Alex Morgan, Lebih dari Sekadar Gadis Sampul

Alex Morgan adalah contoh dari sedikit atlet yang punya porsi ruang lebih besar dalam budaya populer ketimbang olahraga yang ditekuninya.

Tak bisa dimungkiri, berkat reputasinya sebagai gadis sampul, Morgan menjadi wajah dari sepakbola putri di seluruh dunia.

Menariknya, semua itu ia lakukan di negara yang olahraga terpopulernya bukanlah sepakbola yaitu Amerika Serikat.

Nama-nama seperti Marta Vieiera da Silva atau Mia Hamm mungkin punya rekam jejak yang lebih hebat di lapangan hijau, hanya saja, Morgan punya faktor eksepsional yang membuatnya jadi tumpuan para pesepakbola putri di seantero jagad untuk mengaktualisasikan diri.

Sosok dengan nama lahir Alexandra Patricia Morgan tersebut turut memupuk citranya di luar lapangan dengan persisten dan sukses mendongkrak pamor sepakbola putri.

Paras ayu penyerang kelahiran California tersebut memang sebuah daya tarik yang mendongkrak ketenarannya. Namun, Morgan paham betul bagaimana memanfaatkan privilese yang dimilikinya untuk menginisiasi perubahan yang berdampak signifikan bagi keberlangsungan sepakbola bagi Kaum Hawa.

Berkat ketenarannya, Morgan dikontrak oleh merek-merek ternama dunia seperti Nike, McDonalds, dan Coca Cola.

Dengan portofolio demikian, figur yang bisa mengimbanginya di jagad sepakbola adalah nama-nama sekaliber Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Nama Morgan bisa dikatakan sejajar dengan para selebritas. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, terdapat sosok pesepakbola putri yang menjadi bintang sampul gim FIFA.

Dalam edisi musim 2015/2016, sosok Morgan terpampang pada cover permainan FIFA bersama dengan salah satu bintang dominan di jagad kulit bundar, Messi.

Secara simbolik, Morgan seakan berperan sebagai magnet bagi sepakbola wanita atau bahkan olahraga wanita secara umum dan mengenalkannya kepada spektrum yang lebih luas mengingat betapa populernya permainan FIFA.

Berbeda dengan senior-seniornya seperti Hamm dan Abby Wambach, Morgan menjalani masa emas kariernya dalam situasi yang lebih mendukung dan ramah.

Kesadaran akan kesetaraan gender yang sudah mulai terbangun dan pesatnya kemajuan teknologi digital bikin wanita bertinggi badan 170 sentimeter itu bisa menancapkan pengaruhnya dengan kuat di hadapan publik global.

Saat Morgan sedang memupuk cita-citanya menjadi pesepakbola profesional di usianya yang kedelapan, bahkan belum terbentuk kompetisi resmi liga sepakbola putri di AS.

Women’s United Soccer Association yang menjadi cikal bakal berdirinya National Women’s Soccer League, baru dibentuk pada 2001 silam.

Melalui akun instagramnya, @alexmorgan13, yang mempunyai jumlah pengikut sebanyak 9,4 juta, perempuan 32 tahun itu dengan intens terus mengobarkan pesan positif terkait kesetaraan gender dalam olahraga dan menginspirasi gadis-gadis muda di seluruh dunia untuk berani mengeksplorasi talenta mereka di bidang olahraga.

Melalui kampanye #EqualPlayEqualPlay, Morgan menuntut perlakuan yang setara terhadap pesepakbola pria dan wanita yang sama-sama membela panji Tim Nasional AS.

Tak hanya soal bayaran dan bonus, melainkan juga jatah publikasi yang sama, akomodasi perjalanan, nutrisi, dan tempat karantina, serta porsi metode dan intensitas latihan.

Ironisnya, meski tim putra AS cenderung diistimewakan oleh Federasi Sepakbola Negeri Paman Sam (USSF), prestasi mereka bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan raihan Timnas putri.

Pada ajang Piala Dunia, Timnas putra paling banter hanya mampu menduduki peringkat ketiga.

Torehan itu pun diraih pada Piala Dunia edisi pertama tahun 1930 alias sudah hampir 100 tahun silam.

Dalam satu dekade belakangan, The Yanks paling mentok cuma sebatas masuk babak 16 besar. Bahkan mereka tidak berhasil lolos ke putaran final Piala Dunia edisi terakhir di Rusia pada tahun 2018 lalu.

Raihan tersebut tak ada apa-apanya dengan prestasi Timnas putri yang menjuarai empat edisi Piala Dunia, dan dua di antaranya didapatkan tatkala Morgan menjadi bagian skuad.

Dengan raihan tersebut, Timnas putri AS kerap kali didapuk sebagai Timnas sepakbola perempuan paling sukses di dunia.

Tak hanya itu, pada 2017 silam, Morgan bersama kolega senegaranya, Megan Rapinoe, juga bergabung dalam paguyuban non-profit, Common Goal, yang diinisiasi gelandang Manchester United, Juan Mata.

Morgan dan Rapinoe adalah dua pemain putri pertama yang tergabung dalam Common Goal yang saat ini berkembang pesat dan telah diisi oleh pesepak bola putri lain seperti Vivianne Miedema dan Pernille Harder.

Setiap pesepakbola yang tergabung dengan Common Goal bakal mendonasikan 1% dari pendapatannya untuk disumbangkan pada kalangan membutuhkan.

Uang amal tersebut kemudian disalurkan melalui Street Football World yang membawahi 130 organisasi non-pemerintah di 85 negara.

Morgan merasa tertarik untuk bergabung dengan proyek tersebut begitu mengetahui terdapat nama Jambo Bukoba, sebuah organisasi non-pemerintah asal Tanzania yang menggunakan olahraga sebagai sarana pembentukan kesetaraan gender bagi para gadis-gadis lokal.

Bersama suaminya, Servando Carrasco, yang diutus sebagai duta Departemen Luar Negeri AS, Morgan turut serta mengunjungi Tanzania pada 2017.

“Baik pendidikan maupun olahraga sangat penting untuk perempuan muda. Itu akan membentuk identitas dan kepercayaan diri mereka,” ujar Morgan kepada Forbes mengomentari perjalanannya ke Tanzania.

Tak hanya Common Goal, Morgan juga tergabung dalam gerakan Sports Matter, yang melakukan pendanaan pada olahraga bagi kalangan remaja di sekolah.

Dalam sebuah temuan yang dikemukakan oleh Women’s Sports Foundation, 56% anak perempuan di sekolah tidak bisa mengeksplorasi bakatnya di bidang olahraga.

Situasi semacam itu kerap terjadi karena minimnya dana yang disediakan untuk pelatihan bagi remaja putri di sekolah.

Morgan turut menanamkan pengaruhnya di akar rumput dengan menulis buku anak-anak berjudul The Kicks, yang mengisahkan perjalanan seorang pesepak bola putri menggapai impiannya.

The Kicks yang menjadi best seller New York Times Book, telah menginspirasi jutaan anak perempuan di Negeri Paman Sam untuk mengikuti jejak Morgan.

https://twitter.com/FIFAWWC/status/1245755370137681921?s=20

Morgan juga membintangi sebuah film berjudul Alex and Me yang mengisahkan seorang remaja putri bernama Reagan Wills yang menjadikan dirinya sebagai inspirasi untuk merajut kesuksesan sebagai pemain sepak bola.

Tak ayal, Morgan didapuk oleh Time sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia pada 2019 silam.

Sebagai perbandingan, hanya Mohamed Salah saja pesepakbola yang juga masuk daftar tersebut berkat perannya mengikis islamofobia.

Senior Morgan di Timnas AS, Hamm, turut mengamini besarnya pengaruh Morgan bagi generasi muda, terutama bagi anak perempuan.

“Tak hanya di dalam arena, di luar lapangan, Morgan juga menginspirasi lewat gerakannya yang menyediakan lebih banyak ruang bagi perempuan di dunia olahraga. Sebagai ibu dari putri kembar yang berusia 12 tahun, saya paham betul pengaruh Morgan untuk perempuan generasi berikutnya,” tutur peraih dua medali Piala Dunia putri tersebut.

Kelak berkat buku The Kicks, film Alex and Me, ratusan sampul majalah, papan sponsor, serta iklan televisi akan ada banyak pesepakbola putri sukses di masa depan yang mengungkap jika Morgan adalah panutannya.

Komentar
BACA JUGA:  Sejarah Trofi Piala Afrika
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06