Sepakbola menyuguhkan berbagai hal yang membuatnya punya daya tarik. Mulai dari aksi mengagumkan para pesepakbola di atas lapangan, drama-drama kontroversial, tawa kejayaan dan tangis pilu kegagalan, sampai rivalitas antara dua kesebelasan bertajuk Derbi. Khusus yang terakhir, Thailand menempatkan partai Buriram United kontra Muangthong United sebagai yang terpanas.
Bisa dikatakan, Buriram dan Muangthong adalah kesebelasan paling masyhur di Negeri Gajah Putih pada era modern. Bagaimana tidak? Semenjak Thai League 1 musim 2008, dua klub ini bak melakukan arisan karena gelar juara bergantian mereka dapatkan. Barulah di musim 2019 lalu, Chiangrai jahil dan sanggup memutus dominasi itu dengan menahbiskan diri sebagai yang terbaik.
Layaknya Persib dan Persija yang memiliki rivalitas kuat di Indonesia, Buriram dan Muangthong juga terpisah jarak yang cukup jauh yakni 374 kilometer. Buriram bermarkas di kota Buriram, sebelah timur Thailand sedangkan Muangthong berasal dari Nonthaburi di sentral Thailand, berdekatan dengan ibu kota Bangkok.
Secara kultur, masyarakat dari kedua wilayah punya perbedaan mencolok. Buriram identik sebagai area pertanian dan pariwisata, sementara Nonthaburi merupakan kawasan urban yang jadi pusat bisnis serta masuk ke dalam Bangkok Metropolitan Area.
Awal Mula Terjadinya Persaingan
Sepakbola Thailand berbenah hebat sejak tahun 2007. Klub-klub yang ada diminta mendirikan badan usaha berbasis kedaerahan. Hal ini dilakukan supaya klub-klub itu nantinya bisa mandiri menghidupi dirinya. Alhasil, para investor pun tertarik menanamkan modalnya sebab sepakbola di Thailand berubah menjadi lahan industri baru.
Menariknya, sepakbola yang dipolitisasi ini berlandaskan satu aspek yakni klub-klub yang berpartisipasi harus berkembang dan maju. Federasi sepakbola Thailand (FAT) mencetuskan langkah ini demi kemajuan sepakbola Negeri Gajah Putih serta mampu mengikuti regulasi AFC Club Licensing System. Mereka ingin kesebelasan Thailand maupun tim nasionalnya mampu berbicara banyak di level Asia Tenggara maupun Asia. Sikap ini berbeda jauh dengan federasi sepakbola dari salah satu tetangga mereka di sebelah selatan.
Perlahan tetapi pasti, transisi yang dilakukan membuahkan hasil. Kini, kesebelasan-kesebelasan tersebut eksis secara profesional dan terus berkembang walau ada pula yang mati di tengah jalan. Segala proses yang ditempuh persis seleksi alam, siapa yang kuat (dan mampu mengikuti regulasi yang ada), dialah yang bertahan.
Bersamaan dengan itu, lahirlah rivalitas-rivalitas baru di Negeri Gajah Putih. Tak terkecuali perseteruan Buriram dan Muangthong. Dalam kolomnya di These Football Times, Sivan John mengungkapkan bahwa rivalitas kedua tim ini muncul akibat modernisasi liga yang dilakukan FAT.
Intrik Politik Para Pemilik
Ada banyak narasi usang yang mengatakan kalau rivalitas dua kesebelasan belum asyik jika tak ada intrik politiknya. Kebetulan, Buriram dan Muangthong juga masuk ke dalamnya. Ada unsur politik yang membuat kedua tim ini akhirnya melaju sebagai raksasa di Thailand.
Klub bernama Provincial Electricitu Authority (PEA) FC sedang dalam masalah finansial. Keadaan ini ditangkap oleh seorang politisi andal bernama Newin Chidchob yang kemudian mengakuisisinya dan membawa PEA FC ke Buriram, tempat di mana namanya sebagai politisi menjulang. Bersamaan dengan itu, nama PEA FC pun diganti jadi Buriram PEA sampai akhirnya mantap dengan nama Buriram United seperti sekarang.
Sepak terjang Newin rupanya tak main-main sebab ia bersungguh-sungguh dalam memajukan Buriram sebagai entitas sepakbola. Aspek profesionalitas yang diinginkan FAT dari klub-klub Thailand sanggup diwujudkan Newin di Buriram. Ia sendiri, sampai hari ini masih menjabat sebagai Chairman.
Jika Buriram dibekingi Newin yang seorang politisi, Muangthong merupakan tim yang dimiliki salah satu perusahaan media olahraga dan hiburan terbesar di Negeri Gajah Putih, Siam Sports Syndicate. Wilak Lohtong, putra tertua dari pendiri konglomerasi tersebut, sekarang duduk sebagai Chairman. Uniknya, Siam Cement Group (SCG) yang kini jadi sponsor tim, juga memiliki porsi kepemilikan Muangthong.
Rivalitas Buriram dan Muangthong ibarat perselisihan dua anak orang kaya yang gemar pamer kemewahan. Tak ada yang mau kalah. Terlebih dua pemilik klub punya sejarah perseteruan yang cukup panjang berunsur politis.
Sekitar tahun 2006, sebelum sepakbola Thailand mengalami modernisasi, Muangthong ketika itu masih bernama Norgjorg Pittayanusorn FC dimiliki oleh politisi kelas wahid bernama Worawi Makudi. Lalu di tahun 2007, Makudi merangsek jadi Ketua Umum (Ketum) FAT. Jabatan itu sendiri diembannya selama delapan tahun.
Selama Makudi menjabat sebagai ketum FAT, selama itu pula ia mendapat kritik dari Newin karena dinilai kurang transparan dalam mengatur persepakbolaan Thailand. Newin secara terang-terangan bahkan menuduh Makudi dan FAT bertingkah layaknya mafia karena sering menunjuk wasit pertandingan yang dapat memberi keuntungan bagi Muangthong (bahkan sesudah tim ini diambilalih oleh Siam Sport Syndicate).
Puncaknya terjadi pada edisi 2012 kala Buriram sukses menyegel gelar mereka. Mereka memohon agar selebrasi dapat dilakukan di kandang, Stadion Chang Arena, saat memainkan partai kandang terakhirnya. Namun hal itu ditolak mentah-mentah Makudi yang jadi ketum FAT dan menyarankan kepada Buriram untuk merayakannya di Stadion Chiangrai (sekarang Stadion Singha), di mana Buriram melakoni laga pamungkasnya di Thai League 1 saat itu.
Dilansir dari sejumlah media, Buriram cuma mengirimkan dua orang staf pada saat itu buat menerima trofi juara dari Makudi dan kembali ke markas tim tanpa ada perayaan apapun sebagai wujud protes terhadap keputusan sang ketum.
Seiring waktu, rivalitas yang ada di antara Buriram dan Muangthong terus meletup. Keduanya melejit sebagai kubu yang mesti dikalahkan guna merebut status penguasa Negeri Gajah Putih. Tak heran kalau persaingan mereka jadi salah satu daya pikat Thai League 1.
Dalam urusan fanatisme dan gairah, persepakbolaan Thailand memang kalah dari Indonesia. Namun melihat profesionalitas mereka dalam berbenah, sepatutnya kita merasa iri. Sepakbola Thailand tidak bersih dari campur tangan politik, tetapi itu semua dikemas dengan cara yang tepat.
Politisi begitu lekat dengan label busuk. Namun para politisi yang terlibat dalam sepakbola Thailand tidak meninggalkan tanggung jawabnya setelah jabatan yang mereka incar sukses didapat via sepakbola. Mereka tetap mengelola kesebelasan-kesebelasan tersebut secara serius demi meraup prestasi serta berkontribusi dalam memajukan sepakbola Thailand.