Frank de Boer yang Terlatih Patah Hati

Malam pertama setelah keputusan, pikirannya berangsur-angsur tenang. Hiruk-pikuk selama sembilan bulan yang terkulminasi selama empat pekan terakhir mereda. Dia mulai bisa berefleksi, melakukan retrospeksi diri.

Memang sudah sejak awal dia tidak terlalu diinginkan oleh mantan kekasihnya. Meminang karena sang kekasih baru saja ditinggal tunangan yang begitu dicintainya. Dia berjanji akan melakukan segala-galanya untuk sang kekasih.

Dia tahu dirinya bukan pasangan ideal, tetapi dia bersumpah akan berubah. Lebih banyak mendengar, lebih banyak melepas sikap egoisnya. Dia menerima syarat sang kekasih bahwa dia harus menerima apa adanya. Jangan ada banyak perubahan karena akan ada masa penting yang akan mereka lalui bersama.

Terdengar seperti syarat yang mudah, tetapi ternyata tidak. Dia menerima banyak tekanan. Dari orangtua sang kekasih, dari teman-teman terdekatnya — bahkan tetangga yang tidak pernah dia kenal ikut mengomentari hubungannya. Bahkan sampai seberang pulau!

Seringkali dia ingin membantah, tetapi dia langsung ingat janjinya dengan sang kekasih. Hubungan mereka sering terlihat mulus. Ketika orang-orang mulai senang dengan perkembangannya, sontak ada riak. Hubungan mereka bergelombang lagi.

Ketika hari penting mulai dekat, dia akhirnya berani memutuskan. “Ikuti. Ikuti jalanku. Kelak kita menemukan kebahagiaan di ujung pelangi!” janjinya kepada semua orang.

***

Dongeng ini tidak berakhir bahagia buat Frank de Boer. Sebagai pemain, rekornya mentereng dengan 112 penampilan bersama tim nasional Belanda yang terbentang antara 1990 hingga 2004. Dialah kapten Belanda yang menembus semifinal Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.

Di level klub, dia pernah memperkuat sejumlah klub hebat seperti Ajax Amsterdam dan Barcelona. Namun sebagai pelatih, dia lebih sering menjadi bahan olok-olok dalam setiap pertanyaan kuis trivia Serie A maupun Premier League.

Terbilang sukses mendampingi Bert van Marwijk saat membantu De Oranje ke final Piala Dunia 2010, De Boer menempuh karier solonya dengan menyanggupi tawaran menjadi pelatih Ajax.

Partai debutnya ditandai dengan kemenangan mengejutkan 2-1 atas AC Milan pada laga Liga Champions yang sudah tidak menentukan. Akhir musim 2010/2011, De Godenzonen secara mengejutkan menjuarai Eredivisie sekaligus memutus kemarau enam tahun.

De Boer membawa Ajax empat kali beruntun landskampioen, tetapi akhir kiprahnya tidak kalah spektakuler. Alih-alih menang atas De Graafschap yang sudah dipastikan terdegradasi pada laga pamungkas musim 2014/2015, Ajax malah imbang.

Nahas, PSV Eindhoven menyalip dan sukses memutus rantai kesuksesan Ajax sekaligus mengakhiri cerita indah De Boer yang sudah memutuskan mundur saat musim selesai.

Jalannya kemudian berkelok diliputi kegetiran demi kegetiran. Hanya bertahan 84 hari di Internazionale Milano, lalu 77 hari di Crystal Palace. Jose Mourinho mengejeknya sebagai “manajer terburuk dalam sejarah Premier League”.

Kemudian dia pindah ke Amerika Serikat usai menerima tawaran Atlanta United. Sempat merebut Campeones Cup dan US Open Cup 2019, tetapi hubungan buruknya dengan manajemen klub dan fans menggiringnya keluar pintu imigrasi Negeri Paman Sam pada Juli 2020.

BACA JUGA:  Lelah dan Jenuh yang Mematikan Hasrat Toni Kroos

Jalan hidup memang tidak ada yang tahu. Agustus 2020, Ronald Koeman menerima pinangan Barcelona sehingga meninggalkan kekosongan jabatan pelatih Belanda. Tidak banyak kandidat yang tersedia karena musim kompetisi baru saja berjalan.

Apesnya, Koeman meninggalkan misi memimpin Belanda di Piala Eropa 2020 yang ditunda setahun. KNVB, asosiasi sepakbola Belanda, pun bertindak.

Meski Louis van Gaal terang-terangan menyatakan bersedia, KNVB tak menganggapnya serius. Direktur Sepakbola Top-Level, Nico-Jan Hoogma, malah menghubungi Peter Bosz yang saat itu menangani Bayer Leverkusen.

Hanya sekadar cek ombak apakah Bosz “tersedia” atau tidak. Bahkan sebelum mendengar jawaban karibnya itu, di dalam hati Hoogma sudah tahu apa jawabannya.

Hoogma lantas beralih ke nominasi berikutnya, De Boer. Dia tahu De Boer tidak dalam posisi tawar yang tinggi. De Boer tidak akan banyak cingcong dengan sejumlah syarat KNVB.

Salah satunya adalah tetap harus bekerja dengan staf kepelatihan yang ada. Dalam artian, De Boer tidak dapat menyewa Orlando Trustfull, sekondan terpercayanya, yang senantiasa dibawanya ke mana saja.

Bagi De Boer, pucuk dicinta ulam pun tiba. Posisi pelatih Belanda dapat memulihkan reputasi kepelatihannya. Mungkin juga mengobati lara hati setelah gagal di sana-sini. Tawaran itu diterima.

Pada hari pertama bertugas, setelah dua bulan menganggur, De Boer mengatakan sudah banyak belajar dari masa kepelatihan sebelumnya. Dia mau mengubah posisinya dari “coach” menjadi “team manager”. Lebih asertif dalam bertugas.

Sayangnya, dunia sepakbola profesional tak kenal ampun. Mereka tidak mengunyah kata-kata yang manis, melainkan harus dibuktikan dengan hasil, hasil, dan hasil.

***

Sampai lah kita pada poin penilaian kinerja De Boer. Sang mempelai rupanya seperti orang kebingungan yang menularkan keputusasaan. Dia menjadi bondscoach pertama yang melalui empat pertandingan pertama tanpa kemenangan sama sekali.

Sinyal bagus muncul ketika mengimbangi tuan rumah Italia 1-1 pada lanjutan UEFA Nations League. Kala itu Belanda bermain dengan formasi 3-5-2. Harapan menyeruak.

Namun, pada laga perdana kualifikasi Piala Dunia 2022, Belanda menyerah 4-2 di kandang Turki. Dalam sekejap semuanya kembali ke nol.

Kelemahan Belanda dalam transisi permainan makin lama makin mencolok, seperti tidak ada solusi. De Boer menarik rem darurat. Sebulan sebelum Piala Eropa 2020 berlangsung, dia menyatakan 3-5-2 sebagai taktik utama tim.

Muncul perdebatan. Di televisi, pandit maupun mantan pelatih dan pemain yang mempertanyakan pilihannya. Saat latihan, sebuah pesawat terbang melintas membawa pesan agar De Boer kembali ke formasi 4-3-3.

Sang mempelai bergeming. Belanda kemudian merampas tiga pertandingan grup dengan kemenangan. Setelahnya? Ya, harapan kembali menyeruak.

Apalagi jalur menuju final yang diimpikan Belanda relatif lebih mudah. Jangan-jangan De Oranje bisa melaju jauh ke babak puncak.

BACA JUGA:  Turki: Kuda Hitam yang Nasibnya di Ujung Tanduk

Setidaknya semifinal, sesuai ambisi pribadi De Boer. Sayangnya, laga melawan Republik Ceko yang kompak dan tangguh di babak 16 besar menjadi sebuah bencana untuk Memphis Depay dan kolega. Belanda menyerah 0-2.

Mungkin hasil itu tidak mutlak kesalahan De Boer yang tetap menerapkan formasi 3-5-2. Mungkin itu salah para pemain yang tidak bisa memberikan umpan membunuh pada babak pertama.

Mungkin itu salah Donyell Malen yang tidak mampu menyelesaikan peluang emas satu lawan satu. Mungkin itu salah Matthijs de Ligt yang mendapat kartu merah.

Mungkin salah Memphis Depay. Mungkin salah Georginio Wijnaldum. Mungkin salah VAR (Video Assistance Referee). Mungkin salah cuaca terik. Mungkin seharusnya tim berangkat lebih awal ke Budapest. Mungkin.

Segala dalih tersebut tidak kuasa menutup dosa besar De Boer. Ketika Belanda bermain dengan sepuluh orang, De Boer menarik keluar Malen dan menggantikannya dengan Quincy Promes. QUINCY PROMES? GODVERDOMME!

Itu sama saja memberikan Republik Ceko kunci kemenangan. Meski menyia-nyiakan sebuah peluang, Malen merupakan pemain yang paling membahayakan lawan. Pemilihan Promes masuk skuad Piala Eropa 2020 saja sudah mengundang rasa heran orang-orang.

Saat pertandingan usai, De Boer membela diri. Malen dianggapnya secara statistik hanya mampu bermain maksimal 60 menit.

Kontan saja media Belanda membalikkan dalih itu dengan menunjukkan data bahwa sebagian besar gol Malen untuk PSV pada musim 2020/2021 justru terjadi menit 75 ke atas. GODVERDOMME!

Itu membangkitkan lagi perdebatan pra-turnamen. De Boer berkata pemilihan Donny van de Beek, yang akhirnya absen akibat cedera, adalah karena sang pemain mengumpulkan “4.000 menit bermain” untuk Manchester United. Padahal, hanya kisaran 1.000 menit.

Anwar El Ghazi diberitahu tidak masuk skuad hanya melalui pesan pendek. Begitu juga keputusan pencoretan mendadak Jasper Cillessen yang positif Covid-19.

Berlawanan dengan janji manisnya untuk berubah, De Boer ternyata masih seperti yang dulu. Bimbang, gagap mengambil keputusan, dan gagal membaca permainan.

***

De Boer sudah diberi peringatan. Fans Belanda pun sudah diberi peringatan. Sekarang, segalanya terlambat sudah. Tidak akan ada pesta oranye di Piala Eropa 2020.

Sang mempelai mundur dari mimbar. Patah hati untuk kesekian kalinya.

Quiet when I’m comin’ home and I’m on my own

I could lie, say I like it like that, like it like that

I could lie, say I like it like that, like it like that*

(*When Party’s Over, Bille Eilish)

Komentar
Jurnalis sepakbola yang bisa ditemui via akun Twitter @agungharsya