Matthijs de Ligt, Jenderal Anyar di Lini Belakang Juventus

Pada tahun 2017 silam, Matthijs de Ligt melakoni debutnya bareng tim nasional Belanda saat bersua Bulgaria dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2018.

Debutnya berujung kekalahan 0-2, tetapi de Ligt tetap mencatat rekor sebagai pemain termuda (17 tahun) sepanjang sejarah Negeri Kincir Angin yang beraksi untuk timnas sejak 1931.

Selama ini, Belanda dikenal sebagai produsen pemain tengah dan depan yang eksepsional dari masa ke masa. Nama-nama seperti Dennis Bergkamp, Johan Cruyff, Piet Keizer, Ruud van Nistelrooy, Arjen Robben, dan Wesley Sneijder merupakan contohnya.

Akan tetapi, presensi de Ligt dan melesatnya Virgil van Dijk sebagai bek tengah kelas wahid kian mengubah persepsi di atas.

Terlebih di masa lalu Belanda juga menelurkan nama-nama seperti Frank de Boer, Ronald Koeman, Ruud Krol, sampai Jaap Stam.

De Ligt lahir pada tanggal 12 Agustus 1999 di Leiderdorp. Pemuda yang kini berumur 21 tahun tersebut merupakan salah satu pemain binaan akademi Ajax Amsterdam, De Toekomst, yang bisa dibilang menjanjikan permainannya. Sedari merumput bersama tim utama Ajax, de Ligt sudah menyita perhatian.

Permainannya tergolong apik untuk posisi yang sering beroleh caci maki bila timnya kebobolan. Namun melihat kepercayaan yang didapatkannya di Ajax pada usia yang amat belia, potensi menjadi pesepakbola adiluhung memang ada pada dirinya.

Puncak kepercayaan pelatih De Godenzonen, Erik Ten Hag, ditunjukkan via pemberian ban kapten kepadanya sejak musim 2018/2019 silam.

Ia dianggap memiliki jiwa kepemimpinan sejak masih memperkuat tim muda Ajax. Di luar skill-nya yang mumpuni sebagai pemain belakang, itulah nilai plus yang dimiliki oleh sosok berambut pirang ini.

Bersama Ajax, de Ligt sukses merengkuh gelar Eredivisie dan Piala KNVB pada musim perdananya berstatus kapten.

BACA JUGA:  Oriundo Pesanan Mussolini

Ia bahkan nyaris mengantar timnya menjejak final Liga Champions untuk kali pertama sejak 1995 andai tak terkena comeback Tottenham Hotspur di semifinal.

Menjulangnya prestasi de Ligt bersama Ajax diikuti dengan catatan apik tak kebobolan di 25 laga dari total 55 pertandingan yang ia mainkan. Sederhananya, keberadaannya di lapangan memiliki dampak signifikan bagi kekokohan sektor belakang De Godenzonen.

Hal itulah yang kemudian membuat klub-klub mapan Eropa ingin mengamankan jasa pemilik 23 penampilan bareng timnas Belanda itu.

Dua kesebelasan yang paling bernapsu mendapatkannya adalah Juventus dan Manchester United. Kubu pertama akhirnya memenangkan perburuan.

Tak main-main, biaya sebesar 85,5 juta Euro (sudah termasuk biaya tambahan) mesti dibayarkan manajemen I Bianconeri kepada Ajax guna membawa de Ligt ke Italia.

Layaknya pembelian berharga mahal lainnya, Juventus mencicil pembayaran transfer de Ligt sebanyak lima kali.

Perbedaan kultur sepakbola Belanda dan Italia diakuinya jadi salah satu hal yang wajib ia pelajari.

Siapapun tahu, tim-tim Negeri Spaghetti memiliki kecenderungan bermain sangat rapat dan dalam sehingga lawan tak mudah menembus lini pertahanan.

Jika di Belanda ia mendapat kebebasan untuk ikut menginisiasi serangan, lain halnya di Italia.

Kemampuan de Ligt membangun serangan sudah pasti dimanfaatkan pelatih, tetapi tidak seratus persen diimplementasikan secara terbuka di lapangan.

“Tentu ada kesamaan maupun perbedaan (gaya bermain). Filosofi bermain seorang pelatih Italia selalu berbeda dengan pelatih Belanda. Saya harus belajar sebanyak mungkin agar kemampuan saya berguna untuk tim”, ungkap pemain berpostur 189 sentimeter ini seperti dilansir blackwhitereadallover.

Walau berposisi sebagai bek tengah, kekasih Annekee Molenaar tersebut justru mengidolakan pemain yang berposisi sebagai gelandang.

Penggawa Spanyol, Sergio Busquets dan pelatih Juventus saat ini, Andrea Pirlo, adalah sosok yang ia maksud.

BACA JUGA:  Optimisme Italia di Piala Eropa 2020

De Ligt menerangkan bahwa kekagumannya kepada dua sosok tersebut lantaran saat berusia 15 tahun, ia lebih sering dimainkan sebagai gelandang.

Bermain di pos nomor enam bikin ia mencari role model dan Busquets serta Pirlo merupakan pesepakbola yang sangat hebat saat berperan sebagai gelandang nomor enam.

Di Juventus saat ini, ia menjadi andalan. Pemain bernomor punggung 4 ini seringkali diturunkan sebagai penggawa inti, baik berduet dengan Leonardo Bonucci, Giorgio Chiellini, maupun Merih Demiral.

Khusus dari dua nama pertama, de Ligt bisa belajar menjadi tembok kokoh di lini pertahanan sekaligus mendalami seni bermain khas bek-bek Italia yang terkenal liat dan licik.

Lebih jauh, seiring menuanya duo Bonucci-Chiellini, de Ligt bersama Demiral diapungkan sebagai pilar lini belakang masa depan I Bianconeri untuk merebut trofi-trofi prestisius.

Menengok performa de Ligt dan Demiral sejauh ini, Juventus memang sudah memiliki tandem menjanjikan di lini belakang untuk beberapa tahun mendatang.

Komentar
Penggemar Manchester United dan Bayern Munchen yang hobinya menulis dan membaca ini bisa ditemui di akun Twitter @mtorieqa.