Seandainya Ferguson Pensiun Pasca-Treble

Siapa yang tidak mengenal Sir Alex Ferguson? Ia merupakan salah satu pelatih tersukses di era 2000-an dan menjadi daya tarik orang untuk mendaku diri sebagai fans Manchester United.

Banyak dari mereka yang tertarik mengikuti United setelah tim asal Inggris ini menggondol Treble Winners pada musim 1998/1999.

Kebetulan, pada saat itu kompetisi sepakbola Inggris sedang ditayangkan salah satu kanal televisi swasta Indonesia. Alhasil, perhatian terhadap klub-klub Inggris, termasuk United, kian melesat.

Usut punya usut, setelah kesuksesan besar itu, Ferguson berniat untuk mengakhiri karir kepelatihannya. Ia merasa telah berada di puncak karir dan rasanya sangat pas jika segera pensiun dari dunia kepelatihan.

Akan tetapi, keinginan tersebut ditentang oleh istri dan anak dari Ferguson. Cathy, istri sang gaffer mengatakan tidak ada alasan bagi Ferguson untuk segera mengakhiri karirnya.

Melihat kondisi kesehatan Ferguson yang masih baik-baik saja, Cathy memang lebih suka Ferguson untuk tidak berdiam diri di rumah.

Apa yang Cathy utarakan lantas diamini anak-anaknya yang juga tidak ingin melihat sang ayah pensiun dini.

Beruntung bagi United sebab presensi Opa Fergie, salah satu sapaan akrabnya, pada tahun-tahun selanjutnya berujung pada raihan trofi demi trofi. Andai saat itu Ferguson pensiun, mau jadi apa kesebelasan yang bermukim di Old Trafford ini?

Mungkin kita takkan melihat The Red Devils meroket sebagai tim dengan prestasi sangat gemilang.

Bisa jadi tak ada three-peat gelar Liga Primer Inggris, tak ada tanda pagar #CHAMP20NS yang ikonik itu, tak ada pesta keberhasilan merengkuh titel Liga Champions ketiga sepanjang sejarah klub, tak ada Cristiano Ronaldo yang angkat nama di Manchester dan lain sebagainya.

BACA JUGA:  Menunggu Aksi Tiga Raksasa Terbuang di Europa League 2016/2017

Mungkin, dominasi di tanah Britania bakal jatuh ke tangan Arsenal di bawah arahan Arsene Wenger atau Chelsea asuhan Jose Mourinho yang kekuatannya saat itu selevel dengan United.

Ronaldo bahkan secara terbuka menyebut kalau lelaki Skotlandia itu sudah seperti ayah keduanya. Tanpa Ferguson, ia takkan menjadi pesepakbola kelas dunia seperti sekarang.

Kita semua pasti ingat momen di mana Ronaldo yang baru saja memenangkan Piala Eropa 2016 bareng tim nasional Portugal, diberi selamat oleh Ferguson usai Ronaldo menerima medali dan mengangkat piala. Sebuah gestur yang penuh makna.

Yang paling ikonik adalah drama yang sangat sering disajikan di menit-menit akhir kala United bertanding. Hal inilah yang menginisiasi sebutan “Fergie Time” pada fase injury time.

Ferguson membuka fakta dalam buku, “Alex Ferguson: Otobiografi Saya”, tentang kebiasaannya mengetuk-ngetuk jam tangan pada menit-menit akhir laga.

Hal itu dilakukan bukan untuk mengingatkan timnya bahwa waktu sudah hampir habis, melainkan untuk memberi tekanan kepada lawan.

Ferguson dalam bukunya juga berkata, “Ketika lawan unggul terlebih dahulu, mereka akan dapat masalah besar. Kami (Manchester United) akan menyerang mereka habis-habisan”.

Sebuah mentalitas bertanding yang akan selalu dirindukan oleh fans fanatik The Red Devils.

Ferguson akhirnya benar-benar memutuskan untuk pensiun di akhir musim 2012/2013 setelah memastikan gelar Liga Primer Inggris ke-20 sepanjang sejarah United.

Pria yang juga pernah menangani Aberdeen itu mengakhiri karirnya setelah memenangkan lebih dari 30 gelar bagi rival sekota Manchester City itu.

Setelah era Ferguson, praktis hanya raihan titel Piala FA bersama Louis van Gaal dan Piala Liga serta Liga Europa bersama Mourinho yang prestisenya terasa bagi klub.

Gelar Liga Primer Inggris sudah begitu lama tidak dikecup. Pun dengan trofi Liga Champions yang masih enggan ‘pulang’ ke Old Trafford.

BACA JUGA:  Semesta Merestui Messi Menuju Kesempurnaan

Wajar kalau akhirnya fans United merasa gerah dengan pencapaian klub belakangan ini.

Dahulu, sembari menepuk dada dengan angkuhnya, suporter The Red Devils membanggakan prestasi gemilang timnya seraya mengejek para rival.

Selepas era Ferguson, roda berputar dan giliran mereka yang mencicipi nasib pahit itu.

Diledek rival yang prestasinya makin berkilau sementara United tak kunjung mampu menambah silverwares di lemari trofi mereka.

Saat ini, tongkat estafet kepelatihan Ferguson diteruskan oleh salah satu anak asuhnya yang menjadi pahlawan di final Liga Champions 1998/1999, Ole Gunnar Solskjaer.

Apakah Ole bisa mengikuti jejak bekas pelatihnya tersebut? Selalu tersedia kemungkinan untuk itu. Namun perkara mewujudkannya memang bukan hal sepele.

Ada banyak proses yang mesti dijalani dan banyak pelajaran yang kudu dipetiknya guna membawa United kembali ke titahnya sebagai tim kelas satu di Inggris, Eropa, maupun dunia seperti era Ferguson dahulu.

Komentar
Pemuja setan merah yang tengah mendalami taktik sepakbola. Sangat senang bila diajak berdiskusi sambil makan gorengan. Bisa dihubungi via twitter @liffahmi