Belajar Toleransi dari Sepak Bola

Di kawasan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah yang sejuk, sekelompok warga Ahmadiyah hidup damai berdampingan dengan warga sekitarnya.

Awal dekade 1970-an, Ahmadiyah mulai masuk di kawasan wisata yang berada di lereng atas Gunung Lawu ini.

Pengikut Ahmadiyah adalah warga asli Tawangmangu, terutama yang tinggal di kawasan Kalisoro, sebuah desa yang berada di dekat kawasan hutan wisata Sekipan, sekira dua kilometer dari terminal dan pasar Tawangmangu.

Ahmad Saddad, mubaligh Ahmadiyah di Tawangmangu bercerita bahwa selama ini warga Ahmadiyah di Tawangmangu menjauhi sikap eksklusif.

“Kami selalu aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat, bahkan masjid kami terbuka untuk siapa pun,” begitu kurang lebih ujarnya. “Kami juga ada sekolah sepak bola bernama Al Mubarok. Nanti setelah salat Jumat mereka latihan, kita nonton nanti,” ajaknya.

Jumat, 14 Oktober 2016, azan salat Jumat berkumandang di Masjid Al Mubarok. Berada di kawasan Kalisoro, Tawangmangu, masjid ini dikelilingi pemandangan hijau bukit Sekipan.

Di antara masjid dan hutan wisata Sekipan, terdapat berbagai bangunan villa. Pada akhir pekan, terutama akhir pekan yang panjang (long weekend) wisawatan memenuhi villa. Namun di hari-hari lain, vila-vila itu kembali sunyi.

Jamaah mulai mendatangi masjid Al Mubarok ketika azan dikumandangkan. Ahmad Saddad menuturkan bahwa tidak semua jamaah yang datang adalah warga Ahmadiyah. Ada sebagian jamaah yang bukan pengikut Ahmadiyah yang ikut beribadah.

Jika liburan akhir panjang, wisawatan yang menempati vila juga ikut melaksanakan salat di masjid Al Mubarok. Meskipun mereka tahu bahwa masjid ini dimiliki oleh pengikut Ahmadiyah, namun tidak ada diskriminasi. Siapa pun diterima untuk ikut beribadah di masjid Al Mubarok.

Selepas salat Jumat, Ahmad Saddad mempertemukan kami dengan Nashir Sumardi, seorang warga asli Tawangmangu yang menjadi generasi pertama pengikut Ahmadiyah di tahun 1970-an.

BACA JUGA:  Melihat Klub Sepakbola Indonesia dari Kacamata Media Sosial

Ia menuturkan bahwa sebelum dekade itu, warga Tawangmangu banyak yang menganut animisme.

“Tahun 1970-an, ada Brimob yang latihan di sini. Salah satu anggota Brimob yang latihan anggota Ahmadiyah. Waktu itu saya masih remaja. Awalnya anggota Brimob itu mengajarkan olahraga karate. Lalu kami diajak mengaji,” kenangnya.

Olahraga, menurutnya, berperan besar bagi anak muda di masanya untuk mengenal agama dan belajar kesantunan. Lalu, sebagaimana Ahmad Saddad, Nashir Sumardi menuturkan dengan penuh semangat tentang sekolah sepak bola yang dimiliki Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Tawangmangu.

“Kebetulan ada seorang Ahmadi yang bekerja sebagai guru olahraga dan mengajar sepak bola di SSB. Kami juga ingin agar anak-anak di Tawangmangu khususnya di Kalisoro ini memiliki kegiatan positif. SSB ini gratis. Anak-anak hanya diminta bersedia belajar mengaji,” demikian ujarnya mengenai alasan pendirian sekolah sepak bola.

Jam 14.00 WIB, sesuai janji keduanya, kami menuju lapangan sepak bola Kalisoro. Udara begitu menusuk tulang, apalagi satu jam sebelumnya hujan deras mengguyur Tawangmangu.

Dua puluh lima anak-anak berbaris rapi mempersiapkan latihan. Imam Haryanto dan Dwi Santoso memimpin latihan. Dengan penuh keriangan, anak-anak mengikuti latihan di sekolah sepak bola yang bernama SSB Al Mubarok.

Ahmad Saddad menuturkan bahwa nama itu dipilih karena nama masjidnya juga Al Mubarok.

Ketika latihan dimulai, anak-anak bersemangat menggiring dan menendang bola. Ada sekitar lima bola yang mereka gunakan untuk berlatih. Kulit bola mulai banyak terkelupas, mungkin karena saat latihan, bolanya selalu basah akibat lapangan yang sering tergenangi air.

Cuaca yang sering berembun bisa jadi menyebabkan kulit bola semakin cepat terkelupas. Di beberapa sudut lapangan, terlihat kotoran kuda. Memang, di daerah ini banyak pemilik kuda yang menyewakan kuda kepada wisawatan.

BACA JUGA:  Urbi et Orbi: Pesan Paskah dan Luka Marc Bartra

Namun, kotoran kuda itu tidak mematahkan semangat anak-anak SSB Al Mubarok, meskipun jarang ada yang memakai sepatu.

Menariknya, dari dua puluh lima siswa SSB Al Mubarok, hanya lima siswa yang berasal dari keluarga Ahmadiyah, sedangkan dua puluh siswa yang lain berasal dari warga yang bukan penganut Ahmadiyah.

Tidak ada sekat antara anak yang berasal dari keluarga pengikut Ahmadiyah dan anak yang bukan. Anak-anak siswa SSB Al Mubarok saling berbaur belajar sepak bola.

Melalui sepak bola, prasangka (prejudice) yang kerap mengemuka dalam komunikasi multikultural bisa dikikis. Serempak, melalui sepak bola, akulturasi budaya bisa berlangsung dengan baik.

Tidak ada pertikaian di antara anak-anak yang berlatih di SSB Al Mubarok. Melalui sepak bola, mereka belajar tentang bagaimana hidup harus menjunjung tinggi toleransi.

Melalui sepak bola, mereka belajar bahwa hidup harus taat pada peraturan. Kepada anak-anak di Kalisoro, Tawangmangu ini kita seharusnya belajar tentang keberagaman.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.