Fernando Redondo: Si Gondrong Berkaki Kidal

Di  Piala Dunia 1998 Prancis, saya menyaksikan tim Argentina berlaga hingga Gabriel Batistuta dkk takluk dari Belanda di perempat final. Selanjutnya, di Tabloid BOLA saya mengetahui kalau operan Frank de Boer ke Denis Bergkamp dinobatkan sebagai umpan terbaik.

Informasi ini saya baca seminggu usai perhelatan akbar empat tahunan turnamen sejagad sepak bola. Tentu saya masih ingat bagaimana Bergkamp menerima bola begitu anggun. Kontrolnya mengecoh Roberto Ayala lalu melesakkan bola yang tak bisa dijangkau Carlos Roa.

Kekecewaan penggemar tim Tango saat itu dilarikan ke sosok egois. Daniel Pasarella, pelatih yang menangani tim nasional Argentina di Piala Dunia 1998.

Rambut Ariel Ortega dan Batistuta memang panjang tetapi fans garis keras yang saya temani menonton saat itu mencari sosok yang lain. Gelandang bertahan berambut panjang lurus seolah baru saja melakukan rebonding yang bertumpu pada kirinya. Fernando Redondo.

Saya belum pernah melihatnya bermain. Saat itu Redondo berkostum Real Madrid. Dan, La Liga tidak disiarkan. Hanya Serie A dan Liga Primer Inggris yang bisa saya nikmati melalui layar kaca kala itu.

Amiruddin, salah satu penggemar garis keras tim Tango mengatakan, kalau seandainya Redondo masuk tim, besar kemungkinan ia dapat meredam kecepatan Marc Overmas yang menjadi jantung permainan Belanda. Dari dia pula saya ketahui kalau Redondo pernah menolak masuk timnas sejak Piala Dunia 1994 karena menolak memotong rambutnya.

Ia tahu banyak informasi soal itu melalui Tabloid BOLA yang dibacanya. Copa America tahun 1993, meski tidak dapat dinonton di layar kaca, ia mengikuti perkembangannya kalau Redondo turut andil membawa Argentina juara yang menjadi pencapaian gelar bergengsi terakhir bagi negeri Diego Maradona itu hingga saat ini (baca: timnas senior Argentina).

Di laga itu ia menunjukkan satu sosok kurang lebih mirip perawakan Redondo. Matias Almeyda yang menempati posisi yang sama.

Hanya saja, Almeyda tidak memiliki daya jelajah seluas Redondo. Murni sebagai gelandang bertahan yang meghubungkan bek dengan gelandang serang. Sedang visi bermain Redondo menyisir lapangan tengah hingga sisi kiri. “Ia memang doyan ke sana karena kekuatan kakinya di kiri,” ungkap Amirudin pada saya ketika itu.

Pada musim 1999/2000. Real Madrid berjumpa Manchster United di semifinal Liga Champions. Itulah kali pertama saya menyaksikan aksi Redondo.

Ia memang penguasa di lini tengah. Roy Kane kepayahan menghentikannya. Puncaknya, ia menyisir sisi kiri pertahanan MU, teknik backhell yang diperagakan menipu Hening Berg.

Sodoran bolanya ke depan gawang MU serasa tusukan bola biliar meluncur tanpa halangan. Raul Gonzales tanpa beban meneruskannya saja. Sir Alex Fergusson mengira kalau di dalam sepatu Redondo terdapat magnet khusus terpasang supaya bola terus lengket di kakinya.

Usai meraih gelar Liga Champions bersama Los Blancos, Redondo ditransfer ke AC Milan dengan banderol 11 juta poundsterling. Sebuah perpindahan yang tak betul-betul ia inginginkan. Tapi, bagi saya, kepindahan ini tentu saja membawa angin segar karena ada kemudahan untuk menyaksikannya berlaga.

BACA JUGA:  Signifikansi Era Baru El Clasico

Sayang, nasib buruk menghampirinya. Dia mengalami cedera lutut parah dalam salah satu sesi latihan klub dan harus berkutat dengan cedera itu selama 2,5 tahun. Ia menolak digaji dan ogah menggunakan fasilitas yang diberikan manajemen klub.

Tak hanya perihal cedera, skuat Milan kala itu sedang bagus-bagusnya. Dimetrio Albertini, gelandang elegan timnas Italia yang juga bermain di AC Milan dengan posisi yang sama merupakan batu karang yang harus digeser Redondo pada awal kedatangannya di San Siro.

Pada saat bersamaan, Gennaro Gattuso sedang tumbuh menjadi perusak yang dibutuhkan AC Milan di musim-musim selanjutnya. Redondo lebih banyak berbagi waktu bermain dengan Andrea Pirlo yang juga sedang naik daun.  Hasilnya, ia hanya bertahan hingga tahun 2004 dengan 16 kali penampilan saja.

Kepiawaian Redondo bisa dilihat pula dengan gaya dribel sentuhan dua kali. Mula-mula, ia melakukan gerakan tanpa bola ke kiri kemudian menggiring bola ke kanan. Setelah lepas, ia harus memperbaiki posisi berdirinya sedikit menyamping sebagai metode menutup arah lawan mengambil bola.

Karena agak jangkung, ia sulit menerapkan teknik dribel layaknya Maradona atau Ariel Ortega. Juga tidak memiliki tendangan keras seperkasa Batistuta. Satu-satunya kebanggaan yang dipertontonkan sebagai orang yang paling bertanggug jawab di lapangan tengah di tim Argentina ialah, operan mendatar. Seolah ia sedang bermain biliar.

Bukan sekali saja Redondo menolak membela tim Tango. Dari lebih dari satu itu alasannya bukan soal rambut.

Di Piala Dunia tahun 1990, ia ogah bergabung ke tim karena memilih fokus pada studi hukum yang sedang ditempuh. Alasan lain yang beredar diakibatkan Redondo menolak pola defensif yang diterapkan Carlos Salvador Bilardo, pelatih Argentina saat itu.

Pada tahun 1999, ia kembali masuk tim di bawah asuhan Marcelo Bielsa. Itulah kali terakhir Redondo membela Argentina sebab panggilan berikutnya selalu ditampik. Total, ia hanya mencatat 29 kali penampilan dengan sebiji gol bersama tim nasional.

Redondo lahir dari latar keluarga kelas menengah di Adrogue, berbeda dengan para pemain Amerika Latin yang harus memulai jejak dari jalanan. Redondo memulai debut profesional di klub lokal, Argentinos Juniors setahun setelah saya lahir, tahun 1985.

Klub yang sama di mana lawan politiknya memandang sepak bola berbeda 180 derajat, Daniel Pasarella, bek yang turut membawa tim Tango merengkuh trofi Piala Dunia pertama bagi Argentina di tahun 1978.

Latar kehidupanlah yang membawa Redondo berbeda paham dengan Pasarella maupun Maradona, yang sesungguhnya memandang sepak bola sebagai kerja keras di atas beragam cara.

Redondo memandang masih perlu adanya kejujuran di atas kecerdikan. Dengan paham ini, Redondo adalah paradoks. Ia seakan menjelma sebagai antitesis sepak bola Amerika Latin.

Perseteruan dua kubu politik sepak bola Argentina turut membawa Redondo dalam persoalan pelik. Ketika kubu yang menganggap sepak bola sebagai perjuangan. Jelas Redondo menolak tunduk. Ia tak ingin disebut sebagai pasukan tentara di bawah komando Pasarella untuk bertempur di Prancis.

BACA JUGA:  Messi, Argentina, dan Keengganan Menjadi Keledai

Mulanya Redondo manggut ketika ikut Piala Dunia 1994, bermain bersama Si Tangan Tuhan, Maradona, ia memiliki peran penting. Meski secara paham berbeda.

Tetapi Redondo membutuhkan pemain lincah agar tercipta ruang kosong dimana ia bisa mengatur strategi di sana. Skandal doping menimpa Maradona menjadi malapetaka. Redondo kehilangan kunci pembuka pintu. Tidak ada lagi ruang jelajah.

Menempuh pendidikan hukum tentulah memberi corak baru dalam cara pandang Redondo. Sesungguhnya ia hendak membawa ke mana ilmu hukumnya. Sepak bola dan hukum barangkali saja dalam pemahaman kita merupakan disiplin ilmu bertolak belakang. Hal ini jika menggunakan hegemoni kacamata kultur berpikir yang digunakan.

Tetapi belajar hukum di Amerika Latin bukan semata menasbihkan diri kelak mengampuh hidup sebagai pengacara. Hukum sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang dapat dipelajari di sebuah universtitas hanyalah media menjelajah kesenangan minat.

Karena itu tidak mengherankan jika Redondo semasa di Madrid kala senggang memilih membaca karya Jorge Luis Borges, pengarang besar asal negaranya dan pengarang besar lainnya dari Amerika Latin, Kolombia, Gabriel Garcia Marquez.

Redondo hampir memadukan semua prototipe pemain tengah. Ia bisa bertindak sebagai pemain nomor 5, 6, 7, dan 10. Di Argentina ia menggunakan nomor punggung 5 sebagaimana di AC Milan.

Keahliannya mematahkan serangan dari tengah dan mencuri bola dipergakan dengan baik. Ketika di AC Milan dan juga di Argentina, Redondo cukup menjaga posnya saja. Maklum saja, ia bermain bersama Maradona di tim Tango dan Rui Costa di AC Milan. Kehadiran pemain bertipe playmaker menuntut Redondo mengamankan bola saja di wilayahnya.

Hal ini berbeda ketika di Real Madrid pada awal ia bergabung. Clerence Seedorf selaku playmaker kadang kurang maksimal memenuhi ekpektasi Raul Gonzales yang bergerak lincah di depan.

Kita dapat melihatnya kembali melalui tayangan di YouTube, jelajah Redondo secepat kilat berbuah dari gelandang box to box ke playmaker lalu ke sayap (wide attacking midfielder).

Ketika bekerja di sisi kiri, ia tidak melakukan umpan silang. Kemampuan umpan jauh bola atas memang payah. Itulah mengapa Redondo memilih terus merangsek mendekati kotak penalti dan menawarkan umpan mendatar.

Redondo barangkali tidak meninggalkan model bermain yang dapat ditapaki pemain setelahnya. Taktik sepak bola yang terus berkembang meninggalkan model yang telah usang.

Teknik bermain juga dapat diasah melalui latihan. Menilik kembali teknik dan gaya bermain Redondo hanya mengingatkan kalau tipikal pemain sepertinya pernah ada dan dibutuhkan dalam sebuah zaman.

Pada musim terakhir berseragam Los Blancos, ia tidak lagi berambut gondrong. Gaya rambutnya klimis hingga ia gantung sepatu di AC Milan. Namun yang pasti, operan kaki kirinya sungguh mematikan. Saya kira, itulah yang terus diingat ketika mengempaskan Setan Merah.

 

Komentar
F. Daus AR mengumpulkan catatan di kamar-bawah.blogspot.com. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @ar_daus.