Geliat Prestasi Bulutangkis Indonesia

Memasyarakatkan tepok bulu, menepok bulu-kan masyarakat..

Kutipan di atas bukan kutipan dari seorang tokoh manapun. Itu hanya plesetan yang saya buat dari kutipan yang diucapkan oleh Abdul Gafur, Menteri Olahraga pada tahun 1983, ketika meresmikan tanggal 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas). Waktu itu, Abdul Gafur mengatakan “Memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan masyarakat”.

Bulutangkis sebagai olahraga yang paling banyak menyumbangkan prestasi internasional bagi Indonesia perlu kembali digairahkan. Pasalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa prestasi bulutangkis kita sempat menurun.

Puncak mundurnya prestasi badminton kita dibuktikan dari absennya atlet bulutangkis Indonesia menyabet medali emas Olimpiade London 2012. Padahal, menyabet medali emas adalah tradisi prestasi yang selalu diukir semenjak Alan Budikusuma dan Susi Susanti meraihnya pertama kali di Olimpiade Barcelona 1992 pada nomor tunggal putra dan tunggal putri.

Beruntung kegagalan pada Olimpiade London 2012 dibayar lunas pada Olimpiade Rio 2016 di mana Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir berhasil meraih emas pada nomor ganda campuran.

Turnamen bulutangkis dibagi menjadi beberapa tingkat menjadi super series premiere, super series, grand prix gold, grand prix, dan beberapa tingkatan di bawahnya lagi. Turnamen super series premiere dan super series menjadi yang paling bergengsi karena bukan hanya memperebutkan hadiah uang yang besar, tapi juga hanya diikuti oleh 28 pemain dengan ranking BWF terbaik, plus 4 pemain hasil kualifikasi.

Tahun lalu, Super Series Premiere diselenggarakan sebanyak 5 kali, yaitu All England, Malaysia Open, Indonesia Open, Denmark Open dan Cina Open. Sementara turnamen level super series diselenggarakan sebanyak 7 kali, masing-masing India Open, Singapura Open, Australia Open, Jepang Open, Korea Selatan Open, Prancis Open dan Hongkong Open.

Turnamen terakhir untuk menutup rangkaian turnamen level super series adalah Super Series Master Final yang tahun lalu diadakan di Dubai pada 14-18 Desember. Prestasi yang ditorehkan atlet-atlet kita sepanjang tahun 2016 terhitung lumayan dan mulai menunjukkan geliat kebangkitan.

Terdapat 13 turnamen level super series yang masing-masing mempertandingkan 5 nomor, maka sepanjang tahun tersedia sebanyak 65 gelar. Dari 65 gelar yang diperebutkan, Indonesia meraih 9 buah gelar.

BACA JUGA:  Kevin Sanjaya dan Harapan yang Pernah Ada

Masing-masing oleh Sony Dwi Kuncoro di Singapura Open, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya di India Open, Australia Open, dan China Open, Nitya Krishinda/Greysia Polli di Singapura Open, Praveen Jordan/Debby Susanto di All England, Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir di Malaysia Open, China Open dan Hongkong Open.

Jika kita bandingkan dengan negara-negara lain, di mana hanya ada atlet dari 11 negara yang mampu meraih juara, maka Indonesia dan Jepang sama-sama di posisi kedua terbanyak dengan 9 gelar, di bawah China yang terlalu mendominasi dengan 17 gelar juara.

Geliat kebangkitan prestasi bulutangkis Indonesia pada tahun 2016 tak hanya ditandai melalui raihan medali emas di Olimpiade saja. Termasuk jika kita melihat catatan turnamen super series sejak 2012 sampai 2016 juga mengalami peningkatan.

Sepanjang tahun 2012 kita hanya meraih 4 gelar. Sempat meningkat pesat pada tahun 2013 dengan meraih 10 gelar, prestasi Indonesia kembali anjlok pada 2014 di mana pada tahun itu kita hanya meraih 5 gelar.

Kemudian pada 2015 capaian atlet-atlet kita di turnamen super series semakin menurun dengan hanya meraih 4 gelar saja. Dengan demikian dapat disimpulkan sejak 2012-2016, maka tahun 2016 adalah tahun kedua terbaik bulutangkis kita dalam 5 tahun terakhir, setelah tahun 2013.

Meskipun peningkatan ini terasa signifikan, tentu ada beberapa catatan yang harus menjadi evaluasi dan harus diperbaiki oleh PBSI. Pertama, fakta bahwa sejak tahun 2012 tak ada satupun pemain tunggal putri Indonesia yang mampu memenangi turnamen sekelas super series.

Bahkan, jika kita lihat ranking BWF pada nomor tunggal putri, maka pemain Indonesia yang punya ranking terbaik adalah Fitriani di urutan 29, disusul Hanna Ramadini di urutan 32 dan Dinar Dyah Ayustine di urutan 39.

Artinya, tak ada tunggal putri Indonesia yang berhak langsung lolos ke turnamen super series, semuanya harus melalui kualifikasi terlebih dahulu.

Kedua, Indonesia masih sangat sulit mengukir prestasi pada nomor beregu seperti Piala Sudirman, Piala Thomas dan Piala Uber. Piala Thomas tahun 2016 lalu Indonesia berhasil menembus final, namun dikalahkan Denmark dengan skor 3-2. Mengulang kekalahan tahun 2010 di mana ketika itu Indonesia dikalahkan China 3-0 pada partai puncak.

BACA JUGA:  Team of The Week Liga 1 Pekan Ke-3: Dominasi Serangan Pemain Asing

Terakhir Indonesia juara Piala Thomas adalah tahun 2002, 15 tahun yang lalu. Lalu bagaimana dengan Piala Uber? Waduh, semakin sulit saja.

Indonesia terakhir juara tahun 1996, masuk final terakhir tahun 2008. Kemudian tahun 2010 mencapai semifinal dan terakhir pada 2016 hanya mencapai perempat final. Ini membuktikan bahwa pada sektor putri, entah perorangan atau beregu, kita masih sangat loyo.

Tahun 2017 akan diselenggarakan Piala Sudirman yang bertempat di Gold Coast, Australia, pada 21-28 Mei. Indonesia selalu kesulitan pada turnamen ini, kita hanya pernah sekali juara pada pagelaran pertama tahun 1989.

Terakhir masuk final pada 2007, lalu mentok di semifinal pada penyelenggaraan 2009, 2011 dan 2015. Untuk Piala Sudirman, rasanya kita tak usah terlalu muluk berharap. Yah, semoga capaian tahun ini paling tidak sama seperti tahun 2015 jika tak bisa lebih baik.

Keberhasilan Marcus/Kevin di ajang All England 2017 selayaknya menjadi suntikan motivasi besar bahwa kita bisa bangkit. Hasil All England secara keseluruhan juga menunjukkan bahwa kemampuan tiap negara semakin berimbang meski Cina tetap yang paling diunggulkan.

Dari lima nomor yang dipertandingan di All England, ada lima juara dari lima negara berbeda. Indonesia di ganda putra, Malaysia menjuarai tunggal putra atas nama Lee Chong Wei, lalu Cina unggul di ganda campuran, Korea Selatan di nomor ganda putri, dan pemain Taiwan, Tai Tzu Ying menyabet gelar tunggal putri.

Semoga prestasi bulutangkis kita tahun 2017 ini semakin baik. Pesan saya kepada pak Wiranto selaku ketua PBSI yang menggantikan pak Gita Wirjawan, supaya prestasi sektor putri kita membaik, mari mendedek gemesh-kan tepok bulu dan menepok bulu-kan dedek gemesh!

Smashhh!!

Komentar