Chelsea atau Manchester City, Siapa Jadi Raja?

Untuk kesekian kalinya final Liga Champions kembali mempertemukan dua klub dari satu negara. Pada musim 2020/2021, pelakunya adalah sepasang klub asal Inggris yakni Chelsea dan Manchester City.

Pertemuan mereka bikin Inggris menyamai catatan Spanyol perihal mementaskan laga dua tim senegara di partai puncak Liga Champions.

Sebelumnya, ada All English Final yang mempertemukan Liverpool versus Tottenhan Hotspur (musim 2018/2019) dan Chelsea kontra Manchester United (musim 2007/2008).

Sejak diakuisisi oleh Roman Abramovich dan Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan (via Abu Dhabi United Group), Chelsea serta Manchester City acap disebut sebagai klub sultan.

Pasalnya, kehadiran dua bilyuner itu membuat presensi The Blues dan The Citizens makin diperhitungkan di kancah sepakbola Inggris maupun Eropa.

Kucuran dana yang seolah tak ada habisnya bikin Chelsea dan Manchester City dianggap sebagai tim yang membeli kesuksesan dengan uang dan gemar menggunakan cara instan buat mendapatkannya.

Tak heran bila kedua klub tersebut juga sering disebut sebagai tim gaib dan dinilai tak memiliki sejarah.

Jika melihat pencapaian The Blues dan The Citizens sebelum adanya akusisi tersebut, anggapan bahwa mereka adalah tim provinsial dan tak punya rekam jejak hebat memang tepat sekali.

Ambil contoh era 1980-an, maka saat itu Chelsea pantas dilabeli sebagai klub medioker. Bahkan di tahun 1982, mereka mengalami kebangkrutan dan mesti dijual dengan harga cuma 1 Poundsterling.

Barulah di era 1990-an, klub yang berkandang di Stadion Stamford Bridge ini mulai memperbaiki citranya.

Mereka konsisten mengganggu kemapanan tim-tim tradisional seperti Arsenal, Liverpool, dan Manchester United.

Sejumlah trofi juga sukses didapatkan The Blues. Misalnya saja Piala FA, Community Shield, Piala Winners, dan Piala Super Eropa.

Sementara Manchester City ibarat kesebelasan yoyo yang hobi naik turun divisi sepanjang era 1980-an dan 1990-an serta acap terdistraksi oleh masalah internal.

Kondisi itu bikin keberadaan mereka dianggap tak penting dan selalu jadi bayang-bayang sang rival sekota, Manchester United.

Tim yang bermukim di Stadion Etihad ini bahkan sempat mencicipi kompetisi kasta ketiga di Inggris (sekarang League One) pada musim 1998/1999.

BACA JUGA:  Apa Kabar, Di Matteo?

Jangankan bermimpi main di ajang antarklub Eropa, sekadar bertahan di kasta teratas saja merupakan kebahagiaan tak terperi untuk The Citizens saat itu.

Walau demikian, kurang tepat bila menyebut kedua tim di atas dengan label tak berprestasi dan minim sejarah.

Pasalnya, baik Chelsea maupun Manchester City sudah pernah merasakan manisnya titel domestik maupun Eropa sebelum era 1980-an.

Gagal Mentas Karena Larangan Federasi

Sejarah mencatat Manchester United sebagai klub Inggris pertama yang mentas diĀ  Piala/Liga Champions, tepatnya pada musim 1956/1957.

Sebetulnya, Chelsea bisa saja lebih dulu mencatat sejarah tersebut karena menjadi kampiun liga pada 1954/1955.

Akan tetapi, partisipan ajang tersebut bukan melulu dari para pemenang liga melainkan undangan dari Gabriel Hanot selaku inisiator kompetisi dengan pertimbangan prestise.

Sebagai juara kasta teratas pada musim tersebut, The Blues dianggap sebagai salah satu tim yang memiliki prestise untuk diundang tampil di Piala/Liga Champions. Namun asosiasi sepakbola Inggris, FA, menentang hal tersebut.

FA beranggapan jika tampil di ajang itu, persiapan dan jadwal main klub-klub Inggris di kompetisi lokal akan terganggu.

Tak heran bila edisi pertama Piala/Liga Champions tak dihadiri klub-klub asal Negeri Ratu Elizabeth.

Chelsea pada akhirnya bisa mencicipi atmosfer Liga Champions di pengujung abad ke-20.

Pada musim 1999/2000, Chelsea yang dimotori Marcel Desailly dan Gianfranco Zola berhak atas satu tiket ke Liga Champions usai finis di posisi tiga klasemen akhir Liga Primer Inggris.

Chelsea yang memulai Liga Champions dari babak kualifikasi ketiga tanpa kesulitan menyingkirkan Skonto Riga dari Latvia dengan agregat 3-0 untuk mengamankan satu tempat di fase grup.

Mereka lantas tergabung dalam Grup H di babak penyisihan grup pertama bersama AC Milan, Galatasaray, dan Hertha Berlin.

Menariknya, The Blues melaju mulus sebagai kampiun grup dan unggul tiga angka dari Hertha yang duduk di peringkat kedua.

Pada babak penyisihan grup kedua, Chelsea menghuni Grup D bareng Feyenoord, Lazio, dan Marseille.

The Blues finis sebagai runner up dan berhak melenggang ke perempatfinal. Sayangnya, pada babak tersebut mereka dipecundangi Barcelona via agregat 6-4.

BACA JUGA:  Chelsea dan Kemewahan yang Meragukan

Rontok di Fase Pertama

Jika Chelsea harus menunggu hingga milenium baru untuk tampil di kompetisi paling elite benua biru, Manchester City justru lebih dahulu mengukir sejarah tampil di ajang Piala/Liga Champions. Tepatnya pada era 1960-an silam.

Bermodal status jawara divisi teratas, The Citizens berhak mewakili Inggris pada Piala/Liga Champions musim 1968/1969.

Apes, perjumpaan dengan Fenerbahce langsung mengakhiri petualangan Manchester City di Eropa lantaran keok agregat 1-2.

Penampilan tak oke dari Manchester City sepanjang musim tersebut sedikit terobati dengan keberhasilan merengkuh gelar Piala FA usai menang 1-0 atas Leicester City.

Barulah di musim 2011/2012, tetangga berisik dari Manchester United ini kembali beraksi di kejuaraan antarklub Eropa nomor wahid.

Bergabung dengan Bayern Munchen, Napoli, dan Villarreal pada babak penyisihan Grup A, banyak yang memperkirakan The Citizens bisa melangkah mulus.

Namun apa mau di kata, mereka cuma finis di posisi tiga klasemen akhir dan mesti menerima nasib terlempar ke ajang Liga Europa.

Sayangnya, pada ajang yang disebut belakangan, Manchester City juga gugur pada babak 16 besar lantaran kalah agresivitas gol tandang dari Sporting CP (agregat 3-3).

Tidak Dibangun dalam Satu Malam

Semenjak era Abramovich dan Sheikh Mansour, Chelsea dan Manchester City bersalin rupa menjadi kesebelasan top asal Inggris. Namun perlu dipahami bahwa hal itu tidak dibangun dalam satu malam saja.

Ada begitu banyak pengorbanan yang dilakukan Abramovich maupun Sheikh Mansour guna membuat klub mereka kompetitif.

Membeli pemain bintang, merekrut pelatih bertangan dingin, sampai menunjuk orang-orang hebat untuk duduk di kursi manajemen.

Buktinya tersaji dengan konsistensi Chelsea dan Manchester City bermain di Liga Champions selama satu dekade terakhir. Perjalanan mereka pun tak selalu mengenaskan seperti yang dialami pada momen debut.

Kini, dua klub sultan ini akan beradu di final Liga Champions 2020/2021 yang dihelat di Stadion Do Dragao, Porto.

Apakah Chelsea akan menggondol trofi Si Kuping Besar untuk kedua kalinya sepanjang sejarah? Atau Manchester City yang bakal mencicipi kenikmatan menjadi kampiun Liga Champions untuk pertama kalinya?

Komentar
Penulis merupakan alumni Magister PPKn Universitas Negeri Padang dan pencinta Chelsea FC. Bisa dihubungi di instagram @hendra_fm dan twitter di @hendrafm7.