Keparat Tua

Hei, keparat tua. Sudah lama aku tidak berkunjung ke tempatmu. Jujur saja, aku masih tidak terima. Tega-teganya kau meninggalkanku lebih dulu di dunia yang membosankan ini. Tak sudi aku mendoakanmu. Cuh! Kalau saja urat maluku sudah putus, akan kukencingi kuburanmu ini.

Bah, kau ini memang benar-benar tidak tahu diuntung. Kau ingat dulu, saat kita berperang di pinggiran lereng hutan Kopeng? Jidatmu yang bau itu sudah ditempeli moncong bedil kumpeni. Aku ingat benar beberapa gigimu sudah tercecer di tanah. Semak bambu sudah merah bercampur darah dan jigongmu. Kau dicokok terkulai tak berdaya. Memalukan. Kau kalah berduel dengan seorang serdadu rendahan kumpeni.

Padahal, sehari-hari kupingku selalu kau buat panas dengan ceritamu yang itu-itu saja. Tentang keberhasilanmu meringkus beberapa rompak laut di kampungmu, sampai ketika kau diajak bergabung dengan BKR. Omong kosong. Kalau saja aku tidak datang dan menusuk leher serdadu bangsat itu dengan bayonet di ujung bedilku, pasti isi kepalamu itu sudah jadi hiasan semak bambu. Nafasmu cuma berjarak satu tarikan telunjuk, bangsat!

Tapi ah, apa gunanya aku mengulang cerita itu lagi. Toh sekarang kau sudah jadi makanan belatung.

Hei, keparat tua. Sekalinya kau mampus, masih saja kau merepotkanku. Kau biarkan aku mengasuh sekolah sepak bolamu ini sendirian. Aku tak sanggup mengurusi anak-anak kampung udik itu sendiri. Kalau bukan karena pesanmu sebelum kau mampus, aku takkan rela menghabiskan masa tuaku mengajari anak-anak bengal itu soal disiplin.

Aku ingat perkataanmu saat aku bertanya mengapa kau malah menghabiskan uangmu untuk mendirikan sekolah sepak bola. Kau bilang tidak ada kejayaan dalam perang dan belum ada kejayaan dalam kemerdekaan, tapi selalu ada kebahagiaan dan kejayaan dalam sepak bola. Biarlah anak-anak miskin itu bisa menikmati kebahagiaan dan kejayaan, meskipun hanya kebahagiaan dan kejayaan murahan. Halah, lagak bicaramu itu seperti orang pintaran saja. Padahal sekolah rakyat-pun kau tak tuntas.

BACA JUGA:  Merah di Hijau

Tapi harus kuakui, kau punya pemikiran yang cukup boleh untuk ukuran keparat tua tak berpendidikan.

Ah, aku jadi ingat maksudku mengunjungi kuburanmu ini. Aku ingin mengabarimu satu berita. Semoga kau belum sempat mendengarnya karena terlalu sibuk bermain ceki di ujung neraka sana. Kau tentu ingat si anak nelayan. Yang kakinya penuh koreng saat pertama kali datang ke sekolahmu, merengek ingin ikut bermain sepak bola. Yang pernah kau tempeleng habis-habisan karena kedapatan menghisap tembakau selepas latihan. Hahaha, padahal kaupun mampus juga karena tidak bisa berhenti menghisap tembakau. Anak nelayan yang lincah larinya seperti anjing hutan. Salah satu anak udik kebanggaanmu.

Kau tahu, beberapa tahun setelah kematianmu, si anak nelayan ditarik klub kota untuk bermain. Prestasinya lumayan baik. Ia jadi idola di kampung nelayan. Belum genap dua tahun bermain di sana, si anak nelayan sudah ditarik timnas muda. Kau bisa bayangkan, anak nelayan miskin bau koreng yang dulu dekil kerempeng itu kini tubuhnya tidak berbeda jauh dengan serdadu kumpeni yang hampir menghabisimu dulu. Gagah, tinggi, besar. Entah diberi makan apa ia di sana, kini larinya makin lincah. Tendangannya juga makin kuat. Siapa yang sangka si anak nelayan dari kampung ini berhasil mencetak dua gol ke gawang Jepang, mengantarkan republik ini jadi jawara Asia.

Sekarang, si anak nelayan bukan hanya jadi idola di kampungnya. Ia dipuja seantero republik ini. Ternyata benar juga prediksimu, keparat tua. Si anak nelayan benar-benar menjadi pemain besar.

Setelah si anak nelayan itu terkenal, sekolahmu kini jadi ramai dikunjungi orang-orang. Banyak wartawan mengorek-orek latar belakang kita. Banyak kamera, banyak sekali tanya-tanya. Aku tidak terbiasa dengan itu. Aku sudah cukup dibuat repot mengurusi anak-anak udik itu, sekarang juga harus mengurusi mereka semua. Bahkan ada beberapa orang tua yang datang jauh-jauh dari kota untuk mendaftarkan anak mereka di sekolahmu ini. Kau tahu sendiri, orang kota banyak maunya.

BACA JUGA:  Elang dan Elang

Banyak bantuan yang datang ke sekolahmu setelahnya. Uang, bola, sepatu, pakaian, meja, kursi, bahan bangunan, dan banyak lagi. Kebanyakan dari pemerintah. Tapi jujur saja, dalam hati aku ogah menerimanya. Aku ogah dikasihani. Aku sudah terlalu lama hidup susah. Sudah terbiasa dan terlatih. Orang kampung generasi kita ini dilahirkan ke dunia seolah-olah memang dipersiapkan untuk menghadapi neraka. Belatung bisa saja kumakan kalau memang sudah tak ada akar. Aku ingin bilang pada mereka, urusi saja politik busuk kalian. Urusi saja rakyatmu yang terlalu sibuk membenci. Urusi saja mereka yang masih bodoh-bodoh. Apa kalian belum kapok 300 tahun dijajah karena kalah cerdas dengan bangsa lain?

Ah, tapi tenang saja kau keparat tua. Tentu saja aku tidak punya hak untuk menolak dan mengatakan itu semua. Toh, sekolah itu milikmu. Aku hanya kebagian sial mengurusinya selepas kau mampus.

Keparat tua, beberapa hari yang lalu si anak nelayan datang ke sekolahmu. Ia memberi motivasi kepada anak-anak kampung yang lain. Lumayanlah, anak-anak jadi bertambah semangatnya. Aku cukup lega, ternyata ia masih seperti anak nelayan yang kita kenal dulu. Sederhana dan rendah hati. Si anak nelayan juga bercerita banyak hal kepadaku. Kebanyakan tentang sepak bola. Sedikit tentang keluarga dan asmaranya. Di ujung pembicaraan, ia bertanya kepadaku, seandainya kau masih hidup, apakah kau akan bangga padanya?

Dasar anak kampung. Sudah menjadi pemain besar pun ketololannya belum hilang juga. Keparat tua, jujur aku tidak pernah menangisi kematianmu sampai mendengar pertanyaan tolol itu. Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya dirimu jika melihat si anak nelayan kini.***

 

Komentar