Dari Piala Eropa ke Piala Eropa

Melacak jejak perkembangan literasi sepak bola di Indonesia memang hampir sama sulitnya dengan peluang Andik Vermansyah diperkenankan mengenakan seragam timnas ketika Federasi Sepak Bola Indonesia masih begitu digdaya dikuasai orang-orang anti Persebaya 1927.

Lho? Kenapa ngomongin Andik di tulisan ini? Bukannya ini tulisan soal Piala Eropa?

Baiklah. Jangan mengenyitkan dahi Anda seperti itu, jadi kelihatan lebih tua lho Anda nanti. Ini bukan tulisan soal sejarah Piala Eropa kalau Anda merasa terjebak karena sudah telanjur mengklik judul di atas. Ini tulisan soal literasi sepak bola di Indonesia. Jadi, tolong benarkan kembali letak duduk Anda, karena kita akan sebentar menjelajahi mesin waktu.

Dan kita bisa memulainya dengan ungkapan terima kasih yang tulus untuk Harian Kompas yang menerbitkan tulisan Romo Sindhunata saat Piala Eropa di Jerman Barat berlangsung dan Marco van Basten membawa pulang gelar pertama bagi negaranya.

Pada masa itulah juga, kali pertama penggemar sepak bola di Indonesia (yang berlangganan dan membeli Kompas tentu saja) punya pengalaman tak tergantikan membaca “Catatan Sepak Bola Sindhunata”.

Di sana, saat sebelumnya tulisan mengenai olahraga selalu berkutat dengan statistik, deskripsi jalannya pertandingan, atau keterangan siapa yang menang serta siapa yang kalah, Sindhunata menawarkan bentuk lain yang mengejutkan.

Tawaran yang kemudian membuat sepak bola tidak lagi jadi objek tunggal. Membuat sepak bola tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang asing untuk dibaca sebagai sebuah produk budaya. Membuat sepak bola bisa melekat pada bidang apa pun.

Dari filsafat, kultur, bahkan agama. Sesuatu yang bisa kita dapatkan saat membaca kumpulan catatan Sindhunata yang dibukukan lewat Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-Bola Nasib.

Apa yang dilakukan Sindhunata saat itu bisa dibilang sebagai penanda keluarnya “nilai-nilai kewajaran” penulisan esai olahraga, khususnya sepak bola.

Sepak bola seolah dicabut dari urusan teknis keolahragaan dan diletakkan pada posisi “lebih terhormat” sebagai sebuah produk kebudayaan. Membuat sepak bola jadi gadis seksi nan menarik untuk dibaca dan ditelaah.

Sampai kemudian lebih dari dua dekade berselang, dalam momen hampir yang serupa: Piala Eropa 2012. Geliat literasi sepak bola di Indonesia kembali menemukan gairahnya.

Dalam rentang waktu antara Piala Eropa 1988 sampai Piala Eropa 2012, literasi sepak bola bukannya berhenti. Perkembangan terus bermunculan, terutama kala kanal-kanal berita media daring muncul pada era 2000-an.

Beberapa penulis seperti Zen RS, Hedi Novianto, Yusuf Arifin, sudah muncul pada periode ini. Hanya saja, saat itu match report masih jadi superstar dan football writing masih dianggap hanya sebagai pelengkap saja.

Semakin berkembangnya teknologi informasi, terutama di ranah online, bidang-bidang keilmuan cultural studies pun punya percepatan untuk diakses.

E-book dan jurnal-jurnal kenamaan milik Jean Baudrillard sampai Pierre Bourdieu jadi mudah disebar di mana-mana, dibicarakan jadi gosip, membuat diskusi filsafat jadi makanan gurih, dan—akhirnya—sepak bola pun punya fondasi yang cukup untuk dibaca dengan perspektif berbeda.

Karena pembaca telah memiliki fondasi inilah kemudian kanal-kanal berita sepak bola online pelan-pelan beralih dan memperbanyak esai sepak bola. Tulisan-tulisan dengan tema “berat” pada akhirnya punya “lahan”-nya.

BACA JUGA:  Timnas Indonesia: Tak Ada Piala Dunia, Piala Asia pun Jadi

Lahan ini pelan-pelan tumbuh dan berkembang seiring meleknya bacaan penggemar sepak bola pada bidang-bidang ini. Pembaca tidak lagi jadi sosok pasif tanpa andil yang berarti.

Bisa dibilang, dalam perkembangan football writing di Indonesia, peran pembaca inilah yang nanti punya peran sangat penting.

Dari pembaca-pembaca esai Sindhunata serta Zen RS ini kemudian, lahir para penulis football writing yang memungkinkan fandom.id ini—misalnya—punya andil untuk mengambil alih singgasana match report yang sempat cukup lama begitu digemari.

Para pembaca ini kemudian punya tempat untuk menuangkan kembali apa yang selama ini telah mereka baca dan memuntahkan kontemplasinya pada ruang yang tepat.

Sepak bola bukan hanya milik pekerja sepak bola

Gejala kemunculan para penulis football writing yang lahir dari golongan pembaca adalah salah satu tanda bahwa siapa pun berhak menulis dan berbicara akan sepak bola. Yah, harus diakui, Anda layak berterima kasih kepada Fandom, juga pada Pandit Football dan yang kini sudah tiada, Bolatotal, karena sukses melakukannya beberapa tahun belakangan ini.

Anda tidak perlu jadi pelatih, pemain, atau mantan antara keduanya untuk “berhak” bicara sepak bola. Sepak bola kini sudah tidak lagi layak dimonopoli hanya oleh orang-orang yang merasa “bekerja” atau “pernah bekerja” di dalamnya.

Hanya orang-orang yang merasa dirinya penting dan sebentar lagi benar-benar akan tergerus zaman saja yang masih kukuh menganggap bahwa kita, Anda, atau saya adalah orang-orang sok tahu, hanya belajar sepak bola dari laptop, dan sekelompok orang yang tidak penting bagi perkembangan sepak bola—Anda tahu siapa yang saya maksud.

Kesimpulan semacam ini juga muncul dari Sindhunata dalam obrolan malam bersama Zen RS di malam peluncuran buku Simulakra Sepakbola tempo hari.

Keduanya menyepakati satu hal bahwa; jika sepak bola dengan segala macam atribusinya hanya boleh diisi oleh pemain, mantan pemain, pelatih, atau mantan pelatih, lalu ke mana kita harus menempatkan diri sebagai seorang penulis/pembaca yang kebetulan juga mencintai dunia sepak bola?

Bagaimana menuangkan kecintaan kita kepada timnas, klub favorit, atau bahkan kebencian terhadap klub lawan jika ceruk-ceruk demikian hanya boleh diisi oleh orang-orang yang merasa “terlibat langsung”?

Sepak bola bukanlah kontrak Arsene Wenger di Arsenal, bukan giringan Lionel Messi, atau “rambut PNS” Javier Zanetti yang tak tersentuh. Sepak bola adalah apa pun yang bisa kita bentuk sesuai pribadi kita masing-masing. Menjadikannya sebagai permainan sesuka hati kita seperti saat kanak dulu.

Saat kanak, kita tidak peduli dengan aturan 11 lawan 11, jika kawan yang datang ke lapangan hanya ada 7 orang. Membagi jadi dua tim; 3 lawan 4.

Tentu saja pembagian ini berdasarkan pada komposisi keadilan, bahwa yang punya tinggi badan lebih, usia paling tua, dan kemampuan olah bola seburuk Yaya Sanogo, maka ia akan berada di tim yang jumlah pemainnya lebih banyak.

BACA JUGA:  Premier League Memanas!

Gawang tak perlu dibuat dari besi dengan jaring putih yang berkualitas tinggi. Cukup dengan tumpukan sandal atau ranting pohon yang bisa ditanam. Mistar tidak diperlukan karena sudah ada mistar imajiner: setinggi lompatan maksimal penjaga gawang.

Wasit dalam permainan semacam ini adalah wasit paling demokratis, karena semua keputusan merupakan kesepakatan bersama semua pemain.

Dan terakhir, peluit yang terdengar seantero kampung: Toa masjid.

Aturan-aturan sepak bola ini bisa dilanggar bukan karena anak-anak ini adalah begundal yang tidak taat aturan. Tapi karena sepak bola tidak hanya milik anak-anak SSB dari keluarga kaya raya. Anak-anak konglomerat atau keluarga pengusaha yang bermain bola dengan pantauan pelatih berlisensi, jadwal latihan yang tertata, dan sepatu-sepatu mini bermerek yang modelnya sama persis dengan milik Luis Suarez atau Cristiano Ronaldo.

Jangan dibandingkan dengan anak-anak kampung yang menggunakan sepatu sekolah untuk bermain sepak bola saja sudah jadi kemewahan. Pakai baju yang sama warnanya sebagai seragam tim darurat saja sudah merasa bermain di Gelora Bung Karno.

Boro-boro diantar orang tua pakai mobil ke lapangan untuk bertanding dan ditonton banyak orang. Untuk bisa bertanding saja tidak jarang harus lompat jendela kamar agar tidak ketahuan bolos TPA.

Jangan letakkan keduanya pada posisi setara karena pendidikan sepak bola mereka tidak pernah sama. Dan jangan sewot kalau kemudian anak yang bermain sepak bola di SSB ini lalu sekolah lisensi kepelatihan di luar negeri, dan jadi komentator sepak bola di televisi.

Sementara anak kampung yang umbelen tadi cuma mentok jadi komentator di media sosial miliknya sendiri dengan followers tak lebih dari 100 biji ditemani teh hangat ala angkringan tiap kali menonton sepak bola.

Sampai kemudian, si komentator televisi ini mencibir si komentator medsos ini: “Halah, cuma belajar bola dari laptop aja lu!”

Maka berterima kasihlah kepada Sindhunata yang telah mengajari kita bahwa kita bisa memperlakukan sepak bola sesuka yang kita mau tanpa perlu peduli apa yang dikatakan “anak SSB” itu.

Jika dulu saat kanak kita bisa memainkannya sesuka hati di lapangan ala kadarnya, sekarang kita masih bisa “memainkannya” juga lewat jari untuk menulis menggunakan perspektif bidang keilmuan yang kita kuasai masing-masing.

Bersyukurlah karena sepak bola dalam tulisan kita masing-masing jadi sepak bola yang benar-benar milik kita sendiri, jadi wahana kita sendiri, yang membuat siapa pun Anda: tukang becak, satpam, tukang bangunan, maupun fans JKT 48, berhak bicara tentang sepak bola dan layak membagi pengetahuan yang Anda punya.

Football writing yang dikenalkan Sindhunata sejak Piala Eropa 1988 sampai kelahirannya kembali dalam bentuk digital pada Piala Eropa 2012 oleh Zen RS, merupakan pertemuan dua kutub zaman yang memungkinkan semua ini terjadi.

Macam pertemuan antara handy talky dengan smartphone, walkman dengan iPad, kamera analog dengan kamera digital, hingga pertemuan Adam dengan Ibrahim.

 

Komentar
Lahir di Jogja tapi besar dan belajar cinta sepak bola dari Pelita Solo dan Persijatim Solo FC. Tukang modifikasi dan renovasi kalimat di Indie Book Corner (IBC). Masih bermimpi jadi atlet kayang pertama yang berlaga di UFC World Champion. Biasa nggambleh di @dafidab