan konsentrasi tinggi serta penuh semangat dalam kondisi unggul, sama kuat atau bahkan tertinggal.

Salah satu sisi menarik United pada masa jayanya adalah kemampuan mereka guna membalikkan keadaan sulit di menit-menit akhir pertandingan. Sebuah pertanda jika mentalitas mereka memang sangat kokoh.

Selain itu ada juga istilah Fergie Time, sebuah trik kecil yang dilakukan Opa Fergie dengan cara berdiri di pinggir lapangan sembari menunjuk ke arah jamnya. Hal ini dilakukannya untuk memberi tekanan psikologis kepada wasit agar memberikan waktu tambahan lebih panjang serta menekan para pemain guna berjuang sampai titik darah penghabisan, seolah-olah mereka tengah diingatkan bahwa waktu ujian hampir usai.

Untuk poin ini, sebenarnya Liverpool telah memilikinya sedari dulu. Terbukti dari beberapa laga yang bisa dimenangkan oleh The Reds usai tertinggal. Mulai dari Miracle of Istanbul melawan AC Milan di final Liga Champions 2004/2005, comeback brilian di semifinal Liga Champions 2018/2019 lalu melawan Barcelona dan yang paling baru, saat mengalahkan Tottenham Hotspur serta Aston Villa pada laga pekan kesepuluh dan kesebelas di Liga Primer Inggris musim 2019/2020.

BACA JUGA:  Liverpool vs Everton: Benci Tapi Cinta

Tetap Menang Kendati Bermain Buruk

Poin keempat ini berkaitan erat dengan poin ketiga. Ketika sebuah tim memiliki para pemain bermental baja dan tidak menyerah hingga peluit terakhir dibunyikan, maka mereka akan dibukakan jalan untuk meraih kemenangan meski harus melalui rintangan yang berat.

Seperti disebutkan di atas, sejak jaman dulu sebenarnya United bukanlah tim yang permainannya sangat agresif. Banyak laga yang justru dimenangkan dengan skor tipis. Namun yang terpenting, kan, menang. Percuma main bagus kalau hasilnya kalah. Barangkali mentalitas itu yang ditanamkan Opa Fergie kepada anak asuhnya.

Liverpool musim ini juga sudah menempuh jalan ninja tersebut. Klopp terlihat lebih fleksibel dalam penerapan taktik dan sering melakukan banyak penyesuaian. Secara keseluruhan, para pemain Liverpool tampak lebih dewasa dan lebih memahami kapan harus langsung menekan di sebuah pertandingan, kapan harus memainkan tempo terlebih dahulu.

The Reds asuhan Klopp juga memiliki banyak opsi untuk mencetak gol. Tak hanya dari permainan terbuka, pemanfaatan bola-bola mati Sadio Mane dan kawan-kawan juga sangat krusial dan kerap menentukan hasil pertandingan. Praktisnya, Liverpool sudah dilengkapi berbagai senjata untuk tetap menang walau kondisinya kurang baik.

Senantiasa Dinaungi Dewi Fortuna

Keberuntungan memang jadi faktor nonteknis yang cukup krusial dalam pertandingan sepakbola. Namun dalam kompetisi seketat Liga Primer Inggris, keberuntungan dalam satu laga saja tidak cukup untuk mengantar ke tangga juara. Dewi Fortuna harus menaungi sebuah klub dalam rentang waktu yang lama.

Ada satu hal lagi yang cukup identik dari United masa lampau, dan mungkin hingga sekarang yaitu keberpihakan wasit. Hal ini juga yang muncul dari Liverpool akhir-akhir ini.

Dalam sejumlah momen, mereka kerap diselamatkan oleh berbagai keberuntungan. Entah keputusan wasit yang memihak sampai bantuan Video Assistance Referee (VAR) yang tak tahu adat. Sampai-sampai, nama mereka diplesetkan jadi LiVARpool karena sering beroleh keuntungan.

Puasa gelar selama tiga dekade jelas melelahkan. Namun dengan performa yang cukup gemilang di musim ini, seharusnya The Reds berhasil menuntaskan misi tersebut. Kalau sampai gagal, baiknya jadi grup lawak saja.

 

Komentar
Penyandang tekad D. Penggemar Manchester United era Sir Alex Ferguson dan berstatus pemain Fantasy Premier Leagur paruh waktu. Dapat disapa di akun @SotoBuaya