Banu Menunggu

Banu Menunggu
Banu Menunggu

Di balkon ruangan yang menghadap ke sebuah lapangan sepakbola, berdiri seorang pemuda. Tatapannya lurus ke depan. Dari samping, wajahnya menampakkan gurat-gurat kegembiraan atas apa yang ia saksikan. Sayup-sayup, telingaku memang menangkap suara riuh rendah dari lapangan itu. Sepertinya ada pertandingan sepakbola.

Tanpa pikir panjang, aku pun berjalan mendekatinya. Namun entah karena terlalu fokus menyaksikan pertandingan tersebut atau bagaimana, ia justru kaget tatkala mendapatiku sudah berdiri di sampingnya.

Ia lantas menyambutku dengan senyuman. “Mau nonton juga, Bang?,” tanyanya.

“Sudah pasti. Seru banget, ya?,” tanyaku balik.

Pemuda itu lantas menjelaskan bahwa salah satu kesebelasan yang bertanding adalah tim favoritnya.

“Tim yang berbaju ungu itu jagoan gue, Bang. Semoga mereka menang kali ini,” tuturnya lagi.

Satu hal yang kutangkap, ia tampak begitu antusias kala membicarakan sepakbola. Matanya berbinar, seolah tak ada hal lain yang seindah permainan sebelas lawan sebelas tersebut.

Benar saja, ketika aku memancingnya dengan pertanyaan, “Seberapa suka kamu dengan sepakbola?”, sunggingan senyumnya berlanjut dengan tutur kata yang sangat kaya perihal sepakbola.

Baginya, sepakbola adalah jenis olahraga yang sangat menyenangkan. Tak hanya untuk dimainkan, tetapi juga disaksikan, bahkan dipelajari detail-detail mengenai taktik dan sebagainya.

“Tapi jujur, meskipun menarik, gue masih bingung kalau bicara soal taktik, Bang. Rasanya kayak belajar matematika,” ungkapnya diikuti gelak tawa.

Spontan, aku pun ikut tertawa mendengar ucapannya.

“Nggak suka matematika, ya?”

Kepalanya mengangguk seraya memamerkan barisan gigi putihnya.

Walau begitu, air mukanya berubah drastis ketika aku menanyakan alasan kenapa dia bisa berada di sini pada usia yang masih cukup muda. Tidak kusangka pula, bibirnya yang sedari tadi cukup luwes berbicara menutup rapat tanpa suara. Dalam keheningan yang berkelindan, pelupuk matanya terlihat basah.

BACA JUGA:  Persita dan Harapan Baru di Tangerang

“Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?” tanyaku mencari tahu.

Ia masih terdiam, menghela napas sembari mengusap kelopak mata dengan jemarinya.

“Maaf jika pertanyaanku itu membuatmu tersinggung. Sungguh, aku tak bermaksud begitu,” kataku lagi.

“Nggak apa-apa, Bang,” jawabnya.

Masih dengan napas yang tersengal-sengal, secara perlahan ia menjawab pertanyaanku tadi. Dengan tegas, ia menjelaskan bahwa keberadaannya di tempat ini juga diakibatkan sepakbola.

“Bagaimana bisa?” aku tercengang.

Ia kemudian bercerita bahwa semuanya terjadi beberapa tahun lalu saat dirinya menyaksikan pertandingan klub kesayangannya secara langsung di stadion. Pada momen tersebut, terjadi kerusuhan yang diawali lemparan ke arah tribun. Ironisnya lagi, suporter yang bertindak bar-bar adalah aparatur negara. Mereka datang ke stadion, mendukung salah satu kesebelasan yang bertanding karena pembina dari tim tersebut adalah seorang panglima dari sebuah badan tempur militer sekaligus ketua federasi sepakbola.

“Jujur aja, Bang. Gue nggak paham kenapa tindakan mereka beringas seperti itu. Kayak bukan manusia. Gue mau kabur buat menyelamatkan diri tapi mereka datang beramai-ramai lalu mukul, nendang tanpa henti. Kepala gue bocor, entah mereka mukul pake apaan. Teman-teman gue juga banyak yang digituin,” terangnya dengan nada bicara yang dipenuhi rasa bingung dan marah.

Aku yang mendengar penuturannya saja merasa kesal sekali. Terlebih ia yang merasakan sakitnya pukulan dan tendangan aparatur negara yang biadab itu secara langsung.

“Sampai sekarang, kejelasan soal pelaku juga belum ada, Bang. Kan, lucu. Nangkep orang nggak bersalah aja jago, nangkep yang jelas-jelas salah malah nggak bisa. Adanya cuma lip service selama dua tahun. Pelaku bakal ditangkap, bakal dihukum.  Ini gue yang bego apa gimana, sih,” ungkapnya kesal.

“Keluargamu bagaimana?”

BACA JUGA:  Asa Talenta Muda Putra Jaya FC dari Toba Samosir

“Sepanjang yang gue tahu, mereka sudah berusaha sekuat tenaga supaya kasus gue ini ada titik terangnya, Bang. Pelaku ketangkep dan dihukum. Tapi sampai hari ini, ya, begini-begini aja. Kesannya malah dibiarin, nanti orang-orang juga lupa. Kayak gitu.”

Apa yang sudah terjadi memang mustahil untuk dibatalkan. Namun menuntut keadilan dari segala sesuatu yang salah merupakan keharusan. Ia, keluarganya, teman-temannya, aku dan pastinya semua pihak, tentu menginginkan hal tersebut. Kami semua menunggu dan takkan berhenti menuntut.

“Hampir lupa. Namamu siapa?” tanyaku.

“Gue Banu Rusman. Jangan pernah lupain nama gue ya, Bang,” jawabnya tersenyum seraya pergi meninggalkan balkon untuk kembali ke ruangannya.

“Aku nggak akan lupa. Nggak akan pernah.”

 

Cerita ini dibuat sebagai memoar sekaligus menagih janji penyelesaian kasus Banu Rusman, pendukung Persita Tangerang yang meninggal dunia akibat perlakuan semena-mena aparat dalam laga PSMS Medan versus Persita di Stadion Mini Persikabo, Cibinong (11 Oktober 2017).

Komentar