Carpi, Frosinone, dan Kejamnya Serie A Bagi Klub Promosi

Membicarakan Serie A yang didominasi Juventus dalam lima musim terakhir jelas takkan ada habisnya. I Bianconeri merupakan representasi kekuatan super yang tak bisa dikalahkan hanya dengan modal nyali, harapan dan hitungan di atas kertas belaka.

Ibarat Superman, kesebelasan lain harus menjadi kryptonite tim asal Turin ini untuk dapat merebut gelar juara dari tangan mereka.

Akan tetapi kita takkan mengarahkan mata ke tim asuhan Massimiliano Allegri itu kali ini. Sebab ada menu lain yang cukup mengundang selera meski tak selezat “spaghetti” milik Juventus.

Pada suatu malam tanggal 28 April 2015, sebuah pesta terjadi di stadion Sandro Cabassi. Sebuah stadion kecil yang hanya berkapasitas empat ribu penonton. Pemain-pemain berseragam putih-merah dan tifosi setianya merayakan keberhasilan mereka naik kasta ke kompetisi teratas di tanah Italia, Serie A. Ya, mereka merupakan penggawa dan fans Carpi FC, sebuah klub kecil dari Provinsi Modena.

Malam itu, kedudukan imbang tanpa gol versus Bari sudah cukup untuk mengantar I Biancorossi promosi otomatis ke Serie A karena perolehan poin mereka secara matematis takkan bisa dikejar klub di peringkat ketiga hingga delapan (yang harus menjalani playoff guna memperebutkan satu tiket promosi).

Prestasi tersebut jelas sangat membanggakan bagi klub yang pada tahun 2000 lalu dipaksa turun ke Serie D usai dinyatakan bangkrut.

Mimpi berlaga di kasta teratas, berjumpa klub-klub kenamaan Italia seperti AC Milan, AS Roma, Juventus, Internazionale Milano hingga Napoli tentu menjadi magnet tersendiri usai semuanya jadi kenyataan.

Para pemain maupun fans Carpi pada akhirnya dapat menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana Gianluigi Buffon beraksi di bawah mistar, Riccardo Montolivo dan Francesco Totti melepas umpan-umpan ciamik sampai Mauro Icardi dan Gonzalo Higuain merobek jala lawan.

Harapan pun menyeruak, di dada para pemain, di kepala pelatih dan direksi serta dalam segenap jiwa tifosi yang setia mendukung I Biancorossi. Apalagi kalau bukan bertahan di divisi tertinggi sepak bola Italia setidaknya pada musim perdana, syukur-syukur jika sampai waktu yang lama.

Guna mendukung hasrat itu, beberapa nama didatangkan untuk memperkuat tim meski mayoritas berupa perekrutan gratis maupun peminjaman. Wajar saja, mengingat Carpi bukan tim dengan kondisi finansial yang benar-benar sehat sehingga metode peminjaman dan perekrutan pemain berstatus gratis adalah prioritas.

BACA JUGA:  Memuji Vincenzo Montella, Sang Dewa Penyelamat Milan

Vid Belec, Marco Borriello (sebelum kemudian menyeberang ke Atalanta), Isaac Cofie, Jonathan De Guzman hingga Cristian Zaccardo dicomot demi impian dan harapan sintas.

Naas buat Carpi, semua itu tak lebih dari sekadar harapan dan impian belaka sebab rimba Serie A begitu ganas dan kejam bagi klub promosi sekelas mereka. Kemenangan 2-1 atas Udinese pada pekan pamungkas Serie A (15/5) yang lalu tidak cukup untuk menyelamatkan diri dari jerat degradasi.

Hal ini disebabkan Palermo, rival mereka dalam perjuangan sintas juga mereguk kemenangan atas Verona. Di klasemen akhir, Carpi duduk di tangga ke-18 dengan koleksi 38 poin atau tertinggal sebiji angka saja dengan Palermo dan Udinese yang finis berurutan di tempat ke-16 dan ke-17.

Terdegradasi ketika baru saja promosi ke kasta teratas memang pahit sekali, terlebih untuk klub-klub yang menyemai banyak asa dari kemunculan mereka di Serie A. Namun Carpi tidak sendiri, mereka ditemani Frosinone yang juga alumni Serie B musim 2014/2015 lalu. Realita ini semakin menegaskan bahwa Serie A bukanlah kompetisi yang ramah buat tim-tim promosi.

Nama yang dicetak tebal merupakan tim promosi
Nama yang dicetak tebal merupakan tim promosi

Berdasarkan data selama delapan musim terakhir, setidaknya ada satu klub promosi yang harus rela kembali ke Serie B usai berpeluh keringat semusim penuh di Serie A. Dari data tersebut juga diketahui bila status sebagai juara Serie B tidak menjamin keberlangsungan hidup klub-klub tersebut untuk bertahan.

Carpi sendiri bersama Pescara merupakan kampiun Serie B yang langsung mudik setelah berjuang keras dalam perantauan dan gagal.

Keberhasilan naik kasta ke Serie A seolah menyediakan bahaya laten buat klub-klub promosi. Apalagi kalau bukan kemampuan mereka untuk bertahan di kompetisi yang jauh lebih berat dan punya kualitas lebih baik dibanding Serie B.

Terlebih klub-klub yang mampu merengkuh tiket promosi kebanyakan “cuma” kesebelasan kecil yang tak punya sokongan dana menjulang untuk menggeliat di bursa transfer dan merekrut pemain-pemain dengan kualitas jempolan. Carpi merupakan contoh nyata dari hal tersebut.

BACA JUGA:  Mengapa AS Roma Mendatangkan Banyak Bek?

Dengan keadaan yang apa adanya macam itu, tentu sulit bagi tim-tim promosi untuk dapat bersaing dan bertahan di Serie A. Strategi yang digunakan allenatore tim-tim promosi kala bersua dedengkot Serie A pun cenderung begitu-begitu saja sehingga kerap menjadi santapan empuk para raksasa.

Presiden Lazio yang terkenal kontroversial, Claudio Lotito, bahkan sempat melontarkan argumen yang membuatnya dicaci berkaitan dengan tim-tim yang promosi ke Serie A pada awal 2015 silam.

“Bila Carpi naik kasta, klub yang tidak layak memperoleh uang (pemasukan) lebih banyak. Maka dalam dua atau tiga tahun ke depan kita takkan memiliki uang sepeser pun,” tegas Lotito seperti dikutip dari football-italia.net.

Lotito kemudian melanjutkan komentarnya dengan menyatakan bahwa dirinya merupakan negosiator ulung sehingga mampu mendapatkan pemasukan uang sejumlah 1,2 miliar euro dari hak siar televisi.

“Jika dalam tiga tahun ke depan Serie A kedatangan Latina dan Frosinone (kala itu belum memastikan diri promosi), siapa yang akan bersedia membeli hak siar televisi guna menyaksikan klub-klub macam itu? Mereka bahkan tak tahu Frosinone berada dimana”, cecarnya lagi.

Walau cukup sadis namun apa yang diucapkan Lotito ada benarnya sebab ketidakmampuan tim-tim promosi untuk bersaing di Serie A jelas akan menurunkan pamor liga yang sudah makin redup ini. Siapa yang berminat menyaksikan laga klub-klub promosi yang hanya memiliki peluang mini untuk dapat mengejutkan tim-tim raksasa?

Ditambah lagi dengan minimnya fasilitas kepunyaan tim-tim promosi yang bahkan harus menggunakan stadion kesebelasan lain dari kota terdekat cuma untuk menggelar laga kandang semakin menunjukkan problematika yang kompleks dalam persepakbolaan Italia.

Pembenahan total mesti dilakukan oleh klub-klub kasta lebih rendah lewat bantuan FIGC sebagai induk organisasi sepak bola Italia. Agar klub-klub promosi tak sekadar numpang lewat saja begitu menggenggam tiket Serie A.

Siapa tahu suatu saat nanti akan muncul jawara Serie A baru yang merupakan jebolan Serie B semusim sebelumnya. Terdengar menjanjikan, bukan?

 

Komentar