Menonton Siaran Sepak bola di Televisi Orde Baru

Gagasan tentang pendirian stasiun televisi di Indonesia dimulai sejak tahun 1950-an dengan dua alasan: pertama, alasan politik dan kedua, adanya pesta olahraga Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1962. Ishadi SK dalam bukunya yang berjudul Media dan Kekuasaan (2014) menyebutkan bahwa pada tahun 1952, Menteri Penerangan Maladi mendesak Presiden Soekarno untuk membangun stasiun televisi dengan alasan bahwa siaran stasiun televisi akan menguntungkan pemerintah pada masa kampanye tahun 1955. Gagasan ini menurut Menteri Penerangan Maladi diterima oleh Presiden Soekarno, namun ditolak oleh para menteri yang menganggapnya terlalu mahal.

Maladi terpaksa bernegosiasi dengan kondisi yang ada sembari menunggu kesempatan lebih baik untuk menyuarakan gagasan pendirian stasiun televisi kepada Presiden Soekarno. Tahun 1959, Maladi melihat kesempatan emas untuk kembali mengajukan gagasan pendirian stasiun televisi. Adalah penyelenggaraan Asian Games IV yang akan berlangsung di Jakarta pada 24 Agustus sampai dengan 4 September 1962. Maladi meyakini bahwa liputan Asian Games melalui televisi akan membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang tercabik pascakemerdekaan. Bentuk negara federal sebagai hasil kompromi diplomasi dengan Belanda dan dilanjutkan merebaknya gerakan pemberontakan separatis di berbagai wilayah mengancam nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia.

Maladi mengatakan bahwa sport dan politik di Indonesia sangat berkaitan. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Surakarta tahun 1948–di mana Maladi bermain sebagai penjaga gawang kesebelasan Surakarta–berhasil mempersatukan para pemuda Indonesia pada awal revolusi kemerdekaan.

Sebagai catatan tambahan, Surakarta pada sekitar tahun 1948 bergolak dengan berkumpulnya kaum oposisi pemerintah yang saling berlawanan secara politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Front Demokrasi Rakyat (FDR) menjadikan Surakarta sebagai wild west berhadapan dengan Persatuan Perjuangan (PP) yang mengikuti Tan Malaka. Selain itu, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Surakarta juga terlibat kontak bersenjata dengan beberapa elemen dari Divisi Panembahan Senopati. Di tengah karut marutnya kondisi Surakarta, PON berhasil diselenggarakan di stadion Sriwedari yang berada di pusat kota Surakarta.

Presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui gagasan Maladi, dan segera memerintahkan Maladi untuk menindaklanjutinya. Siaran resmi stasiun televisi yang diberi nama Televisi Republik Indonesia (TVRI) dilakukan pada pembukaan Asian Games pada tanggal 24 Agustus 1962 dari Stadion Utama Gelora Bung Karno selama tiga jam dari pukul 16.00 sampai dengan 19.00 WIB. Radius siaran mencakup 70 kilometer di wilayah Jakarta. Sebelumnya juga telah dibagikan pesawat televisi hitam putih merek Philips Ralin kepada pejabat, tokoh masyarakat, dan pegawai negeri.

TVRI sukses memenuhi keinginan Presiden Soekarno untuk membangun kebanggaan pada identitas nasional melalui olah raga. Sprinter Indonesia, Sarengat berhasil memecahkan rekor Asia dalam lari 100 meter dengan waktu 10,04 detik dan kontingen Indonesia secara keseluruhan berhasil menduduki posisi kedua di bawah Jepang. Sebuah prestasi yang mengilap dibandingkan pencapaian Indonesia di masa kini, bahkan di tingkat Asia Tenggara sekali pun.

BACA JUGA:  Sepak Bola dan Manajemen

Setelah Presiden Soekarno jatuh, berkuasalah era baru yang disebut sebagai Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. TVRI tetap menjadi media massa yang berorientasi untuk mengabdi kepada pemerintah. Menteri penerangan ditempatkan dalam posisi sebagai komisaris utama TVRI baik secara langsung maupun tidak langsung. Siaran TVRI pun bukan siaran yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan audiens, tetapi lebih menekankan pemenuhan kebutuhan pejabat pemerintah.

Secara sinis, jurnalisme yang dikembangkan oleh TVRI disebut sebagai jurnalisme seremonial, karena hanya berisi kegiatan seremoni peresmian proyek pembangunan oleh para pejabat. Mengikuti jejak pemerintah Soekarno, Orde Baru juga membagikan pesawat televisi. Pesawat televisi dibagikan kepada kepala desa dan dipasang di depan kantor desa untuk dinikmati bersama. Sampai akhir dekade 1980-an, aktivitas menonton televisi di depan kantor desa masih sering saya jumpai di berbagai desa di kawasan Madiun.

Pada dekade 1980-an, budaya menonton televisi berubah dengan adanya antena parabola dan stasiun televisi swasta. Pada tahun 1986, pemerintah mengeluarkan kebijakan langit terbuka (open sky policy) dengan adanya pemberian izin kepada masyarakat untuk memiliki antena parabola berdasarkan keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi No. 49/PL.104/MPPT-86. Akhir dekade 1980-an, televisi swasta akhirnya diberi izin bersiaran. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menjadi stasiun televisi swasta pertama yang bersiaran dari Jakarta. Awalnya, pelanggan RCTI harus membeli dekoder dan membayar iuran bulanan, namun dalam perkembangannya RCTI bisa dinikmati audiens tanpa dekoder. Setahun setelah RCTI mengudara, Surya Citra Televisi (SCTV) menyusul bersiaran.

Bagi generasi yang merasakan era 1990-an dan menggemari sepak bola, tentu masih ingat dengan siaran sepak bola di dua stasiun televisi swasta (RCTI dan SCTV) ini. Liga Italia Serie A disiarkan oleh RCTI dan Liga Primer Inggris disiarkan oleh SCTV. TVRI sebenarnya sempat menyiarkan Bundesliga Jerman pada dekade tersebut, namun audiens terlanjur memilih televisi swasta sebagai tontonan alternatif. Kebencian audiens pada TVRI pada masa itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menjadikan TVRI sebagai alat propaganda yang siarannya, terutama berita, bahkan harus di-relay oleh televisi swasta.

Saya masih ingat pada suatu hari di tahun 1996 ada pertandingan Internazionale di RCTI yang ingin saya tonton. Sebelum pertandingan disiarkan, RCTI me-relay sebuah program berita dari TVRI bernama Laporan Khusus yang durasinya 30 menit sampai dengan 1 jam. Laporan Khusus disiarkan pada pukul 21.30 WIB tepat setelah Dunia Dalam Berita yang juga wajib di-relay. Dengan demikian, siaran langsung sepak bola Liga Italia harus dimulai pukul 22.00 atau 22.30 WIB. Babak pertama pertandingan terpaksa tidak bisa saya tonton. Kesal dan marah tentu mendera saya karena tidak bisa menonton Internazionale.

BACA JUGA:  Sepak Bola dan Kehidupan Lain yang Lebih Penting

Umumnya, siaran Laporan Khusus mengudara jika ada peresmian proyek pembangunan oleh Presiden Soeharto, rapat cabinet, atau presiden berjumpa dengan warga yang didatangkan ke peternakan Tapos milik presiden. Pada masa itu, untuk menebak ada tidaknya siaran Laporan Khusus bisa dilakukan dengan menonton Berita Nasional pada pukul 19.30 sampai dengan 19.30 WIB. Jika dalam Berita Nasional ada berita tentang rapat kabinet, maka bisa dipastikan akan ada Laporan Khusus setelah Dunia Dalam Berita yang berisi konferensi pers dari Menteri Penerangan Harmoko atau Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Siap–siap pula, siaran langsung sepak bola Liga Italia dan Liga Inggris akan terpotong Laporan Khusus. Olahraga dan politik yang pada masa awal pendirian TVRI bersimbiosis mutualisme, pada masa Orde Baru justru saling vis a vis, setidaknya bagi penggemar sepak bola seperti saya.

Parabola kemudian menjadi pilihan. Di daerah, seperti di Madiun yang saya alami tahun 1990-an, pembelian parabola bukan bermotif untuk menikmati siaran televisi asing tetapi lebih berorientasi untuk dapat menikmati siaran televisi swasta. Siaran RCTI dan SCTV di Madiun kala itu hanya bisa dinikmati dengan jernih melalui antena parabola. Setelah parabola terpasang, audiens bukan hanya menikmati siaran televisi swasta, namun juga televisi asing. Kebijakan langit terbuka disebut oleh Ishadi SK menjadi bumerang bagi pemerintah, karena kebijakan pengontrolan siaran televisi tidak bisa lagi dilakukan. Ishadi SK menyebutkan bahwa pada tahun 1990, setidaknya di tiga sampai empat juta rumah di Indonesia, terpasanglah antena parabola (Ishadi, 2014 : 39).

Bagi penggemar sepak bola, parabola memberikan pilihan untuk menonton siaran sepak bola tanpa terpotong siaran berita dan Laporan Khusus yang wajib dipancarluaskan oleh stasiun televisi swasta. Kebijakan pemerintah yang satu ini memang benar-benar menjengkelkan bagi para penggemar sepak bola. Parabola pun akhirnya menjadi kenikmatan baru bagi audiens. Rumah–rumah yang terpasang antena parabola menjadi arena nonton bareng pertandingan sepak bola nirpropaganda berita pemerintah. Pesawat televisi yang dipasang di kantor desa mulai ditinggalkan, seiring semakin banyaknya kepemilikan televisi pribadi.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.