Tekanan yang menyasar pelatih Arsenal, Mikel Arteta, semakin masif usai The Gunners keok 1-4 dari Manchester City besutan Pep Guardiola pada babak perempatfinal Piala Liga. Tanda pagar #ArtetaOut melaju kencang di lini masa media sosial. Harapan suporter yang merasa jengah dan tak sabar hanya satu, lelaki berpaspor Spanyol itu segera ditendang dari Stadion Emirates.
Kekelasan fans memang beralasan. Di luar hasil-hasil positif dari ajang Liga Europa, Arsenal malah jadi pesakitan di Liga Primer Inggris. Tercatat, sejak 8 November 2020 sampai 19 Desember 2020 mereka tak pernah memetik poin sempurna. The Gunners terjerembab ke papan bawah dan nasib Arteta pun terus dipertanyakan.
Akan tetapi, dari sekian banyaknya suara miring yang ditujukan pada sang pelatih, sebuah pembelaan justru datang dari juru taktik City, Guardiola. Tak peduli bahwa ia dituding sebagai sosok yang bertanggung jawab atas tertutupnya kans Arsenal meraih trofi pelipur lara di pengujung musim ini.
Dikutip dari BBC, Guardiola berkomentar jika Arteta butuh waktu untuk membuktikan diri guna meraih kesuksesan bersama Arsenal (pelan tapi pasti, Arteta berhasil membawa The Gunners bangkit dengan memenangkan tiga laga terakhirnya dalam festive period di Liga Primer Inggris).
“Saya yakin Arsenal akan mempercayai Arteta. Arsenal akan melakukan kesalahan besar jika mencopotnya dari bangku pelatih saat ini. Saya paham kualitas Arteta secara personal dan sebagai pelatih. Semua ini membutuhkan waktu, dan ia akan melakukannya dengan baik”, tutur pria berkepala plontos tersebut.
Sekilas, pledoi yang dilontarkan Guardiola semata-mata karena Arteta merupakan bekas asistennya yang berkontribusi besar dalam perjalanan The Citizens menggenggam sejumlah trofi dalam rentang 2016 hingga 2019 kemarin. Namun bila ditelaah lebih jauh, bukan cuma Arteta saja yang mendapat pembelaan dari Guardiola saat timnya sedang terpuruk.
Beberapa waktu sebelumnya, Guardiola juga menunjukkan dukungannya kepada Ole Gunnar Solskjaer yang sempat tersudut gara-gara kegagalannya membawa Manchester United lolos ke fase gugur Liga Champions musim ini dan kudu menerima nasib terdemosi ke Liga Europa.
Dikutip dari Goal, Guardiola berkomentar, “Ketika kami (pelatih) menang, kami adalah jenius dan ketika kami kalah, Anda harus dipecat. Hal seperti itu terjadi di United dan semua klub yang ada di dunia. Itu adalah kenyataan yang pahit bagi semua pelatih.”
Menariknya, Guardiola berbicara demikian seolah ia paham betul jika United yang pernah mengaryakan Sir Alex Ferguson sebagai pelatih untuk jangka waktu 27 tahun, kini turut mengadopsi tata kelola klub modern yang tidak memberikan banyak waktu bagi pelatih untuk membuktikan diri. Tercatat dalam kurun waktu tujuh tahun, rival sekota City itu telah mempekerjakan empat orang pelatih, mulai dari David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, sampai kini dijabat Solskjaer.
Guardiola juga pernah melontarkan kritik kala United memecat Moyes dan Mourinho. Dikutip dari Business Standard, Guardiola yang pada saat itu masih menangani Bayern Munchen berkelakar apabila pemecatan Moyes pada tahun 2014 bukanlah hal baru dalam sepakbola era kiwari. Guardiola juga menambahkan apabila seorang pelatih tidak memenangkan pertandingan, posisi mereka akan selalu dalam bahaya, dan klub besar saat ini hanya menjadikan kemenangan sebagai acuan kinerja pelatih tanpa sekalipun melihat proses yang terjadi di dalamnya.
Guardiola lantas berkomentar soal pemutusan hubungan kerja yang dilakukan direksi United pada Mourinho yang notabene dianggap sebagai pesaing utamanya di bidang kepelatihan semenjak keduanya sering terlibat dalam bentrok sengit di lapangan per 2010 silam.
“Saat situasinya sedang tidak bagus, kami (para pelatih) selalu sendirian. Di sepakbola, hal itu terjadi. Saat hasilnya tidak bagus, Anda bisa dipecat begitu saja,” ujarnya seperti dikutip dari Sky.
Menilik tanggapan Guardiola terhadap pemberhentian Mourinho, tampak jelas kalau ia muak terhadap tren pemecatan pelatih yang ada di era saat ini. Padahal dalam melatih, ada begitu banyak proses yang mesti dijalani, termasuk buat mencapai target yang dicanangkan.
Menariknya, sinisme Guardiola terhadap gelombang pemecatan pelatih bak sebuah ironi lantaran ia sendiri tak pernah sekalipun merasakannya. Selama mengarsiteki Barcelona, Bayern, dan City, Guardiola selalu aman dari pemecatan meski performa tim asuhannya sedang menukik. Bahkan ia selalu dimanjakan oleh klub-klub tersebut, khususnya dalam merekrut pemain yang sesuai dengan kebutuhannya.
Sedikit banyak, hal tersebut dipengaruhi oleh reputasi Guardiola sebagai salah satu pelatih terbaik dan paling inovatif di dunia dengan catatan gelar yang mentereng dan ide-ide permainan yang beragam. Singkatnya, bisa dibilang Guardiola adalah garansi prestasi bagi klub yang mempekerjakannya. Oleh sebab itu, klub yang mendapatkan jasanya akan berusaha memberi servis terbaik untuknya, baik secara moral maupun finansial.
Penjabaran yang paling relevan adalah periode Guardiola melatih City beberapa musim ini. Di samping telah menggelontorkan dana besar untuk memboyong pemain yang diinginkan sang pelatih sejak musim panas 2016, The Citizens terbukti tetap memberikan kepercayaan kepadanya sehingga berani menawarkan perpanjangan kontrak hingga musim panas 2023 mendatang. Padahal, musim lalu City dipecundangi Liverpool dalam perebutan gelar Liga Primer Inggris dan sekali lagi gagal menembus final Liga Champions.
Tak hanya itu, City bahkan sudah mengantisipasi kedatangan Guardiola pada 2012 lalu dengan terlebih dahulu merekrut Ferran Soriano sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Txiki Begiristain sebagai direktur teknik yang mana keduanya merupakan figur yang sudah lama bekerja dengan Guardiola di Barcelona.
Bahkan menurut Bein Sports, pembicaraan antara City dengan Guardiola sudah dimulai sejak musim panas 2015 atau satu tahun sebelum masa kerja lelaki berusia 49 tahun itu di Stadion Etihad resmi dimulai. Turut dirumorkan pula jika pembelian Kevin de Bruyne dan Raheem Sterling merupakan permintaan dari Guardiola, kendati saat mereka datang, status pelatih The Citizens masih sah dipegang Manuel Pellegrini.
Mungkin saja saat membela Solskjaer dan Arteta, Guardiola tengah menyuarakan sebuah ironi yang terjadi kala tim sebesar United dan Arsenal tidak menyokong pelatihnya secara penuh. Tata kelola manajemen United dan Arsenal juga disorot lantaran akhir-akhir ini mereka kering prestasi. Permasalahan dua tim berkostum merah itu memang mirip yakni pemilik klub yang lebih fokus pada cara meraih keuntungan bisnis sebesar-besarnya dan tanpa peduli soal prestasi yang bisa didapat.
Oleh karena hal itu, kepemilikan keluarga Glazer di United sudah dipandang negatif sejak lama. Hal itu diperparah dengan penunjukkan Ed Woodward sebagai CEO padahal ia hanyalah seorang akuntan yang dinilai tak paham sepakbola. Situasi yang sama juga terjadi di Arsenal. Seperti halnya keluarga Glazer, Stan Kroenke sebagai pemilik dinilai pelit dalam menggelontorkan uang bagi kemajuan kubu Meriam London dan hanya menjadikan klub layaknya sapi perah penghasil uang.
United dan Arsenal merupakan tim yang penuh prestasi di daratan Inggris. Total 33 gelar liga menjadi buktinya. Namun tata kelola dari manajemen mereka sendiri justru mendatangkan kemunduran. Hal ini tentu berbeda dengan City yang seiring waktu berhasil menaikkan statusnya sebagai klub penuh prestasi lantaran dikelola secara brilian dan konsisten, buah dari investasi jangka panjang sejak 2008 silam.
Padahal ketika konglomerat Uni Emirat Arab masuk sebagai pemilik klub yang baru dan mulai menjalankan proyeknya, banyak yang memandang sebelah mata seraya mencibir kalau kesuksesan The Citizens berasal dari gelontoran uang yang tak ada habisnya.
Anggapan itu tidak salah, tetapi tanpa visi dan misi yang jelas dari kubu manajemen (termasuk dalam memberi kepercayaan kepada pelatih), segunung uang yang mereka miliki takkan bisa mengubah City jadi kompetitif dan selalu ada dalam bursa perebutan juara.