Godfather Sepak Bola Australia

16 November 2005 malam sekitar pukul 07.00 waktu setempat, 82.600 manusia dalam balutan warna kuning-hijau sudah menyemut di Stadion Olimpiade Sydney. Mereka menantikan sebuah pertandingan (yang akan segera menjadi pertandingan) bersejarah antara Australia melawan Uruguay dalam perebutan tiket terakhir putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Euforia membuncah di dada. Mereka sudah tidak bisa menunggu lebih lama dari 31 tahun untuk tampil lagi di Piala Dunia. Jika mereka lolos, maka ini akan menjadi Piala Dunia kedua mereka sepanjang sejarah dan yang pertama sejak 1974.

Dalam sesaknya euforia tersebut, ada sebuah nama yang diteriakkan para pendukung Australia secara berulang. Nama itu adalah “Johnny”. Nama ini diteriakkan bersamaan dengan diputarnya sebuah footage pendek di layar lebar stadion untuk mengenang seorang pahlawan sepak bola yang telah tiada. Para pendukung Australia sepertinya percaya bahwa nama ini memiliki tuah tersendiri untuk permainan tim mereka. Saat itu, posisi Australia sedang tertinggal 0-1 setelah takluk pada leg pertama dua minggu sebelumnya. Para pemain tim nasional (timnas) Australia butuh doping mental ekstra untuk pertandingan ini.

Hasilnya instan! Mark Bresciano membuka skor pada menit ke-35 setelah memanfaatkan umpan kombinasi menawan antara Tim Cahill, Mark Viduka, dan Harold Kewell. Hector Fabian Carini yang mengawal gawang Uruguay tidak sanggup menahan tendangan keras Bresciano dari jarak dekat tersebut. Skor sama kuat sekarang. Barisan serang Uruguay yang dikomando Alvaro Recoba terus mencoba membongkar pertahanan Australia, namun Lucas Neill dkk. tetap mampu menjaga keperawanan gawang Mark Schwarzer pada pertandingan tersebut sampai peluit panjang dibunyikan.

Adu tendangan penalti pun akhirnya dilakukan. Waktu yang disediakan ternyata gagal membongkar deadlock pertandingan. Australia menyiapkan Harold Kewell, Lucas Neill, Aurelio Vidmar, Mark Viduka, dan John Aloisi untuk menjadi algojo. Sementara itu, Uruguay menyiapkan Dario Rodriguez, Gustavo Varela, Fabian Estoyanoff, Marcelo Zalayeta, dan Pablo Garcia. Seperti kita ketahui bersama, Australia akhirnya berhasil memenangi adu penalti. Mark Schwarzer berhasil menggagalkan dua penalti dari Dario Rodriguez dan Marcelo Zalayeta, sementara itu John Aloisi yang bertindak sebagai algojo terakhir Australia berhasil menyarangkan bola dengan telak ke sisi kiri gawang Fabian Carini.

Australia lolos dan mereka tidak hanya berterima kasih kepada para pemain serta sang pelatih, Guus Hiddink. Mereka juga berterima kasih kepada seseorang bernama Johnny yang namanya selalu mereka elu-elukan. Siapakah Johnny? Apa yang membuatnya begitu dicintai rakyat Australia? Apa yang telah ia perbuat untuk sepak bola Australia?

Namanya Johnny Warren. Ia lahir di Botany, daerah pinggiran kota Sydney sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara pada 17 Mei 1943. Ia berasal dari keluarga kelas menengah dan keluarga itu memiliki bakat tersendiri di bidang olahraga, khususnya sepak bola. Dua kakak laki-lakinya, Geoff dan Ross, sudah terlebih dahulu berkecimpung di sepak bola sekolah sebelum Johnny muda mengikutinya. Namun, bakat Johnny memang lebih besar dibanding kedua kakaknya. Bakat kepemimpinannya pun sudah tampak di usia muda. Di tim sepak bola sekolahnya, Cleveland St. High School, Johnny Warren menjadi wakil kapten.

Pada usia 15 tahun, Johnny Warren bergabung dengan sebuah tim kecil bernama Canterbury-Marrickville dengan biaya 7 shilling dan 6 pence. Sebelum bermain di Canterbury-Marrickville, Warren sudah bermain untuk klub junior lokal, Botany Methodists dan Earlwood Wanderers. Canterbury-Marrickville adalah klub sepak bola pertama yang didirikan di Sydney. Di Canterbury-Marrickville, Warren memulai kariernya dari tim junior sebelum dipromosikan setahun sesudahnya ke tim senior. Di klub ini, Warren bertahan selama lima tahun dan meraih pengakuan berskala negara bagian New South Wales.

BACA JUGA:  Massimo Luongo: Pemain Australia Keturunan Indonesia

Pada tahun 1963, Warren ditransfer ke klub St. George Budapest. Klub ini merupakan klub yang didirikan oleh para imigran Hungaria setelah Perang Dunia II usai. Warren menghabiskan 12 tahun di klub ini dan mulai meraih reputasi berskala nasional. Bersama St. George, ia meraih gelar juara di kompetisi New South Wales sekaligus meraih cap pertamanya bersama timnas pada tahun 1965. Pertandingan pertama Warren bersama timnas Australia tersebut sekaligus menjadi pertandingan pertama Australia setelah dua tahun sebelumnya diterima FIFA sebagai negara anggota. Cap pertamanya tersebut ia dapatkan pada pertandingan kontra Kamboja di Phnom Penh yang berakhir imbang 0-0.

Dua tahun kemudian, Warren untuk pertama kalinya menjadi kapten timnas. Ketika itu, diadakanlah sebuah turnamen bertajuk National Viet Nam Day di Saigon antara Vietnam Utara dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Muangthai, Australia, serta Selandia Baru. Turnamen ini berhasil dimenangi oleh Australia dan sekaligus menjadi trofi internasional pertama mereka. Pada turnamen ini, Warren mendapat kesempatan pertama menjadi kapten timnas sebelum memimpin Australia hingga pensiun.

Tujuh tahun kemudian, Johnny Warren akhirnya benar-benar memimpin Australia di pentas berskala internasional: Piala Dunia. Ia bermain pada pertandingan pertama Australia melawan Jerman Timur. Australia kalah 0-2, sementara Warren harus menepi akibat cedera. Akhirnya, ia absen pada dua pertandingan selanjutnya dan kekalahan atas Jerman Timur tersebut menjadi pertandingan sepak bola terakhirnya. Meski begitu, pada tahun yang sama, ia memeroleh gelar MBE (Member of British Empire) sebagai penghargaan atas dedikasinya terhadap sepak bola.

Johnny Warren memperkuat Australia sebanyak 42 kali, dengan 24 di antaranya ia lakoni sebagai kapten. Dari 42 penampilan tersebut, ia sanggup mencetak 6 gol. Warren adalah seorang gelandang serang dengan kemampuan yang lengkap. Secara fisik, ia sangat kuat dan cepat. Secara teknik, ia memiliki dribel, umpan, tendangan, dan sundulan yang sangat baik. Ia adalah arsitek permainan Australia. Kelebihan Warren yang lain adalah pada kharismanya yang tidak sanggup disamai oleh siapa pun di Australia, bahkan hingga kini.

Penampilannya pada Piala Dunia 1974 sekaligus menandai berakhirnya karier persepakbolaan Warren sebagai pemain. Ketika Piala Dunia usai, ia memutuskan untuk menjadi player-manager­ di St. George Budapest. Selain itu, ia juga berperan dalam pembentukan klub Canberra City sebelum menjadi manajer tim tersebut pada tahun 1977 dan 1978. Setelah usai menangani Canberra City, Warren beralih profesi menjadi komentator televisi di jaringan SBS bersama pasangan abadinya, Les Murray. Semua orang yang menonton acara sepak bola di Australia pada dekade 1980-an dan 1990-an pasti akan mendapati wajah Warren dan Murray. Mereka berdua selalu setia tampil di televisi. Mereka menganalisis, mengkritik, dan kadang-kadang, menertawakan kejadian-kejadian konyol yang terjadi di kompetisi NSL (National Soccer League).

BACA JUGA:  Gunung Api Zamparini

Salah satu momen paling monumental dalam karier pertelevisian Johnny Warren adalah ketika ia menangis di televisi nasional setelah Australia gagal lolos ke Piala Dunia 1998. Pada pertandingan play-off melawan Iran, Australia yang harus menang (dan sudah unggul 2-0) harus tersingkir setelah kebobolan dua gol telat Iran pada menit-menit akhir. Warren menangis sesenggukan di jaringan ABC. Ia berkata bahwa tangisan ini bukan hanya tangisan pribadinya, tetapi juga tangisannya atas “tragedi nasional” persepakbolaan Australia.

Memasuki era 2000-an, Johnny Warren mulai berpikir bahwa OFC (Oceania Football Federation) tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi perkembangan sepak bola Australia. Menurutnya, pertandingan-pertandingan di zona Oseania sangat tidak kompetitif dan menghambat laju perkembangan sepak bola Australia. Ia merujuk pada beberapa pertandingan yang berakhir dengan skor “fantastis”, termasuk ketika Australia menggunduli Samoa Amerika dengan skor keterlaluan, 31-0. Berangkat dari sini, Warren mulai menggulirkan wacana dan kampanye untuk mengintegrasikan Australia ke dalam AFC (Asian Football Confederation).

Johnny Warren sempat menerbitkan buku bestseller berjudul Sheilas, Wogs, and Poofters. Buku yang diterbitkan tahun 2002 ini menceritakan tentang perjuangan Warren mengangkat derajat sepak bola di Australia. Sepak bola memang selalu kalah pamor di Australia dibanding dengan rugby, Australian football, dan kriket. Berbagai macam rintangan dan hinaan kerap diterima Warren dalam rangka mempromosikan sepak bola di Australia, tetapi ia tidak pernah menyerah untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan.

Pada tahun 2003, Johnny Warren yang memang dikenal sebagai perokok berat didiagnosis mengidap kanker paru-paru. Kondisinya turun drastis sejak saat itu. Warren yang pada tahun 2001 masih terlihat segar dan atraktif di depan publik, pada tahun 2003 terlihat sangat tua dan rapuh. Meski begitu, ia sempat menerima penghargaan FIFA Centennial Order of Merit atas kontribusinya terhadap sepak bola Australia. FIFA Centennial Order of Merit ini diberikan kepada legenda-legenda sepak bola dunia seperti Franz Beckenbauer dan Ferenc Puskas sebagai bagian dari peringatan 100 tahun FIFA.

6 November 2004, seminggu setelah peresmian kompetisi sepak bola model baru A-League yang menggantikan NSL (National Soccer league), Warren harus menyerah kepada takdir. Kanker paru-paru yang ia derita tak kuasa lagi ia lawan. Johnny Warren akhirnya meninggal tanpa sempat menyaksikan dua cita-cita besarnya untuk sepak bola Australia tercapai: lolos ke Piala Dunia dan mengintegrasikan Australia ke dalam AFC. Dua cita-cita yang ia perjuangkan di lebih dari separuh usianya.

Ketika Australia memenangi adu penalti atas Uruguay pada tahun 2005 tersebut, nama Johnny Warren semakin dielu-elukan. Kata-kata legendaris milik almarhum, “I Told You So” menjadi kata-kata penyemangat dan slogan tidak resmi yang akan selalu digunakan oleh mereka yang berkecimpung di persepakbolaan Australia. Johnny Warren selalu memimpikan pengakuan atas kehebatan Australia di kancah persepakbolaan Australia dan melihat apa yang mereka capai sekarang, Johnny Warren dapat tersenyum dari surga seraya berkata, “I told you so!”

 

*) Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di Fandomagz edisi Asia. Ditayangkan kembali setelah melalui proses penyuntingan ulang.

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.