Karena tubuhnya tak berisi, ia bisa melesat bagai kijang dan meliuk-liuk lincah menghindari kepungan lawan. Semifinal Piala FA, 14 April 1999, yang mempertemukan Manchester United dan Arsenal membuktikannya.
Hingga kini, gol yang dicetak Ryan Giggs, Si Kijang Wales itu, masih dikenang sebagai salah satu gol terbaik. Berlari dia menusuk dari tengah lapangan, empat bek Arsenal pontang-panting berusaha menghadangnya, namun gagal.
Dengan kaos yang tampak kedodoran, dia meliuk-liuk melewati hadangan pemain The Gunners. Hingga pada puncaknya, dia melesatkan bola yang bersarang di gawang David Seaman. Dia berlari menuju kawan-kawannya sembari melepas kaos dan berteriak girang. Gol pada menit ke-104 itu pada akhirnya mengantar United ke final dan merengkuh juara.
Giggs, salah satu pemain terbesar Manchester United, telah membela Setan Merah lebih dari 1000 kali. Sudah 3 dekade dia berkostum merah. Loyalitas yang tak diragukan bersama United membuatnya mampu merengkuh berbagai trofi bersama Sir Alex Ferguson.
Kekurangannya satu, dia belum berprestasi bersama Wales. Itu saja. Sisanya hanyalah kisah kejayaan, plus sedikit skandal.
Orang boleh saja melihat Giggs dengan segala kebesarannya. Tapi, pria Wales ini tak mungkin menjadi legenda tanpa sosok Dennis Schofield, penjual susu keliling.
Silakan selidik foto masa muda Giggs bersama Schofield, niscaya Anda akan menemukan seorang remaja yang berdiri takzim dengan tangan ngapurancang di samping tukang susu itu. Giggs begitu mengormatinya. Tanpa daya penciuman Schofield, bakat besar Giggs tak bakal terendus.
Jika bukan karena insting Schofield, mungkin Giggs bakal menjadi buruh pabrik di kota industri, Manchester, atau penjaga bar di London, mungkin juga pengantar susu di Oldham. Schofield, yang juga talent scout di Manchester City, sudah sejak awal menasehati manajemen City agar memagari Giggs dengan kontrak pemain remaja, tapi tak digubris.
Dan, tepat di usia 14, justru Alex Ferguson, manajer Manchester United, musuh bebuyutan City, yang mendatangi Giggs di rumah kontrakannya dan menyodorkan kontrak. Lalu, sejarah baru seorang legenda dimulai.
Dari Talent Scout hingga Global Scouting System
Talent Scout adalah istilah modern untuk menyebut para pengendus dan pemburu bakat. Ada yang profesional, ada yang sampingan, ada juga yang amatir. Mereka berkeliling, di pelosok-pelosok negeri, untuk mencari calon bintang masa depan. Mereka bagai pemburu harta karun yang berpencar dengan lokasi berbeda untuk mendapatkan hasil maksimal.
Namanya juga pemandu bakat, mereka butuh mengintai calon bintang berkali-kali, selama beberapa minggu, bahkan bulan, untuk memastikan apabila pemain incarannya benar-benar punya skill yang oke. Biar target tidak lepas, mereka juga melakukan pedekate secara pribadi, baik dengan pemain maupun keluarganya.
Di Eropa, ketelatenan seorang pemandu bakat juga ditentukan sejauh mana dia bisa berhubungan baik dengan klub yang menunggu pasokan “bibit unggul”.
Sevilla, klub yang merajai kasta kedua Eropa dalam tiga tahun terakhir, bahkan disebut memiliki 500 pengendus bakat yang menjelajah di Benua Biru dan Afrika. Di Belanda, Ajax sudah melakukannya tiga dasawarsa silam sehingga dikenal sebagai pabrik penghasil pemain muda dengan kualitas di atas rata-rata.
Namun, saya kira yang terkonsep matang ada di Inggris. Arsenal memelopori penggunaan Global Scouting System, konsep temuan filsuf lapangan hijau, Arsene Wenger, untuk memantau perkembangan talenta muda di seluruh dunia. Mereka menyebar pemandu bakat di negara-negara “dunia ketiga”.
Lewat konsep ini, Wenger ikut memutar ekonomi makro di Arsenal. Dia kulak pemain berbakat yang masih undervalue dari berbagai negara “dunia ketiga” dalam sepakbola, kemudian digodog di akademi Arsenal, dipoles, lalu dijual.
Bagaimana dengan Indonesia? Dari sekian banyak, yang paling berkesan mungkin cara Indra Sjafri menggunakan pola scouting tatkala berkeliling mencari bibit-bibit terbaik di sekujur Indonesia untuk timnas U-19.
Karena pendekatannya yang manusiawi, maka hubungan antara penemu bakat dengan pemilik talenta terasa lebih mendekati hubungan antara anak-ayah, atau murid-guru. Tak perlu jauh-jauh, relasi Indra Sjafri dengan anak asuhnya di timnas U-19 secara kasat mata membuktikannya. Bahkan, generasi emas angkatan Evan Dimas ini senantiasa dengan takzim mencium tangan Indra saat berjumpa.
Beberapa di antara alumni U-19 ini bahkan menelepon coach Indra untuk meminta pertimbangan memilih klub yang tepat. Mereka demikian hormat pada orang yang telah menemukan talenta dan memberi harapan bagi mereka untuk berkembang.
Relasi demikian dekat ini saya rasa bukan hanya di Indonesia saja. Sejak masih ingusan hingga menjadi legenda, Ryan Giggs demikian takzim pada Schofield, Si Pengecer Susu. Di lain pihak, ada juga Cristiano Ronaldo yang menghormati Aurelio Pereira, pencari bakat Sporting Lisbon yang mengendus talenta istimewanya.
Sementara itu, Robinho dan Neymar sudah telanjur menganggap Jose Ely de Miranda alias Zito, penemu bakat mereka sebagai ayah angkat. Andaikata Zito, penggawa yang mengantarkan Selecao merengkuh dua gelar Piala Dunia 1958 dan 1962, tidak mengerek kemampuan Robinho dan Neymar, mungkin keduanya bakal menjadi orang biasa di Favela Sao Paolo dan Sao Vicente.
Ada banyak orang dengan kemampuan khusus seperti Schofield, Pereira, dan Zito. Mereka bisa menemukan permata di kubangan lumpur dan menggosoknya hingga mengilap. Mereka bisa melihat calon bintang dalam kondisi apa pun, bahkan dalam perang.
Bakat Luka Modric ditemukan dalam kecamuk Perang Balkan oleh Tomislav Basic. Modric, bocah kerempeng dari keluarga fakir itu nyaris tak pernah diperhatikan orang-orang. Ayahnya serdadu Kroasia yang sibuk dengan negaranya, sedangkan ibunya hanya perempuan biasa.
Justru di tengah ketidakpedulian itu, Basic mencium keistimewaan Modric. Dia menggaet bocah kurus itu untuk bergabung dengan tim muda Zadar. Basic menemukan, memoles, memberi instruksi, dan menginjeksikan motivasi hingga Modric mulai menemukan klub yang tepat beberapa tahun kemudian, Dinamo Zagreb.
Saat bermain di Tottenham Hotspur maupun Real Madrid, Modric senantiasa dengan rendah hati mengunjungi gurunya. Bahkan, ketika penemu bakatnya itu wafat pada 23 Februari 2014, Modric dengan tergesa-gesa pulang ke Kroasia untuk menghadiri pemakaman pria yang sangat dia hormati itu.
Pathfinder
Talent Scout sudah menjadi matarantai dalam piramida persepabolaan Eropa. Beberapa dari mereka bahkan sudah melanglangbuana ke benua Afrika dan menjelajahi sekujur benua itu hingga ke pelosok-pelosok.
Di masing-masing daerah, mereka sudah punya mata-mata yang tinggal merekam dan mempromosikan kepada “si bos bermata biru”. Bagaikan Kesatria Brom yang melatih Eragon menunggang Saphira, si naga betina dalam novel karya Christopher Paolini, para pelancong dari Benua Biru ini kemudian juga mengasah insting para pemain kulit hitam ini dengan tata cara bermain bola yang profesional dan aturan main resmi.
Jika para talent scout ini bilang kepada para remaja ini, “Show me your talent!”, maka di kemudian hari, ada agen yang menaunginya yang akan berkata dengan percaya diri ke setiap klub yang berminat kepada asuhannya, “Show me the money!” sebagaimana ucapan masyhur Jerry Maguire dalam filmnya.
Mungkin, di sini, hubungan simbiosis antara pengasah bakat dengan pemilik talenta berakhir. Namun, relasi emosional masih terjaga, sebab merekalah yang disebut pathfinder, alias pembuka jalan. Mereka menemukan bakat istimewa saat orang lain tak mampu menelisiknya, sebagaimana Glen Foy yang melihat talenta tukang kebun bernama Santiago Munez dalam film Goal.
Atau, dalam kisah nyata, dapat kita jumpai saat pelatih tinju Cus D’amato menemukan potensi menakjubkan dari berandal cilik bernama Mike Tyson. D’amato memang bukan jawara dunia, namun justru di tangannya lahir petinju paling brutal setelah era Muhammad Ali yang flamboyan.
Inilah fungsi pathfinder sebenarnya, yaitu pembuka jalan, perintis kejayaan, dan yang lebih penting “pengenalan diri”. Dalam konsep edukatif, mereka adalah murabbi, sang pendidik; dalam konsep yang religius, mereka adalah pengarah alias mursyid.
Jika Musa menemukan ke-diri-annya saat mendampingi Khidir, Jalaluddin Rumi menemukan potensi ruhaniahnya setelah mendapatkan bimbingan Syamsuddin Tabrizi, Berandal Lokajaya menjadi Sunan Kalijaga dalam naungan ruhani Sunan Bonang, Jaka Samudera merintis jenjang spiritual hingga menjadi Sunan Giri berkat didikan Raden Rahmatullah Sunan Ampel, maupun Soekarno yang menemukan identitas hakikinya sebagai penggerak di bawah asuhan Tjokroaminoto, maka demikian pula masing-masing pesepakbola di atas.
Mereka beruntung karena bertemu dengan pemandu bakat, pathfinder, mursyid, murabbi, atau apa pun istilahnya, yang tepat dan benar-benar membuka setapak jalan menuju kesuksesan masing-masing.
Wallahu A’lam Bisshawab