Apabila saya menyebut nama kota Chapeco sepekan yang lalu, mungkin tak banyak dari Anda yang tahu dimana letaknya. Hal ini wajar mengingat Chapeco hanya sebuah kota kecil di negara bagian Santa Catarina, Brasil.
Namun, sejak Selasa (29/11), nama Chapeco mulai dikenal publik dan menjadi viral di linimasa. Semua bermula dari kejadian tragis yang menimpa kesebelasan asal kota tersebut, Associacao Chapecoense de Futebol atau biasa disebut Chapecoense.
Tepat hari itu, seluruh penggawa (kecuali yang menjalani skorsing dan dibekap cedera) Chapecoense termasuk pelatih dan ofisial beserta para jurnalis berangkat menuju kota Medellin di Kolombia untuk menyambangi markas Atletico Nacional, lawan mereka di babak final Copa Sudamericana 2016.
Ajang ini sendiri merupakan turnamen antarklub Amerika Latin terbesar kedua setelah Copa Libertadores.
Final tersebut merupakan salah satu momen bersejarah bagi klub yang berkandang di Stadion Arena Conda ini. Pasalnya, tujuh tahun yang lalu, mereka hanya kesebelasan yang berlaga di Serie D. Baru pada 2014, mereka sukses kembali ke Serie A.
Dengan status semenjana, Cleber Santana dkk. justru sanggup melenggang ke final dengan menaklukkan beberapa tim kenamaan di Amerika Latin seperti duo Argentina, Independiente dan San Lorenzo, di babak sebelumnya.
Namun nahas, pesawat yang mereka tumpangi, LaMia Airlines dengan nomor penerbangan 2933, mengalami kecelakaan saat terbang dari Santa Cruz di Bolivia menuju Medellin.
Kabarnya, pesawat mengalami masalah elektrik, meski otoritas setempat juga tidak menutup kemungkinan jika kehabisan bahan bakar dapat menjadi penyebab kecelakaan, sehingga terjatuh di wilayah La Ceja, Kolombia.
Tercatat 76 orang yang menjadi korban dari tragedi ini, termasuk pelatih Chapecoense, Caio Junior.
Hanya empat orang pemain Chapecoense yang ditemukan selamat ketika otoritas setempat melakukan pencarian, yakni Alan Ruschel, Jakson Follmann (salah satu kakinya harus diamputasi), Neto, dan Danilo (yang kemudian menghembuskan nafas terakhirnya saat berada di rumah sakit).
Tragedi yang menimpa Chapecoense menggegerkan dunia, khususnya yang berkiprah di cabang olahraga sepak bola.
Para pemain tenar seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo,hingga Pele langsung mengirimkan ucapan belasungkawa lewat akun media sosial begitu mengetahui tragedi yang menimpa Furacao do Oeste, julukan Chapecoense.
Langkah serupa juga dilakukan banyak klub maupun federasi sepak bola dari negara lain. Tagar #PrayForChapeco dan #ForcaChapecoense pun menjadi trending topic di seluruh dunia.
CONMEBOL, sebagai induk organisasi sepak bola di zona Amerika Latin langsung menghentikan semua aktivitasnya. Beberapa klub di wilayah lain juga melakukan one minute silence jelang sepak mula dan para pemainnya mengenakan ban hitam di lengan sebagai tanda duka cita.
Seisi kota Chapecodiliputi rasa sedih yang teramat dalam. Air mata kesedihan dan rapalan doa tak henti-hentinya mengalir dari para penduduk untuk pahlawan mereka. Ya, karena prestasi Chapecoense merupakan salah satu alasanmasyarakat Chapeco untuk bersuka ria.
Presiden Brasil, Michael Temer juga telah menetapkan masa berkabung nasional selama tiga hari untuk mengenang korban yang tiada akibat peristiwa tragis ini.
Kejadian kelam ini sendiri kembali membuka ingatan publik pada peristiwa serupa yang terjadi pada kesebelasan Torino di tahun 1949 dan Manchester United di tahun 1958.Seperti kedua entitas tersebut, kepiluan yang menimpa Chapecoense kali ini memang membuat mereka terpukul dan hancur.
Saat itu, Torino bahkan kehilangan skuat terbaik sepanjang masa mereka yang berjuluk Grande Torino. Pemain-pemain yang tiada akibat Tragedi Superga adalah para pilar yang menghadiahkan lima gelar Scudetto bagi Il Toro, julukan Torino.
Sementara Manchester United kehilangan beberapa nama penting yang membawa dua gelar juara Liga Primer Inggris untuk mereka pada 1955/1956 dan 1956/1957 berjuluk The Busby Babes dalam Tragedi Munchen tersebut.
Sebagai bukti solidaritas yang tinggi, klub-klub sepak bola profesional di Brasil siap meminjamkan pemain-pemain mereka secara gratis agar Chapecoensebisa kembali berlaga di Serie A.
Mereka bahkan meminta CBF (Confederacao Brasileira de Futebol) atau federasi sepak bola Brasil untuk tidak mendegradasi Furacao do Oeste selama tiga musim walau finis di zona merah.
Kompetisi Serie A sendiri diikuti oleh 20 klub dan ada empat kesebelasan yang yang bakal turun kasta tiap musimnya.Mereka adalah tim yang menyelesaikan liga di peringkat 17-20. Sebagai ganti andai selama tiga musim itu Furacao do Oeste finis di papan bawah, klub yang nangkring di peringkat 16 yang bakal direlegasi.
Sikap luar biasa yang ditunjukkan klub-klub Brasil adalah gesture kemanusiaan yang begitu menyentuh dan mesti disambut Chapecoense. Alasannya jelas, klub ini harus tetap ada, harus tetap hidup.
Karena tak hanya masyarakat Chapeco dan orang-orang Brasil saja yang ingin klub ini survive. Seluruh pencinta sepak bola di penjuru bumi juga menginginkan hal yang sama.
Dahulu, Torino dan Manchester United menggunakan banyak pemain reserve dan junior untuk bertahan hidup. Meski tertatih-tatih, sejarah menunjukkan bila keduanya sanggup melewati badai yang menerpa walau butuh proses dan memakan waktu yang cukup lama.
Eksistensi Torino setelah peristiwa mengenaskan itu dibuktikan dengan gelar Scudetto ketujuh pada musim 1975/1976 serta tiga trofi Piala Italia pada 1967/1968, 1970/1971, dan 1992/1993.
Sementara The Red Devilsbangkit dengan memenangi sepasang gelar Liga Primer Inggris medio 1960-an dan satu titel Piala Champions di musim 1967/1968.
Sampai kemudian berkembang menjadi klub tersukses di tanah Inggris bahkan Eropa berkat puluhan trofi yang didapat sejak Sir Alex Ferguson duduk sebagai pelatih di penghujung 1980-an hingga periode 2010-an awal.
Musibah yang diderita Chapecoense memang begitu menyayat hati.Namun mereka tak boleh menyerah pada nasib begitu saja. Furacao do Oeste mesti bangkit dan kembali mengejar impian-impian besar seperti yang mereka lakukan dalam enam tahun terakhir.
Karena hanya dengan bangkit dari keterpurukan, penggawa Chapecoense yang kini telah berada di surga dapat tersenyum kembali.Begitu juga dengan warga Chapeco yang begitu mencintai kesebelasan yang berasal dari kotanya.
Sehingga kelak, waktu akan bercerita kepada generasi berikutnya bahwa Chapecoense adalah tim yang hebat. Tim yang selalu bertarung dalam kondisi sesulit apapun, demi kebanggaan serta keceriaan dan demi impian yang selalu dicita-citakan.
#ForcaChapecoense