Mengenal Indeks Glikemik Sebagai Bagian Strategi Manajemen Gizi Atlet

Atlet, tak terkecuali atlet sepak bola tentunya tidak boleh sembarangan memilih makanan karena kesalahan dalam manajemen gizi. Dalam hal ini pemilihan makan, dapat berdampak buruk pada performa pesepak bola.

Dampaknya dapat berbagai macam, seperti penaikan/penurunan berat badan yang tidak diinginkan, kehabisan energi di tengah pertandingan, kurang konsentrasi, dan lain-lain. Salah satu yang dijadikan oleh para ahli gizi atlet dalam mempertimbangkan pemilihan makanan adalah Indeks Glikemik.

The Glycemic Index (GI), atau dalam bahasa Indonesia-nya adalah Indeks Glikemik, merupakan sistem peringkat yang dibuat untuk membandingkan makanan kaya karbohidrat menurut respon glukosa darah yang diketahui melalui suatu uji standar (Burke dan Cox, 2010).

Indeks glikemik digunakan untuk mengukur seberapa cepat makanan tertentu dapat meningkatkan gula darah setelah makanan tersebut dikonsumsi dengan perbandingannya terhadap jumlah yang sama dari karbohidrat dalam roti putih (Hoeger dan Hoeger, 2010). Makanan lain yang dapat menjadi acuan adalah gula pasir (Canadian Diabetes Association, 2013).

Sederhananya, Indeks Glikemik merupakan sebuah skala untuk mengetahui sejauh mana atau seberapa signifikan suatu makanan dapat meningkatkan gula darah. Konsep GI, pada awalnya, dikembangkan untuk membantu penderita diabetes guna mengontrol kadar gula darah mereka, tetapi seiring berjalannya waktu GI juga dapat menjadi keuntungan untuk pengaturan pola makan atlet dan bagi orang-orang yang senang berolahraga (Bean, 2009).

Sumber: http://1.bp.blogspot.com/-yo-2g3En9Ag/VAG_P-06HqI/AAAAAAAAAWQ/9xsESN6wAQw/s1600/gi_graph.gif
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/-yo-2g3En9Ag/VAG_P-06HqI/AAAAAAAAAWQ/9xsESN6wAQw/s1600/gi_graph.gif

Apakah teman-teman pernah merasa lebih cepat lapar dari biasanya jika mengonsumsi bubur dibandingkan nasi? Hal itu dikarenakan tidak semua makanan kaya karbohidrat menyebabkan kenaikan tingkat gula darah yang sama.

Kenaikan gula darah didasarkan pada kecepatan pencernaan, yang tergantung pada sejumlah faktor, termasuk ukuran makanan (yang memengaruhi GI). Karbohidrat yang terkandung dalam makanan berukuran kecil dapat dipecah lebih cepat dan menyebabkan kenaikan gula darah yang lebih cepat, serta lebih tajam dibandingkan dengan makanan berukuran besar.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi GI adalah jumlah kandungan karbohidrat, lemak, protein, serat, dan gula sederhana dalam makanan; bagaimana pencampuran bahan makanan; dan bagaimana cara pemasakannya (Hoeger dan Hoeger, 2008).

Terlalu banyak mengonsumsi makanan tinggi GI dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, terutama pada orang dengan riwayat diabetes (Hoeger dan Hoeger, 2010). Lalu kemudian apa dampaknya pada atlet, termasuk para pesepak bola? Sebelum kita lanjut, berikut ini penulis jabarkan klasifikasi dari beberapa contoh makanan kaya karbohidrat menurut tingkatan GI-nya:

  • Makanan GI Rendah (skala 55 atau kurang): nasi merah, oat, pasta gandum (fettucini, spaghetti yg direbus kurang dari 10-15 menit), ubi jalar, jagung, ubi, yoghurt rendah lemak, susu skim, susu coklat, whole milk, sebagian besar buah-buahan (jeruk, peach, kiwi, mangga, anggur, anggur hijau, pir, apel, tomat, ceri, dll), sayuran yang dimasak tanpa tepung, kacang tanah, kacang mede, kacang hitam, kacang merah, kacang kedelai, kacang panggang, kacang lima, kacang polong terkupas, kacang panjang, buncis, wortel, biji-bijian, dll.
  • Makanan GI Sedang (skala 56-69): talas, gandum utuh, gandum hitam, gandum giling, roti gandum, roti gandum hitam, roti kembung, roti pita, beras, nasi basmati (nasi putih long grain), kentang, kentang rebus, quick oats, couscous, madu, pisang, dll.
  • Makanan GI Tinggi (skala 70 atau lebih): sport drinks, roti tawar putih, corn flakes, instant oatmeal, nasi putih short grain (nasi putih yang biasa kita makan), ubi, labu, kue beras, popcorn, semangka, gula putih, cookies, mashed potato (bubur kentang), kentang tumbuk, kentang panggang, kentang goreng, roti bagel, dll.
BACA JUGA:  Ancaman Kesehatan Pada Pesepakbola Perempuan

Makanan dengan GI tinggi dapat menyebabkan peningkatan pesat dalam gula darah, sehingga bagi para pesepak bola disarankan untuk mengonsumsi makanan dengan tingkat GI rendah saat pre-event. Hal ini dikarenakan makanan rendah GI proses metabolismenya lambat dan dicerna secara perlahan, dengan demikian bahan bakar karbohidrat tidak cepat habis.

Hal ini penting karena pesepak bola membutuhkan banyak energi ketika bertanding (berkaitan dengan durasi dan beban kerja selama latihan dan pertandingan), maka dengan alasan tersebut makanan rendah GI dapat menjadi pilihan yang cukup tepat agar para pesepakbola tidak kehabisan bensin di tengah-tengah pertandingan.

Beberapa penelitian yang dilakukan pada atlet sepeda menunjukkan bahwa konsumsi makanan GI rendah saat pra-latihan dapat meningkatkan kapasitas tubuh untuk mampu bersepeda berkepanjangan (prolonged cycling) lebih lama dibandingkan jika mengonsumsi makanan tinggi GI, atau berolahraga tanpa asupan karbohidrat sama sekali. Hal ini dikarenakan makanan rendah GI mempertahankan pasokan karbohidrat yang tersedia selama latihan (Burke dan Cox, 2010).

Lalu apa itu artinya atlet atau pesepak bola tidak boleh mengonsumsi makanan tinggi GI sama sekali? Oh tentu masih butuh. Makanan tinggi GI dibutuhkan untuk recovery pasca dan di tengah pertandingan.

Bayangkan seorang pesepak bola sudah bermain selama 45 menit babak pertama, maka sebagian besar energinya pasti terkuras. Dalam jangka waktu istirahat kurang lebih 15 menit apakah sempat dan tepat mengonsumsi buah-buahan dan sayuran, yang rendah GI?

Berdasarkan teori yang ada hal itu justru akan membebani pencernaan si atlet, membuat perut terasa penuh, sehingga kenyamanan dalam bertanding dapat hilang. Oleh karena itu, pada kondisi tersebut lebih baik memilih konsumsi makanan GI tinggi, seperti sport drinks misalnya.

Begitu juga untuk kondisi pasca-tanding atlet di mana energi yang terbuang akan lebih banyak, sehingga proses manajemen gizi dalam recovery amat perlu diperhatikan, seperti pemberian makanan dan minuman GI tinggi untuk cepat menanggulangi gula darah yang drop. Terutama untuk atlet yang melakukan olahraga secara intens atau berkepanjangan (Kenney, Wilmore, & Costil, 2012).

Tingkat atau level gula darah mereka harus kembali ditingkatkan, sehingga cadangan glikogen dalam tubuh, yaitu pada otot dan hati dapat segera diisi kembali.

BACA JUGA:  Carbo-Loading sebagai Strategi Pemenuhan Energi Pra-Event

Kemudian apakah ada perbedaan respon tubuh antara atlet dengan kita yang bukan atlet terhadap efek yang diberikan dalam mengonsumsi makanan ber-GI rendah, sedang, atau tinggi? Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa makanan dengan GI tinggi memiliki efek yang lebih kecil terhadap gula darah dan insulin orang yang rutin berolahraga dibandingkan dengan mereka yang jarang.

Hal itu terjadi karena olahraga memodifikasi respon glikemik mereka. Studi di University of Sydney, Australia telah menemukan bahwa ketika atlet diberi makan makanan GI tinggi, mereka memproduksi insulin lebih sedikit daripada yang diprediksi dari tabel GI (Bean, 2009). Artinya semakin rutin seseorang berolahraga, maka tubuh dapat merespon makanan GI tinggi setara dengan makanan GI sedang atau GI rendah.

Hal ini dapat berhubungan dengan kemampuan tubuh yang mampu lebih cepat mengkonversi lemak menjadi energi dibandingkan karbohidrat. Hal ini mengakibatkan tubuh “lebih memilih” melakukan metabolisme pembakaran lemak dibandingkan karbohidrat. Hal ini menjadi bermanfaat untuk kita yang ingin menurunkan berat badan karena sebagian besar lemak berlebih dapat dibakar.

Selain Indeks Glikemik, ada istilah lain yang bernama Glycemic Load (GL). Jika GI hanya mendasarkan kenaikan glukosa berdasarkan skala perbandingan antara suatu makanan dengan makanan acuan (roti putih atau gula), maka GL lebih luas dari itu karena juga memperhitungkan jumlah atau porsi makanan yang dikonsumsi. Pengukuran terhadap kenaikan gula darah dan tingkat insulin dapat lebih akurat.

Misalnya, kentang panggang memiliki Indeks glikemik yang relatif tinggi, tetapi mengonsumsi hanya satu suap dari kentang panggang saja dapat menghasilkan respon glikemik yang relatif kecil terhadap gula darah.

Pada akhirnya, kunci terpenting dari manajemen gizi atlet kembali lagi kepada keseimbangan komposisi karbohidrat, protein, dan lemak dalam diet mereka. Guna mengoptimalkan penyimpanan glikogen (simpanan karbohidrat untuk diubah menjadi energi) dan untuk meminimalkan simpanan lemak berlebih, maka konsep makan PKTS (Porsi Kecil Tapi Sering) dapat diterapkan (Bean, 2009).

Makanya kadang kita suka mendengar bahwa atlet kalau makan dapat 5-6 x per hari itu bukannya tanpa perhitungan, melainkan sudah diperhitungan sebelumnya. Mereka tidak selalu melakukan Carbo Loading, melainkan disesuaikan dengan beban kerja tubuh mereka pada hari itu, serta disesuaikan dengan jadwal bertanding/latihan. Baik Indeks Glikemik ataupun Glycemic Load adalah sebagai referensi atau bahan pertimbangan guna memilih bahan makanan dan cara pengolahan yang tepat untuk menu atlet.

Tidak perlu menghilangkan makanan GI tinggi dari diet harian, baik untuk atlet, maupun untuk kita yang bukan atlet. Salah satu kuncinya adalah mengonsumsinya dalam jumlah kecil, serta mengombinasikannya dengan konsumsi protein dan lemak sehat.

Hal ini akan menjaga gula darah dan insulin, serta simpanan lemak dalam batas normal (Bean, 2009). Waktu konsumsi juga perlu dipertimbangkan, seperti saat pra, pasca, atau sedang dalam pertandingan atau latihan.

 

Komentar
Indonesian Moslem | Anti-Mainstream Nutritionist/Dietitian who love football | Twitter: @katondio | Hey, you can also read my article at giziberkarya.blogspot.com.