“Kadang-kadang kau pikir
Lebih baik mencintai semua orang
Daripada kehilangan satu orang
Jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh inti jantungmu
Mereka yang datang hanya akan bertemu dengan kemungkinan-kemungkinan”
Saya membayangkan puisi “Pukul Empat Pagi” ini mengalir di kepalanya tiap kali ia mencetak gol. Ia seseorang yang dipandang buruk. Seorang yang mungkin akan selamanya menjadi musuh masyarakat Ghana akibat menghalau bola saat nyaris masuk gawang Uruguay di Piala Dunia 2010.
Seorang yang disebut Patrice Evra sebagai seorang yang rasis. Bahkan, Evra sampai sebegitu bangganya atas kemenangannya di Old Trafford dan sengaja berselebrasi di depannya. Salah satu derby yang terpanas. Seorang yang sempat mengagetkan dunia karena pada 2014, ia bertingkah di luar kewajaran: mengigit bahu Giorgio Chiellini.
Terlepas dari kisah-kisah buruk tersebut, ia akan selalu mencium nadi dan tiga jarinya setelah mencetak gol. Selalu, dengan diwarnai wajah jengkel dari tim lawan. Ia selalu mencium nadinya, yang ia sengaja beri tato “Sofia”. Lalu dengan selebrasi khasnya, ia mencium ibu jari, telunjuk, dan jari manis.
Tiga jari tersebut melambangkan tiga cinta yang paling membuatnya bahagia: Sofia Balbi, dan dua anak mereka – Benjamin dan Delfina. Sementara penonton mungkin kesal, ia selalu berusaha menunjukkan bahwa ia mencintai Sofia dengan seluruh nyawanya.
Jika narasi ini berlebihan, maka Anda patut mengetahui fakta ini: Luis Suarez tak pernah mencintai perempuan lain selain Sofia dalam hidupnya. Sebagaimana dilansir di Liverpool Echo, Sofia adalah cinta pada pandangan pertama sekaligus cinta terakhirnya. Usianya 15 tahun saat bertemu dengan Sofia, yang berusia 13 tahun saat itu.
Suarez sudah meninggalkan rumahnya ketika berusia 12 tahun untuk bergabung bersama akademi Nacional. Wilson Pirez, scout yang bekerja untuk Nacional menggambarkan situasi Suarez saat itu: “Life was difficult for him, He wasn’t quite ready mentally to be a footballer. But that tough childhood made him so hungry for success.”
Perkembangan sepak bolanya tidak maksimal dan ia sendiri mengakuinya. Suarez mengakui secaca jujur bahwa dirinya memang tak pernah cukup baik. Merantau di usia sangat muda jelas membuat hidupnya kacau balau. Ia, yang masih sekolah, mengabaikan sekolahnya. Tak sepenuhnya berdedikasi kepada sepak bola.
Pula diperparah dengan teman-teman yang justru memberi pengaruh buruk kepadanya. Meski sering disebut memiliki kemampuan, ia sendiri mengakui bahwa ia tak pernah yakin kepada dirinya sendiri.
Kehidupan jalanan memang keras. Namun, Sofia melihat kelembutan hati. Sofia adalah seorang yang mampu meyakinkan Luis Suarez bahwa ia seorang yang memiliki kemampuan olah bola yang luar biasa.
Hidupnya mulai berubah. Ia yang tak pernah tahu apa yang ia ingin dalam hidupnya, kini tahu apa yang ia cari: ia ingin hidup bahagia bersama Sofia. Namun, hidup jelas tak semudah itu. Tak lama hubungan mereka berjalan, Sofia harus pindah ke Barcelona.
Sementara itu di Uruguay, Suarez membantu Nacional memenangi liga. Sayangnya, prestasi tersebut tak terasa lengkap. Keputusan Sofia hijrah demi studi mengacaukan pikiran Suarez.
Ia tak bisa menahan perasaan untuk bertemu sang kekasih. Atas alasan itu, Suarez menerima pinangan FC Groningen di Eredivisie – klub Eropa pertamanya – pada usia 19 tahun. Alasannya hanya demi untuk bersama Sofia.
Kepindahan tersebut memang menyelesaikan urusan perasaannya, tapi tidak dengan performanya. Ron Jahn, manajer Groningen saat itu, mengatakan Suarez adalah seorang yang tak sabaran. Ia ingin langsung menjadi pemain inti, meskipun performanya sendiri sangat kacau karena sulit beradaptasi.
Namun, Suarez memang selalu bekerja keras. Untung, setelah sekian lama menanti, Suarez dan Sofia akhirnya bisa hidup bersama. Pada tahun 2007, Sofia menyusul Suarez ke Belanda. Lalu, semua terasa lebih mudah baginya.
Pada musim 2006-2007, Suarez langsung melesakkan 15 gol. Musim setelahnya, ia pindah ke Ajax dengan nilai transfer 7,5 juta Poundsterling. Ia berperan sebagai pemain yang mendukung Klaas-Jan Huntelaar sebagai striker utama.
Meski bukan striker utama, golnya di Ajax justru meningkat. Tercatat Suarez mencetak 22 gol di musim pertamanya bersama Ajax. Ketajaman dan konsistensinya membuat Liverpool tertarik. Mahar 16 juta Poundtserling membawa Suarez ke Liga Inggris.
Jangan lagi ditanya soal ketajaman Suarez bersama Liverpool. Ia memainkan peran penting di bawah asuhan Brendan Rodgers sebelum akhirnya pindah ke Barcelona.
Sebanyak 30 gol lebih sejak musim 2012/2013 jelas menggambarkan performanya yang sensasional. Cibiran seperti “Suarez FC” adalah bukti performanya sendiri. Prestasi tersebut memang menjadikannya spotlight di musim-musimnya bersama Liverpool. Ia sangat ingin menang, dan lagi, ia ingin membuat Sofia bangga.
Bersama Barcelona ia sempurna. Segalanya kini ia punya: ia bisa memiliki hidup bahagia dengan perempuan yang ia cintai. Barcelona beruntung memiliki Suarez.
Suarez yang akan selalu mengajarkan cerita tentang kegigihan hati, kerja keras, dan ya, percaya bahwa cintanya pada Sofia bisa menjadikannya seperti seorang yang dikenang oleh berbagai klub yang ia bela.
Karena sepatutnya, cinta memang seperti itu: membuatmu menjadi seorang yang, bahkan kamu sendiri pun, bangga terhadap dirimu sendiri.