Tim nasional Jerman dan Inggris baru saja bertemu dalam pertandingan persahabatan di Berlin (27/3). Inggris yang sempat tertinggal 2-0 akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan menang 2-3.
Meskipun hanya bertajuk pertandingan persahabatan namun animo publik begitu besar mengingat rivalitas panjang antara keduanya di lapangan hijau selama ini. Namun bagaimana sesungguhnya persepsi orang Jerman tentang rivalitas dengan Inggris?
Menjelang Piala Dunia 2006, Goethe Institute mengirimkan beberapa perwakilan dari Jerman ke Inggris untuk terlibat dalam diskusi tentang kultur sepak bola Jerman sebagai bagian dari persiapan untuk meramaikan perhelatan akbar tersebut. Salah satu yang diutus adalah Uli Hesse, penulis sepak bola kenamaan Jerman asal Dortmund.
Di London, seseorang bernama Mark menjamu Uli di rumahnya. Baru saja tiba, Uli langsung ditanya oleh sang pemilik rumah, “Jam berapa sekarang?” Uli agak gelagapan karena tidak sedang memakai jam tangan. Mark segera menjawab, “It’s five to one!” Dan ketika Uli masih kebingungan, Mark melanjutkan, “It’s five to one. In Munich.” Ternyata semua ini merupakan olok-olok semata.
Uli kemudian menjelaskan kepada Mark bahwa publik sepak bola Jerman sudah lama melupakan hal tersebut karena dianggap tidak punya relevansi apa-apa terhadap sepak bola Jerman. Apalagi Jerman toh akhirnya lolos ke Piala Dunia via pertandingan play-offs. Bahkan di ajang Piala Dunia 2002, Jerman bisa melaju sampai ke partai puncak, melebihi pencapaian Inggris.
Menurut Uli, rivalitas Jerman dan Inggris di sepak bola lebih banyak digaungkan oleh publik Inggris ketimbang Jerman. Sedangkan bagi fans tim nasional Jerman sendiri, Belanda dan Italia jauh lebih dianggap sebagai rival berat mereka. Bahkan di malam ketika Inggris mempermalukan Jerman di tahun 2001 tersebut, fans Jerman tetap bersukaria apalagi setelah mendengar kabar bahwa Belanda kalah di Dublin. Mereka pun bersorak, “We’re going to World Cup without Holland!”
Mungkin lain waktu saya akan menulis tentang rivalitas tersebut, khususnya kontra Belanda. Namun sekarang jelas bukan waktu yang tepat untuk membahas rivalitas Jerman dan Belanda.
Dunia sepak bola masih berkabung dan memberi penghormatan terakhir bagi pahlawan Belanda, Johan Cruyff. Selain itu, Belanda juga tidak lolos Piala Eropa 2016, bukan? Jadi untuk sementara rivalitas dengan Belanda dihentikan sampai mereka berhasil lolos lagi ke kompetisi bergengsi.
Hal senada juga disampaikan jurnalis sepak bola Jerman lainnya, Raphael Honigstein. Dalam bukunya, Englischer Fussball, Raphael menuliskan bahwa kekalahan Jerman di Munchen 1-5 memang mengejutkan namun tak membuat publik Jerman menaruh dendam kesumat terhadap The Three Lions.
Tidak juga kekalahan di final Piala Dunia 1966 meskipun Inggris mendapatkannya lewat gol kontroversial Geoff Hurst. Lagipula Jerman Barat juga sadar diri bahwa pada final tahun 1966 tersebut mereka adalah underdogs. Ya, sebelum laga tersebut, Jerman Barat selalu gagal pada 11 kali kesempatan untuk bisa mengalahkan Inggris.
Menurut Raphael, salah satu alasan mengapa publik sepak bola Jerman tidak menganggap ada rivalitas yang begitu besar dengan Inggris adalah karena rakyat Jerman secara umum menyukai bahkan mengagumi Inggris termasuk kultur sepak bolanya.
Di dalam bukunya, Tor! The Story of German Football, Uli Hesse mengisahkan betapa pentingnya pengaruh Inggris dalam pembentukan dan pengembangan sepak bola Jerman sejak akhir abad ke-19. Kehadiran sekolah-sekolah berbahasa Inggris di kota-kota besar Jerman serta datangnya para pekerja dan pedagang asal Inggris membuat publik Jerman pelan tapi pasti mulai mencintai permainan sepak bola.
Berdasarkan catatan tertulis yang ada, penggunaan bola dalam sebuah permainan yang dilakukan oleh orang Jerman pertama kali terjadi di sebuah sekolah di Braunschweig pada Oktober 1874. Inisiatornya adalah dua orang guru bernama August Hermann dan Konrad Koch. Meskipun memang mereka masih memainkannya seperti bermain rugby.
Dalam perkembangan selanjutnya, klub-klub Jerman belajar banyak dari Inggris tentang bagaimana caranya bermain sepak bola yang baik dan benar. Pada tahun 1896, tim asal Duisburg melancong ke Inggris untuk menjalani empat laga persahabatan. Hasilnya? Tak sekalipun mereka berhasil membuat gol dan sebaliknya justru kebobolan banyak gol.
Lalu pada tahun 1899, pemain-pemain sepak bola profesional Inggris menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Jerman dan tanpa kesulitan berarti berhasil menang atas tim gabungan Berlin XI dengan skor 13-2 dan 10-2.
Sejumlah klub khususnya di Jerman bagian Selatan menggunakan jasa pemain dan pelatih asal Inggris untuk memperkuat skuat masing-masing. Mereka pun mulai menuai keberhasilan.
Pada tahun 1908, Bayern München memenangkan kejuaraan Southern Bavaria di bawah asuhan Mr Taylor. Sedangkan Karlsruhe menjadi juara nasional setahun kemudian berkat bantuan dari William Townley, bekas pemain Arsenal dan Blackburn.
Alasan lain yang diungkapkan Raphael Honigstein terkait dengan tidak terlalu tingginya animo publik Jerman terhadap rivalitas kontra Inggris adalah bahwa persaingan di antara keduanya dalam urusan sepak bola dianggap tidak terlalu sengit. Terlepas dari kekalahan pada final 1966, Inggris lebih sering kalah bersaing dari Jerman pada laga Piala Dunia dan Piala Eropa. Pada perempat final Piala Dunia 1970 di Meksiko, Jerman Barat berhasil menang 3-2 di babak perpanjangan waktu melalui Gerd Müller meskipun sempat tertinggal 2-0.
Lalu pada perempat final Piala Eropa 1972, Jerman Barat kembali berhasil menyingkirkan Inggris. Pada leg pertama, Jerman Barat menang 3-1 atas tuan rumah Inggris. Dan pada leg kedua di Berlin, keduanya bermain imbang 0-0.
Kisah kemenangan Jerman terus berlanjut. Mereka menaklukkan Inggris di semifinal Piala Dunia 1990 melalui drama adu penalti. Dan lagi-lagi, lewat adu penalti di Wembley, Inggris kembali bertekuk lutut di hadapan Jerman di semifinal Piala Eropa 1996. Jerman kembali unggul atas Inggris pada perhelatan Piala Dunia 2010 dengan skor telak 4-1.
Raphael pun tiba pada kesimpulan bahwa bagi Jerman tidak sungguh-sungguh ada rivalitas dengan Inggris. Atau kalau pun mau disebut rivalitas, ia menyebutnya dengan: decidedly one-sided.