Jerman terakhir kali menjuarai Piala Eropa pada tahun 1996. Mario Götze, Leroy Sane, Joshua Kimmich dan sejumlah pemain lainnya yang ada di skuat Jerman pada Euro 2016 masih balita ketika itu.
Pada Euro 1996, die Mannschaft berada di bawah asuhan pelatih Berti Vogts. Ia mengambil alih tongkat kepelatihan tim nasional dari Franz Beckenbauer pasca kemenangan di Piala Dunia 1990.
Sesaat setelah berhasil menjadi juara, Franz Beckenbauer dengan percaya diri (atau arogan) berkata, “Saya minta maaf untuk negara-negara lain, tapi kami akan segera bisa memasukkan pemain-pemain dari Timur, oleh karenanya kami tidak akan terkalahkan untuk waktu yang lama.”
Ucapannya ini merujuk kepada proses reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur yang diyakininya akan membuat tim nasional Jerman bahkan lebih hebat ketimbang tim juara dunia tahun 1990.
Namun sayangnya prediksi sang Kaisar meleset. Sekitar 11 bulan setelah final Piala Dunia, Jerman takluk dari Wales di kandang sendiri. Dan di turnamen-turnamen resmi setelahnya, Jerman juga tak kunjung bersinar.
Pada dua gelaran Piala Dunia di bawah komando Vogts, USA 1994 dan Prancis 1998, Jerman gagal secara mengenaskan.
Di Amerika, Jerman dihempaskan Bulgaria pada babak perempat final. Itu merupakan catatan terburuk tim nasional di Piala Dunia sejak tahun 1962. Sedangkan di Prancis, catatan serupa kembali dialami, kali ini langkah Jerman terhenti oleh Kroasia.
Namun hasil yang lebih baik berhasil diberikan Vogts di ajang Piala Eropa. Pada tahun 1992, Jerman lolos sampai ke final. Namun sayang, Jerman kalah dari Denmark yang lolos ke Piala Eropa dengan status pengganti Yugoslavia yang dikeluarkan dari turnamen karena alasan politik. Empat tahun kemudian, Jerman akhirnya berhasil menjadi yang terbaik di Eropa.
Vogts berhasil membangun team spirit yang bagus ketika itu. Berulang kali ia mengucapkan mantra, “There are no stars. The team is the star.”
Tentu bukan berarti tim asuhannya tanpa bintang individual sama sekali. Namun ia menekankan bahwa keberhasilan tim ditentukan oleh kesatuan spirit seluruh pemain, tak bergantung pada satu atau dua pemain saja. Dan itu juga berarti, ia memutuskan skuatnya bukan berdasarkan kebintangan mereka.
Salah satu contoh paling nyata adalah tidak masuknya Lothar Matthäus ke dalam jajaran pemain yang berlaga di Euro 1996. Hal ini bermula dari cederanya sang bintang pada Januari 1995.
Vogts pun memutuskan untuk memasang Matthias Sammer sebagai libero pada babak kualifikasi melawan Bulgaria di Sofia. Jerman kalah 3-2. Namun publik antusias dengan permainan Jerman kala itu.
Dan terbukti, dari 10 pertandingan selanjutnya, Jerman berhasil menang 9 kali, termasuk mengalahkan Italia dengan skor 2-0. Matthäus kembali fit pada November 1995, namun Vogts lebih memilih Sammer ketimbang dirinya untuk masuk dalam skuat Piala Eropa 1996.
Contoh lain adalah dengan masuknya Oliver Bierhoff ke dalam skuat utama. Striker yang satu ini baru memulai debut internasional sekitar empat bulan menjelang Euro 1996. Pada saat itu ia sudah berusia 28 tahun! Kariernya berkembang secara perlahan.
Ia menjalani karier di Bundesliga bersama Bayer Uerdingen, Hamburg, dan Borussia Mönchengladbach tanpa prestasi yang signifikan. Ia kemudian sempat bermain semusim di Austria sebelum akhirnya pindah ke Ascona di Serie A. Udinese lalu merekrutnya dan ia berhasil mencetak 17 gol pada musim 1995/1996.
Pun demikian, Vogts awalnya sempat ragu untuk membawa Bierhoff ke Inggris. Namun sang istri berhasil membujuknya, “Take him along. He’ll repay you.”
Dan ternyata keputusan tersebut berbuah manis. Pada babak final, Bierhoff masuk sebagai pemain pengganti 20 menit menjelang peluit akhir dibunyikan. Ia mampu membuat skor imbang 1-1 setelah berhasil meneruskan free kick Christian Ziege.
Dan akhirnya pada babak perpanjangan waktu, Bierhoff untuk pertama kalinya berhasil menciptakan Golden Goal. Jerman keluar sebagai juara.
Perjalanan menjadi juara bukanlah perkara mudah. Sejak fase grup, kalimat “the team is the star” sudah harus ditunjukkan sebagai sesuatu yang nyata dan bukan kalimat manis semata-mata.
Mereka tampil di laga perdana kontra Ceko tanpa kehadiran Klinsmann akibat suspensi. Dan baru sekitar 15 menit pertandingan berlangsung, sang kapten Jürgen Kohler mengalami cedera. Meski demikian Jerman berhasil menang dengan skor 2-0.
Pada pertandingan kedua, Jerman berhasil mengandaskan perlawanan Rusia dengan skor 3-0 melalui dua gol Klinsmann dan sebuah gol dari Sammer. Jerman tinggal membutuhkan hasil seri pada pertandingan terakhir melawan Italia. Dan Jerman berhasil mewujudkannya.
Hasil tersebut juga sekaligus memulangkan kandidat juara Italia dari turnamen. Ceko yang berhasil menemani Jerman ke fase knock out.
Pada babak perempat final, Jerman berhadapan dengan Kroasia. Jerman menang tipis 2-1. Namun deretan cedera pemain terus bertambah. Klinsmann cedera pada pertandingan tersebut. Mario Basler dan Fredi Bobic juga cedera.
Dengan kondisi yang cukup mengenaskan seperti ini, Jerman harus melakoni laga semifinal melawan tuan rumah Inggris. Euforia “football is coming home” membara di tengah publik sepak bola Inggris. Optimisme semakin tinggi setelah mereka berhasil unggul lewat gol cepat Alan Shearer. Namun Stefan Kuntz berhasil menyamakan kedudukan pada menit ke-16.
Pemenang pertandingan akhirnya harus diputuskan lewat drama adu penalti. Penendang ke-6 Inggris, Gareth Southgate gagal menuntaskan tugasnya dengan baik. Köpke dengan mudah menahan tendangan penalti Southgate.
Penendang terakhir Jerman adalah Andreas Möller. Dengan meyakinkan, ia menendang bola ke arah tengah sedangkan David Seaman melompat ke kanan. Gol! Jerman kembali mengalahkan Inggris pada adu tendangan penalti.
Jerman masuk ke final dengan kondisi yang jauh dari sempurna. Andreas Möller dan Stefan Reuter tak bisa bermain di final akibat akumulasi kartu kuning. Beberapa pemain juga tidak berada dalam kondisi fit jelang laga final.
Pada sesi latihan sebelum final, Berti Vogts hanya memiliki 13 pemain dan tiga di antaranya adalah kiper. Bahkan Jerman juga mempersiapkan jersey untuk kedua kiper, Oliver Kahn dan Oliver Reck, menjaga kemungkinan keduanya harus bermain bukan sebagai kiper di final.
Keseluruhan permainan Jerman di perhelatan Euro 1996 merupakan perwujudan dari slogan “the team is the star”. Bagaimana dengan tahun 2016? Apakah Jeder fuer Jeden (masing-masing untuk semua) bisa sungguh-sungguh mewarnai perjalanan Jerman di Prancis kali ini? Kita tunggu saja, pemirsa.