Menghibur Duka Pendukung Liverpool

Leicester City menjuarai Premier League dan lagi-lagi Liverpool FC menjadi bahan olokan. Olokan yang sama perihal De Gea yang lahir pada tahun 1990 – tahun yang sama di mana Liverpool memenagkan Division One Cup (bahkan namanya belum Premier League – lalu besar dan kemudian meraih sendiri trofi jawara Liga Inggris.

Ataupun Manchester City yang kini sudah meraih dua trofi Premier League. Sementara itu, fans Liverpool, sebagaimana biasanya, berusaha bersikap wajar meski tentu saja, sakit.

Sebagai fans Liverpool, saya merasa tak selalu bahagia, atau jikalau tidak berlebihan, saya ingin mengatakan mendukung Liverpool bukanlah seperti pengalaman menaiki rollercoaster seperti apa yang dikatakan Anzar.

Mendukung Liverpool bukanlah seperti membaca atau menyaksikan kisah dongeng seperti Leicester dan kisah seperti Cinderella ataupun Charlie and The Chololate Factory. Seorang sederhana yang akhirnya mendapatkan yang ia impikan.

Mendukung Liverpool persis seperti kisah Nick Carraway yang harus menyaksikan seorang Jay Gatsby dan dengan segala ilusinya ingin mendapatkan Daisy dalam The Great Gatsby. Di mana kebahagiaan dan menterengnya kehidupan Jay Gatsby adalah suatu ilusi tentang kemurungannya.

Ataupun mungkin, biar lebih pas, saya akan mengatakannya kisah Liverpool mungkin seperti memoir Orhan Pamuk tentang kotanya yang murung, Istanbul. Kota di mana Merseyside Merah mencapai kebahagiaan terbesarnya.

Mungkin apa yang terjadi di Istanbul pada tahun 2005 tak hanya perihal keajaiban yang terjadi di Ataturk, namun juga perihal kesengsaraan antara sebuah klub dan sebuah kota yang saling bertemu.

Orhan menggambarkan Istanbul sebagai suatu kota yang kini huzun. Huzun sendiri diberikan dua bab khusus di memoirnya, saking pentingnya perihal huzun. Dan huzun pula menimpa sebuah klub Merah Merseyside yang pernah menjuarai Liga Champions di sana.

Kini akan saya jelaskan tentang huzun yang saya pahami dari membaca Istanbul. Dan saya batasi hanya membahas huzun saja, mengingat apa yang dijelaskan Orhan sendiri saya rasa hanya menggambarkan bagaimana huzun yang melanda kotanya.

Huzun merupakan kata serapan dari Arab, yang diambil dari peristiwa di mana Nabi Muhammad Saw. menyebut sebuah tahun di mana ia kehilangan istrinya, Khadijah, dan Abu Thalib: sanatul huzn.

Huzun adalah perihal kemurungan yang mendalam, berkaitan dengan beban spiritual, yang melanda seseorang atau bahkan sekelompok orang. Huzun, dalam pandangan Orhan, disebabkan karena seseorang belum cukup menderita atas hidupnya atau terlalu banyak memegang kebanggaan.

Istanbul digambarkan Orhan sebagai suatu kota yang kelam. Berisi orang-orang murung, dan menangisi kejayaan Kesultanan Usmani yang hancur dan melahirkan suatu negeri yang disebut Republik Turki.

BACA JUGA:  Menjaga Denyut Nadi Sepakbola Cirebon

Mereka harus menenggelamkan kejayaan Istanbul di masa Kesultanan Usmani yang digambarkan oleh Orhan: tembok tinggi dan kekuatan militernya yang disegani, negeri nan terpandang pula multikultur (di era Ottoman, bangsa Turki menguasai berbagai bahasa: Inggris, Prancis, Yunani, Italia, Arab, Perancis, dsb), ataupun perihal seni dan tata letak kota yang sungguh mengagumkan.

Dan tentu saja, seisi kota Istanbul bangga dengan itu semua, dan bangga dengan kepemimpinan Usmani yang digambarkan sebagai seorang yang mampu mewujudkan keindahan kota yang luar biasa ini.

Perang dunia, pertama dan kedua, membuat Istanbul miskin, menanggalkan sejumlah kejayaan dan kebanggaan mereka. Kelas menengah harus terima hidup dalam kemiskinan. Perusahaan gulung tikar.

Mereka kemudian berusaha mengikuti zaman dengan mengikuti Barat, yang dipandang memiliki segalanya. Hal ini berimplikasi pada kebingungan masyarakatnya, ingin berpijak kepada barat atau timur, dan mulai hidup dalam chauvinisme semu. Dan bagi Orhan, memandang lukisan Melling tentang Istanbul di masa lampau, membuatnya sedih.

Dan tentu saja, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan keamanan setelah tentara-tentara Turki kehilangan kegagahannya. Dan bahkan dihina oleh orang-orang Barat seperti Brodsky, yang menyebutkan kota ini sangat kuno dan udik.

Kota Istanbul, harus melupakan semua kebahagiaan yang mereka terima pada masa lampau. Namun melupakan begitu sulit.

Andai warga Istanbul ingin mencari seorang yang senasib dengan dirinya, mereka bisa bertanya dengan saya, seorang yang mencintai Liverpool. Huzun, dalam pandangan saya antara Liverpool FC dan Istanbul serupa, meski tentu saja, saya akan mengatakan bahwa Liverpool tentu saja beruntung tak memiliki kelam yang sedalam Istanbul.

Kelam Liverpool dan Istanbul sama, perihal bagaimana sulitnya mereka mendapatkan identitas kembali sebagai seorang yang dihantui oleh masa kejayaan pada masa lampau dan kebingungan menghadapi perubahan zaman.

Liverpool, sama seperti Istanbul pada era Kesultanan Usmani, adalah suatu klub yang disegani. Mulai dari Bill Shankly hingga Kenny Dalglish, mulai dari Kenny hingga Steven Gerrard, mulai dari Borussia Moenchengladbach hingga AC Milan, mulai dari Roma hingga Istanbul, mereka (fans) memiliki kisah manis yang akan mereka ceritakan kepada anak-cucu mereka.

Namun, di masa setelah berubahnya Division One menjadi Premier League, mereka tak betul-betul mencapai kejayaan dan tak benar-benar bisa bangga dengan klub mereka.

Liverpool bukanlah klub yang dihitung dengan mencapai sebuah trofi. Namun, semua trofi. Mendominasi adalah tanda kejayaan, dan itu adalah satu-satunya jalan untuk klub sebesar Liverpool untuk dihormati.

BACA JUGA:  Messi, Ronaldo, dan Alasan Kita Mencintai Ketidaksempurnaan

Maka, saat semua itu tak terjadi, selalu ada wujud kemurungan dalam motto mereka yang paling khas, “next season is ours”. Sementara mereka bingung ingin mencintai klub ini dengan bagaimana.

Apakah dengan ajaran Bill Shankly yang paling fenomenal: beri dukungan ke klubmu dan teriak lebih keras saat timmu bermain buruk? Fans Liverpool, sebagian, sudah cukup muak dengan semua ini.

Atau memaki dan melakukan otokritik terhadap performa klubnya yang buruk? Fans Liverpool, sebagian, tak cukup tega untuk melakukannya.

Ingin berpijak pada masa kini, atau terus membanggakan masa lalu? Fans Liverpool bingung, dan hal ini membuahkan huzun yang dalam bagi fans Liverpool.

Tentu huzun ini tak selalu buruk. Dalam ujung huzun, akan terlahir sebuah optimisme dan diri yang lebih baik.

Huzun membuat Orhan terbiasa memandang suatu pandangan buruk orang lain perihal kotanya menjadi suatu hal yang indah yang bisa dinikmati. Yang kemudian ia persembahkan karya indahnya ini kepada dunia sehingga dunia bisa menikmati Istanbul dari cara pandangnya.

Sementara bagi fans Liverpool, layaknya gambaran Orhan terhadap Istanbul, adalah kemurungan yang membuat fans Liverpool makin lama makin siap menghadapi kehidupan nyata.

Membuat mereka menikmati menit demi menit yang menyebabkan dunia mengagumi kebersamaan mereka dalam lagu “You’ll Never Walk Alone”. Membuat mereka sadar, bahwa mereka belum cukup menderita.

Lagipula, apa yang dinikmati Leicester adalah hasil penderitaan selama beratus tahun menjadi medioker. Begitu pula Manchester City yang menjadi pecundang selama kurang lebih lima puluh tahun.

Ya, kita belum cukup menderita, jadi nikmatilah saja jikalau seseorang bertanya, “Leicester juara, Liverpool kapan?”

Mari berharap, penderitaan kita sudah cukup hingga akhir musim ini. Atau kalau tidak, saya rasa fans The Foxes seluruh regional di Indonesia akan siap menerima diri Anda menjadi bagian dari mereka.

Saya akan tetap menjadi Kopites dan mensyukuri betul keberhasilan tim melangkah ke final Europa League setelah mampu menang 3-0 atas Villareal di Anfield (6/5). Bukankah itu secercah harapan untuk menatap musim depan?

Kedatangan Juergen Klopp dengan passion-nya yang begitu kuat dan menular pada diri kita adalah sebuah anugerah yang menerbitkan optimisme dan bisa menjadikan diri kita lebih baik. Klopp bisa jadi adalah jawaban dari segala penderitaan yang kita alami selama ini. Dia adalah optimisme di ujung Huzun.

Komentar