Saya yakin, sebagian besar fans Manchester United saat ini adalah mereka yang menikmati kejayaan The Red Devils saat berada di bawah asuhan Sir Alex Ferguson.
Pelatih legendaris asal Skotlandia itu menakhodai tim ini selama lebih dari 26 tahun. Saya pun termasuk dalam golongan tersebut.
Rasanya nyaris mustahil melihat anak-anak atau remaja masa kini yang dengan bangganya mendaku diri sebagai fans United mengingat paceklik prestasi yang mereka alami.
Bisa dikatakan, saya ‘resmi’ menjadi fans United pada tahun 1995 silam. Saat itu, entah kenapa saya langsung memiliki ketertarikan kepada The Red Devils lewat cuplikan-cuplikan pertandingan yang saya saksikan di layar televisi alih-alih tim sepakbola lainnya.
Kebetulan, pada era tersebut United sedang jaya-jayanya. Termasuk sukses merengkuh Treble Winners pada 1998/1999.
Saya, bersama miliaran orang lainnya pasti menyaksikan bagaimana United melesat dengan bertumpu kepada jebolan akademi mereka semisal David Beckham, Ryan Giggs, Gary Neville, dan Paul Scholes yang kondang disebut Class of 92.
Saya pun menyaksikan bagaimana United bertarung melawan tim-tim sekelas Arsenal, Chelsea dan Liverpool yang berupaya merusak hegemoni mereka.
Akan tetapi, selagi Ferguson masih duduk di bangku kepelatihan, tak ada kecemasan sedikit pun. United terus melaju sebagai kesebelasan terbaik di Inggris.
Nahas, kondisi berbeda dirasakan suporter United, termasuk saya, setelah Ferguson menyatakan diri pensiun.
The Red Devils seperti setan yang hilang kekuatan usai dibacakan Ayat Kursi. Penampilan mereka semenjana dan tanpa greget.
David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, sampai Ole Gunnar Solskjaer datang silih berganti sebagai pelatih. Namun tak ada yang sanggup mengubah peruntungan.
Perlahan tapi pasti, klub yang berkandang di Stadion Old Trafford ini justru menjadi bahan tertawaan seantero Bumi karena sering memperlihatkan sesuatu yang jenaka dan memalukan.
Entah itu performa konyol pemainnya yang berharga mahal di atas lapangan atau keputusan-keputusan tak masuk akal dari pihak manajemen.
United juga sering dijadikan bahan bulan-bulanan di media sosial. Pasalnya, akun media sosial resmi mereka acap memantik kontroversi dan beberapa kali malah bersikap norak.
Saya tidak tahu pasti apa alasan United begitu dibenci oleh fans sepakbola lainnya. Mungkin, karena tim kesayangan mereka sering dikalahkan The Red Devils saat masih diasuh Ferguson dahulu.
Barangkali mereka iri setengah mati saat tim ini sedang menikmati kejayaannya bersama Ferguson sehingga kini penuh semangat melontarkan olok-olok saat United terpuruk.
Mesti saya akui bahwa menjadi fans United selepas pensiunnya Ferguson sangatlah berat.
Walau saya bukan fans yang bermukim di kota Manchester, saya merasakan apa yang mereka rasakan ketika menonton pertandingan The Red Devils di kandang lawan. Ya, mereka selalu kena ledek. Menang saja kena, apalagi kalah.
Para public figure yang kebetulan menjadi fans United pasti merasakan hal serupa. Tak heran kalau sosok semisal Agus Mulyadi, Pandji Pragiwaksono, dan Sujiwo Tejo, lebih fasih mengolok-olok kebobrokan United sendiri daripada bertingkah jemawa dan sombong.
Lagipula, apa yang mau disombongkan kalau United bobroknya naudzubillahi mindzalik begitu?
Dahulu, Ferguson pernah meledek suporter Manchester City sebagai tetangga yang berisik. Pasalnya, saat itu mereka mulai banyak omong terkait performa The Citizens yang kian membaik.
Padahal, secara historis, mereka masih jauh tertinggal dan tak lebih dari bayang-bayang United.
Akan tetapi, tatkala City semakin sibuk meraih prestasi dengan tampil dominan di kompetisi domestik sehingga fansnya makin banyak dan berani menepuk dada, United dan suporternya justru gemar membahas masa lalu.
Benar jika itu tetap relevan dalam lingkup sejarah, tapi hanya sebatas itu. Semuanya menjadi nirmakna kalau berkaitan dengan kekinian.
Di saat City terus memanen trofi, nyatanya United hanya menatap nanar dan sesekali mengusap air mata.
Kala suporter The Citizens bangga akan pencapaian mereka di masa kini, fans The Red Devils hanya membisu. Andai bicara demi mempertahankan gengsi pun, bahasannya sejarah lagi.
Dahulu fans City yang disebut tetangga berisik, tapi rasanya label itulah yang kini dipanggul suporter United.
Sejujurnya, saya betul-betul iri dengan tim lainnya yang saat ini mengalami kejayaan. Saya melihat jutaan fans City, Chelsea atau Liverpool yang sedang semangat-semangatnya mendukung tim kesayangan mereka.
Perasaan itu persis seperti yang saya rasakan ketika United ditukangi Ferguson dahulu. Menyenangkan sekali.
Meneruskan kinerja brilian Ferguson memang tak mudah. Beban inilah yang dirasakan seluruh pelatih yang menjabat.
Kini United diasuh Ralf Rangnick. Saya berusaha tidak menaruh ekspektasi apapun kepadanya.
Sebab yang terpenting bukanlah United meraih gelar A, B, atau C bersamanya melainkan kemampuan Rangnick untuk membangun fondasi agar tim ini dapat kembali kompetitif.
Mengulang kejayaan seperti rezim Ferguson pastilah sulit. Namun setidaknya mereka bisa kembali ke khitahnya sebagai tim kandidat juara setiap kali menjalani musim kompetisi dan tak lagi berkubang dalam periode semenjana.