Kota mati itu, ah, bukan kota, hanya sebuah desa. Desa mati itu bukanlah sisa-sisa reruntuhan perang, karena tak selamanya ia mati. Hanya mati suri. Ya, segala aktivitas penduduk akan terhenti sejenak di desa Lumban Bul-Bul di Kecamatan Balige, Kabupaten Tobasa tatkala sebuah tim sepakbola dari desa itu, yang bernama Putra Jaya FC bertanding.
Terutama ketika bertanding di lapangan Sisingamangaraja yang berada tidak jauh dari desa itu. Segala sesuatunya tampak tak lebih berarti bagi penduduk desa dibandingkan sepakbola ketika Putra Jaya FC akan bertanding.
Tidak hanya di desa Lumban Bul-Bul, sepakbola memang sudah sedari dulu menjadi hiburan bagi hampir seluruh penduduk Kabupaten Tobasa, sekalligus menjadi sesuatu yang dapat mempersatukan mereka semua.
Turnamen sepakbola selalu dinanti-nanti di tempat ini. Dari tarkam antar-desa, hingga kompetisi antar-kecamatan yang dianggap sangat prestius oleh para pemain maupun masyarakat penikmat sepakbola. Biasanya, banyak turnamen yang diselenggarakan menjelang tahun politik, seperti menjelang pelaksanaan pemilihan anggota legislatif, pemilihan bupati, hingga pemilihan gubernur.
Sudah barang tentu hal tersebut tidak terlepas dari upaya untuk mendongkrak kredibilitas para calon. Namun, tidak peduli siapa yang menyelenggarakan dan dalam rangka apa diselenggarakan, kompetisi sepakbola adalah sebuah kesempatan bagi para pemain lokal untuk menunjukkan kebolehannya dalam mengolah si kulit bulat.
Mereka tak peduli apakah terdapat unsur politis dalam turnamen yang mereka ikuti. Sepakbola tetaplah sepakbola, yaitu sepakbola yang menyatukan mereka. Saya sendiri beberapa kali merumput dalam turnamen semacam ini, namun sepertinya saya tidak punya cukup keberuntungan di dunia persepakbolaan. Namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi kecintaan saya terhadap sepakbola.
Seiring perkembangan, banyak talenta muda yang lahir dari turnamen kecil ini. Talenta ini pun mulai memberanikan diri untuk keluar dari zona tarkam. Benih-benih impian menjadi pemain profesional tumbuh subur seiring dengan semangat mereka bermain sepakbola.
Mereka berharap suatu saat bisa memperkuat salah satu klub elite di kasta tertinggi kompetisi sepakbola dalam negeri. Bahkan, mereka juga menanamkan hasrat yang kuat untuk bisa membela tim nasional Indonesia di kancah internasional.
Mimpi akan selamanya jadi mimpi kalau kita tidak bangun dan mulai mewujudkannya. Benih impian menjadi pemain profesional yang pernah ditanam oleh para pemain lokal itu akhirnya mengeluarkan tunas yang menjanjikan.
Salah seorang pemain muda berbakat dari kecamatan Balige itu berhasil menembus panggung sepakbola nasional. Dia adalah Donny F. Siregar. Beberapa tim papan atas pernah diperkuatnya. Mulai dari Persijap Jepara hingga Persiba Balikpapan. Keberhasilan Donny Siregar ini sekaligus semakin memacu anak-anak di sekitaran kabupaten Tobasa untuk berlatih lebih giat mengasah kemampuan mereka.
Namun, sejauh ini, sepertinya Tobasa belum juga melahirkan pemain-pemain baru sekaliber Donny F. Siregar yang merumput di liga sepakbola nasional. Sebenarnya, jika dilihat dari segi kemampuan, banyak pemain lokal muda yang tidak kalah kualitasnya dari pemain senior seperti Donny F. Siregar.
Hanya saja, rasa-rasanya mereka semua luput dari perhatian pemandu bakat, dalam hal ini PSSI yang masih kurang maksimal dalam mencari dan memberdayakan bibit-bibit pemain muda hingga ke pelosok negeri.
Jarangnya turnamen yang diadakan oleh PSSI untuk menjaring para pemain muda dari daerah dengan sendirinya berdampak pada kurangnya jam terbang para pemain. Hal yang paling sering terjadi adalah, pemain muda ini akan memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan memilih jurusan Pendidikan Olahraga.
Disamping mengikuti kegiatan perkuliahan, mereka biasanya akan menjadi pemain-pemain carteran yang berpindah-pindah dari tim tarkam yang satu ke tim tarkam yang lain. Sementara bagi yang tidak punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, akan tetap menjadi pemain lokal biasa yang senantiasa merindukan turnamen sebagai panggung mereka untuk unjuk kebolehan.
Akhir yang paling menyakitkan dari hal semacam ini adalah; mereka-pemain muda yang tinggal di kampung-terpaksa harus mengubur impiannya untuk menjadi pemain sepakbola profesional.
Kini harapan baru muncul ketika sudah ada beberapa pemain muda dari Kabupaten Tobasa yang memilih pindah ke ibukota Sumatera Utara-Medan-dan menimba ilmu di sana dengan masuk ke SSB (Sekolah Sepakbola), bahkan ada yang memperkuat tim PSMS Medan junior.
Namun harus diketahui bahwa langkah-langkah semacam ini adalah inisiatif dari para pemain muda, dengan dukungan orangtua mereka. Sudah pasti, pemain muda yang dapat mengambil langkah ini adalah mereka yang mempunyai kemampuan finansial yang memadai.
Sementara bagi mereka yang kurang mampu secara finansial hampir mustahil untuk mengambil langkah ini, yakni pergi ke kota, melanjutkan pendidikan di sana, sekaligus menimba ilmu di sekolah sepakbola.
Peran PSSI masih sangat dibutuhkan dalam hal ini. PSSI diharapkan dapat memaksimalkan potensi yang ada di setiap sudut negeri, supaya semua anak-anak di negeri ini bisa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemain sepakbola profesional sekaligus berkontribusi bagi bangsa dan negara melalui sepakbola. Semoga PSSI terus melakukan perbaikan agar bisa meraih kejayaan dan konsisten dalam usahanya memberikan yang terbaik bagi NKRI.