Ada banyak cara dan cerita bertemu dengan cinta pertama. Termasuk dalam kaitannya dengan klub sepak bola idolanya.
Ada yang menyaksikan sang idola dari layar kaca, atau dijejali dengan kostum klub tertentu, mengikuti minat orangtua dan lingkungan sosial, cinta pada pandangan pertama, atau yang lainnya. Ada yang langsung menemukan, dan ada yang terus mencari hingga akhirnya menemukan yang pas di hati.
Namun, ada sebuah pergeseran yang terjadi pada masa kini. Menjadi pencinta sepak bola saat ini begitu sulit. Anda harus loyal, sementara loyalitas tersebut tak mungkin begitu saja datang. Ia adalah sebuah proses pembelajaran. Belajar mengetahui apa yang menguntungkan, dan apa yang pantas dengannya.
Maka, saya sendiri tak pernah setuju jika ada seorang yang menghujat seorang yang dianggap karbitan. Karena, saya memiliki kisah perjalanan nan absurd sebelum memutuskan untuk menjadi seorang Kopites. Perjalanan yang dimulai dari mencintai satu klub ke klub lain, sebelum pada akhirnya menentukan pilihan untuk setia.
Perjalanan saya menemukan klub idola saya dimulai dari kakek saya yang memberikan kostum Juventus dengan nama Pavel Nedved di belakangnya. Saya, yang lagi gila-gilanya dengan sepak bola setelah Piala Dunia tahun 2002 itu merasa kegirangan dengan kostum yang diberikan itu.
Mau tau apa yang absurd? Pertama, saya saat itu tak tahu Pavel Nedved. Kedua, kakek saya seorang milanisti garis keras dengan kliping tentang Milan sejak era 1990-an sebagai bukti sahih.
Konon katanya, beliau membelikan kostum ini sengaja. Biar rumah, yang isinya hanya dia yang paham sepak bola itu, jadi ramai. Biar ada teman berdebat. Biar ada yang diceng-cengin kalau timnya kalah ataupun menang. Hal ini berhasil. Nyatanya saya memang kemudian begitu menggilai Juventus.
Akan tetapi, saya pada akhirnya memang tak menjadi seorang juventini sejati. Adalah Playstation, benda yang menjadi racun bocah-bocah pada masanya, yang membelokkan hati saya dan menjauhkannya dari Juventus.
Seorang teman, saat saya sedang berduel dengannya bermain permainan sepak bola, mengatakan begini pada saat itu, “coba pake MU (Manchester United) deh, hebat, ada Ryan Giggs, Beckham, sama Barthez.” Saya, yang saat itu mencoba memainkan MU di Playstation, terpukau. Nafas Giggs tak habis-habis. Beckham jago sekali mengambil tendangan bebas. Sementara Barthez, mantap sekali penyelamatannya.
Esok hari, saya berubah menjadi fans Setan Merah. Dan langsung mencari kostum replika David Beckham sebagai bukti kegilaan saya terhadap klub tersebut.
Kakek saya geleng-geleng menyaksikan apa yang terjadi dengan saya. Ia kehilangan teman untuk bercerita. Sesekali saya berteriak GGMU (Glory Glory Manchester United), sebagaimana apa yang teman saya ajarkan. Seorang kopites sempat mencintai setan merah, setara Owen kan, saya?
Akan tetapi, itu tak berlangsung lama. Cerita berulang. Kepindahan Beckham ke Real Madrid, membuat saya kemudian penasaran dengan Real Madrid. Apalagi kata seorang teman, Real Madrid, sedang membangun proyek Los Galacticos. Tim bertabur bintang yang sempurna.
“Ada Casillas, jago banget dia, setara Oliver Kahn-lah. Ada Beckham, jagoan kamu di MU itu. Ada Roberto Carlos, itu bek yang nendang pisang di Piala Dunia itu. Ada Ronaldo sama Raul, wah yang ini jangan kamu tanyain deh rif, duet maut ini.” Jelas seorang teman, menjelaskan tentang Real Madrid dengan penuh keyakinan saat bermain Playstation.
Saya terpukau. Roberto Carlos, bek lincah itu, mampu berlari dari belakang sampai ke depan. Belum lagi soal Ronaldo dan Raul yang memang benar sakti di Playstation. Lambat laun, saya pindah lagi menjadi fans Real Madrid. Dengan meminta kostum Ronaldo untuk menahbiskan diri saya sebagai fans Real Madrid.
Dan begitu pula kejadiannya saat memutuskan menjadi fans FC Internazionale Milano. Same old story, saya ikut kata teman yang mengatakan Zanetti hebat dengan Materazzi, bek yang kalau di Playstation mampu mencetak gol dari setiap sepak pojok.
Tinggal tekan kotak setelah umpan lambung, selesai semua. Apalagi saat itu, di lingkungan saya, tak banyak mengetahui rahasia ini. Sudah lengkap. Saya langsung meminta membelikan kostum Zanetti dengan angka empat itu kepada kakek saya, dengan wajah memelas.
Kakek saya jelas senang atas keputusan ini. Meski ya, lagi-lagi saya mencintai klub rival AC Milan, Inter jelas merupakan klub yang seru-lah. Seru, karena jika kalah, ia akan siap membangunkan saya sambil memutar berita pukul lima pagi yang saat itu berisi highlights pertandingan semalam andaikata saya melewatkannya. Ia tertawa sumringah, sementara tak jarang saya merasa jengkel karenanya.
Karena tak tahan diejek-ejek terus, ya sudahlah, saya pikir mungkin sebaiknya saya menjadi fans AC Milan saja. Kakek saya jelas senang atas keputusan ini. Maka ia berikan saya seperangkat lengkap. Kali ini pula spesial. Kostum yang kali ini tanpa nama, namun katanya, yang ini asli. Tak seperti yang lainnya. Kali ini saya merasa seperti Andrea Pirlo, dan Inter mungkin akan merindukan saya.
Saya jelas senang menyaksikan AC Milan saat itu. Pernah menjadi milanisti adalah salah satu momen yang menyenangkan. Andriy Shevchenko yang sedang sakti-saktinya, dengan didukung umpan cantik Andrea Pirlo dan Rui Costa serta Clarence Sheedorf, didukung tembok seperti Maldini dan Nesta, dengan Zambrotta dan Cafu di sisi kiri dan kanan, dengan sang kiper jago seperti Dida jelas memukau.
Lebih gila lagi, rajin sekali saya menonton para pasukan hitam-merah itu bermain, kapan pun. Kecintaan saya tak bergantung lagi pada Playstation. Kali ini, saya merasakan sensasi luar biasa.
Pernah saya merasa kantuk di pagi hari, dengan ibu saya yang marah-marah, akibat menyaksikan AC Milan bertanding di Liga Champions. Namun tetap saja, saya tak kapok. Saya sudah gila, dan mungkin akan selamanya setia jika tak menyaksikan sundulan ajaib Steven Gerrard saat final Istanbul 2005.
Sundulan Gerrard tersebut memang ajaib. Ia tak hanya menaikkan semangat Liverpool yang telah hilang, namun juga membuat saya tertarik menjadi kopites. Pasalnya, saya mengetahui seberapa saktinya Dida, yang didukung oleh Maldini dan Nest. Kokoh dan hanya keajaiban yang bisa mematahkannya.
Dan keajaiban tersebut menyihir saya. Saya menjadi kopites, dengan seluruh kesungguhan hati. Dan ajaibnya, tak lagi terpikir untuk berpaling ke lain hati.
Bertahun-tahun kemudian saya senang menjadi kopites. Alasan lainnya, selain gol ajaib itu, karena menjadi kopites memang terdengar keren. Saat dilingkungan saya mengatakan MU, Barcelona, Inter, AC Milan, Real Madrid, hingga Arsenal sebagai klub idolanya, saya bisa membuat semua orang heran sekaligus merasa keren dengan mengatakan Liverpool adalah klub idola saya.
Jika ditanya apa, saya akan jawab, “klub yang menang Champions itu loh,” dengan wajah penuh kebanggaan. Termasuk ke kakek saya, dan saya selalu tahu, ia menyimpan rasa jengkel saat saya mengatakan hal ini. Peduli setan soal di Playstation Liverpool tak jago-jago amat pada saat itu, namun Istanbul jelas menyihir hati saya dan memantapkan saya untuk menjadi seorang pendukung Liverpool.
Ya, meski demikian, hubungan saya dan Liverpool tak selalu menyenangkan.
Terutama setelah Athena 2007, di mana kakek saya kembali menertawakan keputusan saya menjadi kopites. Atau pun tahun 2010, saat teman-teman sejawat menertawakan saat saya memainkan Liverpool di Playstation.
Namun, mengingat telah berliku jalan yang telah dilalui, mencintai sebuah klub jelas menyenangkan bagi saya. Sensasi naik turun, suka duka, adalah sensasi yang membuat saya kian mencintai Liverpool. Cinta yang terus bersemi dari hari ke hari.