Mungkin baru kali ini saya menangisi seorang Juventino. Sebagai Interista, ini adalah anomali. Hanya tiga hari setelah perayaan Scudetto ke-19 di San Siro, Antonio Conte dan Inter Milan resmi berpisah. Tragis sekali.
Semuanya serba subjektif. Namun buat saya, rasa pedihnya melebihi kepergian Jose Mourinho ke Real Madrid satu dekade yang lalu.
Mirip dengan Antonio Conte, Jose Mourinho juga pergi begitu membawa Inter menjadi pemenang. Bedanya, lelaki Portugal itu memilih sendiri jalannya ke Madrid pada saat Il Biscione berada di puncak siklus.
Ia meneruskan siklus kemenangan yang diinisiasi Roberto Mancini sejak 2005. Mou, sapaan akrab Jose Mourinho, menutup dua musim kiprahnya di Inter dengan status Treble Winners.
Sedang Antonio Conte pergi karena terpaksa memilih jalan terminasi. Bulan madunya berakhir kala siklus kemenangan baru saja dimulai. Setelah 10 tahun nirgelar, Il Biscione dibawanya keluar dari era kegelapan.
Inter menggamit Scudetto ketika Serie A masih menyisakan empat laga. Di akhir musim, Milan Skriniar dan kawan-kawan tercatat memiliki keunggulan 12 poin dari pesaing terdekat.
Hal itu seakan memberi pesan ke tim-tim lain bahwa mereka tak hanya berhasil memutus dominasi Juventus, tetapi juga siap mendominasi Italia dalam beberapa tahun ke depan.
Antonio Conte memang datang ke Inter untuk membangun sebuah tim dengan mental pemenang.
Skuadnya mentereng, dari belakang hingga depan. Kombinasi sempurna para pemain veteran, berusia emas, dan youngster jempolan.
Romelu Lukaku yang didatangkan dari Manchester United adalah pusat proyek sang juru taktik. Ada pula Marcelo Brozovic, Christian Eriksen, dan Stefan de Vrij sebagai pemain matang siap pakai.
Mereka ditunjang darah muda semisal Lautaro Martinez, Achraf Hakimi, Nicolo Barella, hingga Alessandro Bastoni yang telah teruji kualitasnya.
Dengan kemewahan materi pemain plus soliditas yang sudah terbangun selama dua tahun, Antonio Conte dan staf sejatinya ingin bertahan lebih lama di Inter. Ia ingin melanjutkan siklus kemenangan yang telah dibuatnya sendiri.
Akan tetapi, pandemi memukul sektor keuangan Inter dengan cukup telak. Ambisi besarnya tak lagi mampu dipenuhi manajemen klub yang harus melakukan berbagai penghematan dan penyesuaian. Sedikit mirip dengan kisahnya saat pergi meninggalkan Juventus.
Selalu ambisius dan terobsesi pada kemenangan, seperti itulah Antonio Conte. Baginya kemenangan adalah harga mati. Tak heran anaknya diberi nama Vittoria yang berarti kemenangan.
Kehadirannya memang tak selalu jadi jaminan kemenangan. Kendati Atalanta, Siena, dan tim nasional Italia yang pernah dibesutnya tak memenangkan gelar apapun.
Namun Antonio Conte selalu berhasil menularkan mentalitas kemenangan ke setiap tim yang ditanganinya. Sesuatu yang telah lama hilang dari Inter.
Soal profesionalisme, dirinya juga tak main-main. Ingat, ia seorang Juventino, juga legenda hidup Juventus. Keputusannya menerima tawaran Inter bukannya tanpa risiko.
Ia dicap pengkhianat oleh Juventini. Lebih dari 15.000 fans menandatangani petisi yang meminta petinggi La Vecchia Signora untuk mencabut tanda bintang bertuliskan namanya di Walk of Fame Stadion Allianz.
Yang terparah, konon Antonio Conte sempat menerima surat ancaman pembunuhan yang membuat keluarganya memerlukan penjagaan pihak kepolisian.
Kebencian loyalis Juventus pada dirinya adalah sebuah keniscayaan. Namun tak cukup sampai disitu, ia juga mendapatkan peringatan dari ultras Inter pada masa awal kedatangannya.
Curva Nord mewanti-wanti Antonio Conte tentang arti berjuang di bawah bendera Inter. Mereka membuka surat terbukanya untuk sang pelatih dengan mengatakan bahwa, “KAMI BUKAN JUVENTUS”.
Intinya, mereka tidak bisa melupakan masa lalunya bersama La Vecchia Signora dan dengan tegas mengatakan bahwa aspek moral adalah yang utama.
Memang dasar profesional sejati. Antonio Conte pun tetap menunjukan 100 persen komitmennya di Inter.
Setahun berselang, Curva Nord justru mendukung penuh dirinya kala berkonfrontasi dengan manajemen Inter perihal minimnya perlindungan padanya dan para pemain oleh elite klub.
Kepergian sang allenatore bahkan disayangkan oleh Curva Nord. Mereka melakukan protes di depan kantor Inter pada hari penghakiman Antonio Conte. Dari sudut pandang mereka, pelatih, staf, dan skuad juara ini harusnya tak tersentuh.
Bukan tanpa alasan, karena dari segi teknis, Inter sudah telanjur solid. Set play yang dirancang Antonio Conte untuk Inter adalah yang terbaik, setidaknya di Serie A.
Taktiknya sangat Italia, mengingatkan kita pada keindahan Catenaccio yang termahsyur tetapi juga sangat menggigit kala menyerang.
Inter dibawanya Scudetto dengan gaya sepakbola yang tidak menitikberatkan pada penguasaan bola. Semakin diserang justru semakin menguntungkan. Antonio Conte memusatkan kekuatannya pada lini pertahanan dan serangan balik mematikan.
Singkat kata, Inter hampir selalu bermain bertahan, siapa pun lawannya. Tak heran kalau Il Biscione jadi tim dengan pertahanan terbaik di Serie A musim lalu.
Hebatnya, meski cenderung defensif, Inter asuhannya juga sangat produktif dalam urusan mencetak gol.
Catatan gol Inter adalah yang terbaik kedua, dengan 89 gol. Hanya terpaut satu gol dari Atalanta arahan Gian Piero Gasperini yang jadi tim paling produktif.
Memainkan sepakbola ala Antonio Conte bukan perkara gampang. Pria berusia 50 tahun itu telah memikirkan sampai detail terkecil gagasan sepakbolanya.
Meski tak sedikit nada sumbang yang mengatakan bahwa Antonio Conte adalah pelatih yang tak punya rencana B dan ide sepakbolanya membosankan.
Antonio Conte tak peduli. Selama rencana A-nya mampu membawa timnya berjaya, ia tak akan repot-repot mencari bermacam ide sepakbola yang lain.
Terkesan kaku, tetapi para pemain selalu menaruh rasa hormat setinggi-tingginya. Ia memang jago mengontrol hiruk-pikuk ruang ganti. Di Inter, nyaris tak ada kegaduhan yang berarti.
Kharismanya tak perlu diragukan. Sosoknya menjadi daya tarik sejumlah bintang. Sebelumnya, Inter dengan pelatih kelas duanya selalu kesulitan di bursa transfer.
Sejak kedatangannya, pemain high profile semisal Lukaku, Alexis Sanchez, Eriksen, Arturo Vidal, sampai Hakimi mampu digaet Inter.
Ambisi, profesionalisme, taktik, serta sosoknya yang kharismatik memang mudah membuat siapapun jatuh hati. Namun bagi saya, bagian terbaik dari sosok Antonio Conte adalah kegilaannya pada sepakbola.
Saya akan selalu mengingat caranya menikmati permainan. Ia tak akan bisa diam di pinggir lapangan.
Dirinya memang jenis pelatih yang jarang duduk. Ia berdiri, berteriak, mengumpat, dan merapal mantra sepanjang laga.
Caranya merespons gol dan kemenangan adalah hal tergila. Ia bisa berlari secepat Hakimi ke sudut lapangan, lalu melompat kegirangan diantara kerumunan pemain Inter yang sedang berpelukan.
Kini lelaki kelahiran Lecce tersebut sudah resmi masuk ke dalam buku sejarah Il Biscione. Namanya akan selalu diingat oleh Interisti dan para pemainnya.
Selain saya dan banyak Interisti lain di muka Bumi, Lukaku mungkin jadi figur yang paling merasa kehilangan. Dalam salam perpisahannya, Lukaku berujar, ia berutang banyak kepada Antonio Conte.
Dan pada akhirnya, saya harus mengucapkan terima kasih, Don Antonio. In bocca al lupo.
Hari ini saya meratapi kepergian Anda. Namun saya tetaplah seorang Interisti yang akan mendukung Inter sampai kapanpun. Mulai besok, mungkin saya akan kembali mencaci Anda, wahai Juventino pezzo di merda!