Dilansir melalui laman resmi klub, Chelsea akhirnya resmi memecat Frank Lampard dari kursi pelatih per 25 Januari 2020. Walau sejatinya punya kontrak berdurasi tiga musim, pria yang juga legenda hidup The Blues itu hanya menghabiskan waktu 18 bulan menangani bekas klubnya.
Chelsea Football Club has today parted company with Head Coach Frank Lampard.
— Chelsea FC (@ChelseaFC) January 25, 2021
Performa jeblok Mason Mount dan kawan-kawan selama kurang lebih dua bulan terakhir disinyalir sebagai penyebab kecewanya Roman Abramovich, pemilik Chelsea. Sang milyuner asal Rusia itu tak tahan melihat timnya terjerembab di papan tengah dan tak kunjung memperlihatkan perbaikan.
Ogah melihat tim yang dimilikinya kian terpuruk, surat pemecatan pun segera ia layangkan kepada Lampard walau sehari sebelumnya sang pelatih berhasil membawa The Blues lolos ke babak kelima Piala FA usai menumbangkan Luton Town dengan skor 3-1.
Dalam kurun beberapa tahun pamungkas, makin banyak mantan pesepakbola yang menekuni dunia kepelatihan. Menariknya, pada awal karier mereka sebagai juru taktik, banyak yang langsung didapuk sebagai pelatih oleh bekas klubnya.
Selain Lampard, nama lain yang menjalani kisah serupa adalah Mikel Arteta di Arsenal, Pep Guardiola di Barcelona, Andrea Pirlo di Juventus, Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United, hingga Zinedine Zidane di Real Madrid. Patut diingat bahwa klub-klub tersebut bukanlah kesebelasan sembarangan, tetapi pihak manajemen berani mengambil risiko dengan mempercayai eks penggawanya meski minim pengalaman.
Entah memang yakin dengan kemampuan sang pelatih muda atau semuanya lebih mengarah pada perjudian yang kental dengan aroma romansa masa lalu, tetapi perjalanan melatih mantan klub selalu menghadirkan cerita tersendiri.
Semenjak menangani Arsenal, Arteta memang sukses mengantar The Gunners menjuarai Piala FA pada musim 2019/2020. Kendati demikian, manajer asal Spanyol itu tak pernah luput dari kritik lantaran penampilan Bernd Leno dan kawan-kawan yang inkonsisten. Pada awal musim ini, tanda pagar #ArtetaOut begitu sering menghiasi lini masa media sosial.
Beruntung, di tengah langkah yang tertatih, manajemen Arsenal masih menaruh kepercayaan tinggi kepada pria berumur 38 tahun tersebut dan mempertahankannya sebagai nakhoda.
Nasib tak berbeda jauh dialami Solskjaer di kota Manchester. Semenjak kedatangannya, pendukung The Red Devils seakan terbelah dua. Ada yang mendukung, ada pula yang resisten.
Awalnya, kubu resisten ada di atas angin sebab penampilan Bruno Fernandes dan kolega selama diasuh pria Norwegia tersebut senantiasa naik dan turun. Bagus di satu laga, amburadul di laga-laga berikutnya seolah jadi ciri khas United yang baru.
Akan tetapi, Solskjaer berhasil membuktikan bahwa ia dapat mengantar timnya jadi lebih baik selama diberi kesempatan. Kendati belum mampu meraih gelar, setidaknya United kini sanggup bersaing di papan atas.
Senada dengan rekan-rekannya yang lain, kedatangan Pirlo sebagai pengganti Maurizio Sarri sempat dipandang sebelah mata. Pasalnya, Pirlo tak punya rekam jejak menangani klub profesional sebelum mengisi pos pelatih Juventus.
Namun manajemen bersikeras bahwa dirinya adalah figur yang tepat dalam membangun fondasi anyar kejayaan I Bianconeri. Kritik selalu diterima sang allenatore. Terlebih, aksi-aksi Paulo Dybala beserta rekan setimnya kerap tak meyakinkan. Mujur, raihan trofi Piala Super Italia beberapa waktu lalu menjadi pembuktian Pirlo jika kemampuannya memang mumpuni untuk menjadi pelatih Juventus.
Kisah lebih indah jelas ditorehkan Guardiola bersama Barcelona atau Zidane dengan Madrid. Pengalaman minim tak mempengaruhi magis keduanya buat mendulang prestasi bersama eks timnya. Ya, Barcelona arahan Guardiola dan Madrid besutan Zidane memang tim yang solid serta rajin menggamit trofi. Sejumlah pihak bahkan berani mengklaim jika tim mereka adalah yang terbaik di masanya.
Bicara tentang eks pemain yang menangani mantan timnya memang tak melulu perihal kisah gilang gemilang. Selain Lampard yang kini dipaksa menganggur oleh Chelsea, ada banyak cerita lain yang sama persis dan menimpa para eks pesepakbola yang beralih jadi pelatih.
Misalnya saja Thierry Henry saat menukangi AS Monaco beberapa musim silam. Dipercaya mampu membawa angin perubahan ke tubuh Monaco usai menggantikan Leonardo Jardim, Henry justru gagal. Dari 20 laga yang dilakoninya, Les Monegasques cuma memenangkan lima di antaranya!
Alih-alih bangkit, Monaco malah kian terperosok. Manajemen pun terpaksa menjilat ludah dengan menarik kembali Jardim sebagai pelatih untuk menggantikan Henry.
Pada musim panas 2014, Filippo Inzaghi dilantik AC Milan buat menangani tim senior usai berkiprah sebagai juru taktik bareng tim junior. Keputusan ini sempat menimbulkan perdebatan di kalangan Milanisti karena pengalaman Inzaghi yang minim walau memanggul status legenda hidup I Rossoneri.
Benar saja, penampilan Milan di bawah arahan Inzaghi begitu inkonsisten sehingga kerap melahirkan kekecewaan. Pada akhir musim, I Rossoneri cuma finis di peringkat sepuluh Serie A. Akibatnya, Inzaghi dilengserkan dari jabatannya.
Tatkala Alfio Basile mengundurkan diri sebagai pelatih tim nasional Argentina pada 2008, federasi sepakbola Negeri Tango lantas menunjuk Diego Maradona sebagai pengganti. Sang ikon memang berhasil membawa Lionel Messi dan kawan-kawan lolos ke Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Namun rapor mereka sepanjang babak kualifikasi tidak begitu elok.
Maradona yang dahulu begitu fantastis saat bermain, nyatanya biasa-biasa saja kala duduk sebagai pelatih. Argentina besutannya rontok pada babak perempatfinal usai digulung Jerman dengan skor telak 0-4. Situasi tersebut memaksa federasi untuk tak melanjutkan kerja sama dengan lelaki yang wafat pada 25 November 2020 lalu itu.
Menjadi pelatih memang bukan perkara mudah bagi para pesepakbola yang sudah gantung sepatu. Ada banyak perbedaan antara status pemain dan pelatih yang malah bikin mereka susah bersinar kala mengemban status yang disebut belakangan.
Kenyataan itu jadi kian rumit manakala ia dipercaya menangani bekas klub atau negaranya dahulu. Diakui atau tidak, tekanan yang dihadapinya jadi semakin besar. Layaknya hukum alam, ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Hal itulah yang membedakan Guardiola dan Zidane dengan Henry serta Inzaghi kala membesut bekas timnya kala bermain dahulu.
Kita sendiri tak bisa menjamin bahwa Arteta maupun Solskjaer akan bertahan lama di posisinya saat ini. Dinamika yang terjadi dalam kancah sepakbola seringkali tak menentu. Semua tergantung pada hasil yang dicapai keduanya musim ini. Keduanya bisa mengikuti jejak Guardiola di Barcelona atau sebaliknya, menyusul Lampard yang dipecat Chelsea.