Terbenam dan Tersingkir di Milan

Terbenam dan Tersingkir di Milan
Terbenam dan Tersingkir di Milan

Sejarah mungkin berulang. Namanya kemungkinan, kadang bertaut ketidakmungkinan. Pertanyaannya kemudian, entah kapan AC Milan bisa gagah seperti yang dulu? Bertarung di pentas tertinggi Eropa atau bersaing memperebutkan trofi domestik. Semua itu, terasa bak khayalan tingkat tinggi.

Delapan tahun silam, trofi Scudetto masih dikecup penggawa I Rossoneri. Tiga belas masa sebelumnya, Liga Champions dibawa pulang untuk kesekian kali. Nahas, dalam tempo lima tahun terakhir, hanya titel Piala Super Italia yang masuk ke lemari trofi. Capaian terakhir yang dapat dibanggakan Milanisti, utamanya saat beradu argumen dengan Interisti atau Romanisti yang kesebelasannya nihil gelar di rentang waktu yang sama.

I Rossoneri terbenam, I Rossoneri remuk redam. Di kota Milan yang metropolis, kelabu menggelayuti di atas langit Stadion San Siro. Massimiliano Allegri layaknya penerang terakhir bagi tim karena sesudahnya, kegelapan tak kunjung menepi.

Silih berganti allenatore berdiri di tepi lapangan, mulai dari Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, Sinisa Mihajlovic, Vincenzo Montella sampai Gennaro Gattuso, jubah teraktual Milan tetap diwarnai mediokritas. Ibarat lilin, binar mereka tak eksepsional, nyalanya sekejap sebelum akhirnya padam tertiup angin yang bahkan sepoi. Belum ada lagi cahaya seterang Carlo Ancelotti, apalagi mencapai kebintangan Arrigo Sacchi.

Musim ini, harapan dimuntahkan para tifosi. Elliot Management, pihak yang mengendalikan klub, merespons cepat dan bergerak cukup lincah di bursa transfer. Sejumlah pemain didatangkan sebagai langkah penguatan meski nama yang masuk bukanlah para pemain berlabel bintang.

Franck Kessie resmi dipermanenkan, Theo Hernandez merapat dari Real Madrid dan Rafael Leao ditransfer dari Lille. Selebihnya ada nama Ismael Bennacer, Leo Duarte, Rode Krunic, dan Ante Rebic. Kesemuanya diharapkan mampu memberi kontribusi maksimal demi memenuhi ekspektasi penunggu tribun selatan Stadion San Siro.

Dari sisi manajemen, Milan juga berbenah. Dua legenda, Zvonimir Boban dan Paolo Maldini masuk. Asanya sederhana, keduanya bisa menularkan dan memberi tahu identitas I Rossoneri yang sesungguhnya.

Sementara dari kursi pelatih, eks pembesut Sampdoria, Marco Giampaolo, direkrut untuk membawa Gianluigi Donnarumma dan kawan-kawan bangkit dari periode sulit walau banyak Milanisti yang sangsi akan kemampuannya.

BACA JUGA:  Carlos Queiroz: Pelatih Iran yang Nyaris Jadi Suksesor Sir Alex Ferguson

Namun tragis, enam pekan Serie A berjalan, Milan-nya Giampaolo menunjukkan tanda ketidakberesan. Dua laga tiga poin, empat laga berjalan lain. Rapor tersebut membaik saat Milan sukses menggasak Genoa di giornata ketujuh akhir pekan lalu (5/10).

Akan tetapi, tren negatif yang kadung menghajar I Rossoneri bikin pihak manajemen tak tahan lagi. Lewat situsweb resmi yang kemudian disebar melalui akun media ofisial tim, Milan memutuskan untuk mendepak Giampaolo.

Bekas pelatih Milan di era 1990-an, Fabio Capello, sempat berkomentar kalau lelaki berumur 52 tahun itu kurang bisa mengerti potensi para pemain. Capello juga mengkritik langkah jor-joran I Rossoneri di bursa transfer beberapa musim lalu yang dilakukan asal-asalan.

Lebih jauh, Capello menganggap skuat Milan saat ini kehilangan sosok pembeda di atas lapangan. Sejak periode di mana mereka kehilangan Zlatan Ibrahimovic, Kaka, dan Andrea Pirlo, klub yang berdiri tahun 1899 tersebut hanya dijejali pemain semenjana yang sesekali tampil luar biasa.

Poin pertama kritikan Capello ada benarnya. Giampaolo adalah sosok biasa untuk Milan yang, pernah, luar biasa. Dirinya bukan pelatih kenamaan dengan karisma menjulang. Rekam jejaknya beredar di tim-tim papan tengah dan bawah semacam Cagliari, Siena, Catania, Cesena, Brescia, Cremonese, Ascoli, Empoli dan Sampdoria.

Milan butuh figur pelatih yang dapat menguatkan mentalitas serta melahirkan karakter pemenang. Sialnya, Giampaolo malah lebih banyak menderita kekalahan sejak memulai karier sebagai pelatih kepala 2004 silam. Berdasarkan data Transfermarkt, Giampaolo sudah turun di 330 pertandingan dengan 109 kemenangan, 84 imbang, dan 137 kekalahan. Di Sampdoria saja, 49 kemenangannya berbanding 48 kekalahan dari 123 pertandingan. Bagi tifosi, Giampaolo sudah kalah sebelum musim dimulai. Tragis.

Persis seperti kisah Orwell dalam novel autobiografinya berjudul “Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London”, Milan mengalami nasib yang sama. Erik (penokohan Orwell pada novel tersebut) hidup terlunta-lunta lantaran akrab dengan kemelaratan.

BACA JUGA:  Valencia, Peter Lim, dan Mainan Yoyo

Bekerja di Paris sebagai tukang cuci piring rendahan lalu berakhir dari satu rumah singgah ke rumah singgah yang lain di London demi sepotong roti agar perut tetap terisi. Dalam situasi demikian, Erik hanya berpikir untuk hidup hari ini saja. Kemapanan sebatas angan yang terbayang dalam kelam.

Kesialan Milan musim ini, persis seperti Erik. Dikisahkan, saat Erik berhenti sebagai tukang cuci piring, ia berangkat ke London. Padahal kawan sesama penganggurannya, Boris, memilih tinggal di Paris.

Di London, Erik ketiban sial usai seorang yang menjanjikannya pekerjaan terbang ke Amerika. Erik terlunta di ibu kota Negeri Elizabeth tersebut sedangkan Boris justru sukses bersama restoran barunya di Paris. Diakui atau tidak, Boris ibarat Internazionale Milano, tetangga dekat Milan, hari ini. Mereka bangkit di bawah kendali Antonio Conte serta melaju di papan atas.

Kebangkitan Inter setelah tertatih bertahun-tahun menjadi derita lain bagi Milan yang masih berkubang di lumpur kesialan. I Rossoneri sudah enam tahun lebih absen dari Liga Champions. Mereka hampir dilupakan oleh para pesaingnya. Andai diingat, tak lebih dari bahan olok-olok belaka. Tujuh titel Liga Champions yang didapat Milan merupakan sejarah, agung memang, tapi esensinya meredup karena di masa sekarang, sekadar mengendus bau Liga Champions saja Donnarumma dan kawan-kawan tak sanggup.

Giampaolo sudah dipecat, kini Milan mencari sosok pengganti yang lebih kapabel. Konon, Stefano Pioli masuk ke dalam radar buruan. Ironisnya, dirinya pun bukan pelatih dengan kelas paripurna. Namun dirinya adalah opsi paling realistis mengingat situasi finansial tergolong buruk.

Satu hal tegas yang kudu disasar I Rossoneri di sisa musim ini adalah tampil lebih prima guna bangkit dari keterpurukan. Seperti Erik, hidup Milan kali ini untuk sekadar bertahan di Serie A. Sejarah hanyalah sejarah, perulangan biarkan sebatas angan. Itu saja.

Komentar
Andi Ilham Badawi, penikmat sepak bola dari pinggiran. Sering berkicau di akun twitter @bedeweib