Sebagai seorang pelatih, Antonio Conte kerap mendeskripsikan dirinya sebagai seorang penjahit. Namun, lantaran beratnya tugas kali ini, Conte lebih tepat disebut sebagai konstruktor.
Alasannya, Stamford Bridge di bawah komando Jose Mourinho musim lalu benar-benar rusak parah. Meskipun, di tangan Guus Hiddink, keadaan membaik. Oleh sebab itu, sang bos, Roman Abramovich mendatangkan sosok yang beberapa musim lalu pernah mengatasi situasi sulit di Juventus.
Tanpa perlu beristirahat lama selepas gigih berjuang bersama timnas Italia di Euro 2016, Conte langsung terbang ke London menuju Cobham, markas latihan Chelsea.
Conte akan mencoba mereparasi beberapa titik yang rusak. Sebagai awalan, Conte ikut berperan dalam negoisasi perpanjangan kontrak John Terry, serta terlibat dalam proses transfer Michy Batshuayi dan N’Golo Kante.
Tapi bagi orang seambisius Roman Abramovich, jelas Conte didatangkan tidak hanya untuk “menambal lubang”. Ia harus mampu mambawa bendera Chelsea kembali berkibar di ranah Inggris. Jelas, bukan tugas yang mudah mengingat musim ini di Liga Inggris bercokol pelatih-pelatih beken.
Untuk melaksanakan misi tersebut, tugas pertama yang harus dilakukan pelatih yang berulang tahun pada 31 Juli nanti ini adalah memperbaiki detail kecil yang berpotensi mengganggu stabilitas skuat.
Salah satunya membuat The Blues menjadi sebuah kesatuan tim yang solid. Terlebih musim lalu, isu keretakan antar-pemain, pemain-staf pelatih, maupun antar-staf pelatih manjadi salah satu alasan tim ini terpuruk. Dalam hal ini, Antonio Conte dapat berperan sebagai “jembatan penghubung”.
Cukup jarang kita mendengar pria Italiano ini pernah bermasalah dengan para pemainnya. Mungkin kecuali pada mereka yang enggan mematuhi intruksi atau tipe pemain yang tidak masuk pada rencana tim yang dipimpinnya.
Milos Krasic dan Mario Balotelli pernah tersingkir dari skuat asuhan Conte. Itupun saya pikir bukan didasarkan pada alasan ketidaksukaan secara personal.
Conte boleh berego besar, sama seperti Jose Mourinho. Zlatan Ibrahimovic boleh saja mengatakan kalau ia rela mati demi Mourinho. Tapi bagaimana jika kita tanyakan pertanyaan yang sama pada Iker Casillas?
Hal ini yang membedakan pria Setubal itu dengan sosok Antonio Conte. Conte dengan komitmen dan sikap tegasnya mampu membuat seluruh pemain menaruh respek, alih-alih membencinya. Jadi dalam kasus ini, kendala seperti ketidakharmonisan mungkin saja tak akan kita temui lagi di era Conte.
Jika sudah begitu. Ia tinggal meracik Chelsea menjadi tim yang solid. Conte tak perlu khawatir mengenai berapa uang di dalam kantongnya. Michy Batshuayi menjadi rekrutan pertama di bawah komandonya. Mendarat pula kemudian nama tenar, N’Golo Kante.
N’Golo Kante didatangkan dari Leicester City dengan mahar €30 juta. Musim lalu bersama Danny Drinkwater, ia menjadi dinamo penggerak, sekaligus penjaga stabilitas lini tengah The Foxes.
Persentase umpan sukses yang mencapai 82%, membuktikan bahwa Frenchman ini tidak hanya piawai mencegah lawan memasuki area pertahanan, dalam hal ini catatan tekel dan intersepnya mencapai 281, namun ia juga mampu berperan sebagai penghubung antarlini.
Melihat skuat Chelsea, Kante bisa berbagi peran bersama Nemanja Matic dan Cesc Fabregas, dalam skema dua pivot dalam skema dasar 3-4-3 atau 3-5-2, formasi yang kerap digunakan Conte.
Dalam skema 4 gelandang, ia bisa menjadi salah satu pivot bergantian dengan Matic atau Fabregas.
Kalau Conte ingin memaksimalkan formasi 3-5-2 seperti di Juventus dan timnas Italia, bersama Matic, Kante bisa berperan sebagai box-to-box mengapit Cesc Fabregas yang ditempatkan sebagai deep-lying midfielder sebagaiamana peran trio MVP (Marchisio-Vidal-Pirlo) di Juventus dahulu.
Dari Conte ke Kante, dua sosok yang berfungsi sebagai “penghubung” dengan peran masing-masing. Dua sosok yang seharusnya menjadi jaminan supaya Stamford Bridge tidak semakin ambruk.