Memperbincangkan Logo Klub Sepak Bola dan Identitas Kota

Perhelatan Piala Kemerdekaan, selain menjadi perayaan sepak bola yang lama membeku, juga mengetengahkan wacana perbincangan tentang beragam ranah, di antaranya adalah tentang logo klub sepak bola. Di beberapa akun media sosial, terutama twitter muncul dialog tentang logo klub Persebo Bondowoso. Logo klub dari Jawa Timur ini disebut mirip dengan logo klub Inter Milan dan Barcelona.

Logo klub adalah identitas bagi klub yang berartikulasi dalam beragam wacana. Pertama, dalam perspektif manajemen pemasaran, logo klub adalah merek (brand) yang menjadi nilai jual klub kepada sponsor. Kedua, dalam perspektif semiotika, logo klub adalah sistem penandaan yang membedakan klub yang memiliki logo tersebut dengan klub lainnya. Mengikuti cara berfikir Roland Barthes, pemikir utama semiotika, pada penandaan tahap pertama (primary signification) logo klub berfungsi sebagai tanda (sign) bagi klub. Pada penandaan tahap kedua (secondary signification), logo klub bisa berartikulasi sebagai mitos yang dibanggakan, dirayakan dan bahkan disakralkan oleh fans klub. Dengan demikian logo klub memiliki makna penting bagi klub dalam konteks manajemen sekaligus penting bagi fans untuk mengartikulasikan fanatismenya pada klub.

Di Indonesia, klub-klub dari era Perserikatan umumnya menggunakan logo klub yang identik dengan logo pemerintah daerah (pemda), serempak juga melekat sebagai identitas kota. Logo Persebaya, Persib, Persija dan klub eks Perserikatan lainnya sangat identik dengan logo pemerintah kota di mana klub tersebut berada. Mengikuti semiotika yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure, fenomena keterikatan ini bisa dilihat sebagai tanda yang terikat oleh struktur, yang kemudian dikenal sebagai strukturalisme.

Struktur itu adalah relasi antara langue dan parole, di mana langue adalah penggunaan tanda bahasa secara publik, sedangkan parole adalah penggunaan tanda bahasa secara individu. Saat berbahasa, kita bebas memilih tanda bahasa namun kebebasan itu terikat oleh struktur yang sudah dianggap baku. Sebagai ilustasi, bermain catur. Bidak catur kuda bebas kita gerakan (parole), sepanjang geraknya huruf ā€œLā€. Demikian pula strukturalisme dalam logo klub Perserikatan. Ambilah contoh Persebaya (1927) yang berganti logo, namun tetap tidak menghilangkan visual tugu pahlawan, buaya dan ikan. Bayangkan jika ketiga visual itu hilang, tentu akan terasa aneh.

Logo klub yang identik dengan logo kota maupun identitas kota, bisa dilihat sebagai peluang bagi pengembangan kota sebagai sebuah merek.

Klub era Galatama, yang tidak banyak terikat dengan birokrasi dengan pemerintah daerah, mulai berani menampilkan logo yang tidak lagi terikat dengan pola umum klub Perserikatan. Arema Malang memilih singa untuk logonya, karena didirikan pada bulan Agustus yang berasi Leo (singa). Logika sistem penandaan dalam strukturalisme kembali bisa ditemukan di sini. Bayangkan jika Arema menggunakan binatang lain, tentu akan jadi aneh. Logo Arema pun berartikulasi sebagai identitas baru bagi kota Malang.

Logo klub yang identik dengan logo kota maupun logo klub yang telah menjadi identitas kota, bisa dilihat sebagai peluang bagi pengembangan kota sebagai sebuah merek. Sayangnya, selama ini peluang ini belum terkelola dengan baik. Manajemen klub masih banyak yang abai mengelola merek klub dan pemerintah kota juga lepas tangan karena merasa tidak lagi berwenang mengurusi sepak bola profesional. Walaupun sebenarnya justru anak muda para fans klub lokal sebenarnya telah bergerak mem-branding kota melalui logo klub. Mereka mendirikan distro yang menjual pernak-pernik klub, baik distro dalam bentuk fisik maupun distro 2.0 yang berbasis internet.

Jika anda ke Surabaya dan butuh oleh-oleh yang tahan lama, maka pernak-pernik berlogo Persebaya bisa menjadi pilihan. Demikian pula jika anda ke Jakarta, Bandung dan Malang. Pernak-pernik berlogo Persija, Persib dan Arema dari masing-masing kota bisa menjadi buah tangan.

Dengan demikian, logo sepak bola seharusnya tidak asal comot dari logo klub-klub asing yang sudah sangat populer. Alih-alih mengesankan globalisasi, mimikri terhadap logo klub sepak bola asing justru akan menggelikan.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.