Liga Primer Inggris musim 2020/2021 sudah berjalan lima pekan. Secara mengejutkan, puncak klasemen diduduki oleh tim asuhan Carlo Ancelotti, Everton. The Toffees mengoleksi 13 poin dari hasil empat kemenangan dan sekali imbang. Ada cukup banyak alasan yang dikemukakan sebagai faktor kunci bagusnya penampilan Everton sejauh ini dan salah satu yang paling krusial tentu presensi Dominic Calvert-Lewin.
Nama pemuda berusia 23 tahun ini naik daun lantaran produktivitasnya sebagai mesin gol. Silakan tengok di mana Calvert-Lewin berada dalam daftar pencetak gol terbanyak sejauh ini. Per 17 Oktober 2020, ia menempati posisi puncak dengan gelontoran 7 gol. Hebatnya, semua gol itu dibukukannya dalam rentang lima laga saja.
Untuk sementara, Calvert-Lewin mengungguli sosok-sosok tenar lainnya seperti Mohamed Salah (Liverpool), Son Heung-min (Tottenham Hotspur), dan Jamie Vardy (Leicester City). Alhasil, nama Calvert-Lewin semakin sering dibicarakan publik. Buat para manajer game Fantasy Premier League (FPL), dirinya jadi salah satu idola anyar pendulang poin.
Bila dibandingkan dengan striker-striker lain yang beredar di Liga Primer Inggris seperti Pierre-Emerick Aubameyang (Arsenal), Sergio Aguero (Manchester City), Harry Kane (Tottenham), sampai Timo Werner (Chelsea), Calvert0-Lewin hanyalah anak kemarin sore. Tak heran kalau publik masih menganggapnya sebagai penyerang medioker.
Berdasarkan statistik, semenjak berkiprah di Liga Primer Inggris pada musim 2016/2017 silam, jumlah gol terbanyak Calvert-Lewin dalam satu musim menyentuh angka 13 buah yang lahir pada musim 2019/2020 lalu. Sebelumnya, keran gol pemuda kelahiran Sheffield itu tak pernah lebih dari dua digit.
Lebih dari itu, kemampuannya sebagai juru gedor dinilai tak kelewat spesial. Pasalnya, Calvert-Lewin adalah pemain yang bertipe poacher dan tak banyak terlibat aktif dalam permainan. Namun di mata Ancelotti, hal itu bukanlah kekurangan. Sang pelatih justru merasa bahwa kemampuan Calvert-Lewin dapat ia maksimalkan guna mendatangkan hasil-hasil bagus untuk Everton yang selama ini juga lekat dengan label medioker.
Apa yang dipamerkan Calvert-Lewin sekarang merupakan lanjutan dari performa apiknya di musim lalu. Bimbingan Ancelotti membuat sang pemain mengerti cara memaksimalkan kelebihannya supaya tampil baik dan dapat membantu The Toffees.
Oleh Ancelotti, Calvert-Lewin diminta fokus beroperasi di area pertahanan lawan dan berdiri dekat dengan para bek tengah. Ia hanya perlu mencari ruang dan memosisikan dirinya secara tepat pada fase ofensif The Toffees untuk mengeksekusi peluang yang dirancang oleh rekan setimnya.
Gaya mainnya ini membuat penggawa bernomor punggung 9 itu dibandingkan dengan striker legendaris Italia yang pernah diasuh Ancelotti, Filippo Inzaghi. Seperti yang kita tahu, Inzaghi bukan tipe striker yang punya kemampuan teknis paripurna. Namun ia selalu tahu bagaimana cara mengelabui lawan, harus bergerak ke arah mana agar beroleh ruang yang bebas dan melakukan apa saat bola dijamah kepala atau kakinya. Bedanya, Calvert-Lewin punya bangun tubuh yang lebih kekar daripada Inzaghi.
Jangan kaget bila gol-gol Calvert-Lewin selama ini tergolong sederhana. Terbaru, saat tampil membela Everton dalam Derbi Merseyside kontra Liverpool kemarin (17/10), ia mencetak gol sundulan buat menyamakan skor menjadi 2-2.
Di situ, Calvert-Lewin hanya berlari menuju arah gawang sembari bersiap menerima umpan silang dari Lucas Digne. Tatkala umpan dilepaskan, sang penyerang melompat lebih tinggi dari sepasang bek The Reds yang mengawalnya guna menggetarkan jala Adrian.
What a goal by Calvert Lewin! pic.twitter.com/sRgUWEiZii
— Mahnoor. (@themadridiista) October 17, 2020
Keruntuhan Everton
Sebelum Liga Primer Inggris diperkenalkan pada awal 1990-an, Everton merupakan salah satu kesebelasan top di Negeri Tiga Singa. Mereka punya masing-masing sembilan gelar Liga Inggris dan Charity/Community Shield, lima buah Piala FA, dan satu titel Piala Winners. Silverwares tersebut berjejer rapi di lemari trofi Stadion Goodison Park. Mereka juga pernah diperkuat bintang-bintang sepakbola legendaris semisal Alan Ball, Gary Lineker, Kevin Ratcliffe, Graeme Sharp, dan Neville Southall.
Sayangnya, kegemilangan Everton musnah di era Liga Primer Inggris. Modernisasi industri sepakbola yang mulai tampak, gagal mereka ikuti secara benar. Akibatnya, performa The Toffees menukik tajam. Alih-alih bersaing di jalur juara atau jadi langganan mentas di kejuaraan antarklub Eropa, Everton malah keteteran dengan berkutat di papan tengah dan bahkan mati-matian buat lolos dari zona degradasi. Terakhir kali mereka masuk jajaran empat besar adalah musim 2004/2005 silam. Kala itu, mereka ditangani oleh David Moyes dan punya Mikel Arteta, Tim Cahill, Alan Stubbs, dan Richard Wright, di dalam skuadnya.
Penurunan performa Everton bikin mereka tak lagi diperhitungkan. Sang tetangga, Liverpool, bahkan acap mengolok-olok mereka lantaran prestasi yang semakin jomplang. Bisa dibayangkan bukan bagaimana lesunya suporter Everton ketika fans Liverpool membandingkan gelar dan pemain berkelas yang datang ke masing-masing kubu dalam kurun dua dekade pamungkas? Ibarat permainan catur, The Toffees kena skakmat oleh The Reds.
Usai lama berkutat dengan kesemenjanaan, secercah harapan muncul di Stadion Goodison Park. Berawal dari akuisisi pengusaha berdarah Iran, Farhad Moshiri, The Toffees perlahan-lahan berbenah, memperkuat armada tempurnya dan menunjuk pelatih berkelas. Tak cukup sampai di situ, mereka juga ingin membangun stadion baru yang lebih modern dan representatif.
Seperti Manchester City yang bikin Manchester United kepanasan gara-gara metamorfosis yang mereka lakukan, seperti itu pulalah Moshiri membangun Everton agar sanggup menyaingi Liverpool. Investasi yang sudah menelan biaya ratusan juta Poundsterling memang sudah seharusnya memunculkan hasil mumpuni.
Menyudahi Era Medioker
Walau didatangkan sebelum Moshiri menguasai klub, tetapi ada kepercayaan besar bahwa Calvert-Lewin merupakan pilar yang dapat diandalkan guna menyongsong masa depan. Di bawah bimbingan Ancelotti serta James Rodriguez, Richarlison, dan Gylfi Sigurdsson sebagai penopang, Calvert-Lewin punya kans untuk terus bersinar.
Dirinya bisa menjadi motor kebangkitan The Toffees dari era kelam selama dua dekade lebih dan kembali bersaing di papan atas atau malah memperebutkan trofi. Kendati demikian, Calvert-Lewin juga wajib menjaga performanya supaya tetap konsisten. Apalagi ia juga sudah diberi kepercayaan untuk membela tim nasional Inggris.
Mampukah Calvert-Lewin menjawab harapan yang tersemat kepadanya?