Veteran, berpengalaman, pengubah keadaan, seorang pejuang. Begitulah kesan yang ditangkap khalayak dari seorang Mario Mandzukic. Lelaki berkebangsaan Kroasia ini adalah penyerang serbabisa yang mampu memerankan banyak tugas di lini serang. Walau tak skillful layaknya Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, wajar kalau dirinya diidolakan banyak orang.
Mandzukic tumbuh dewasa di kota Slavonski yang berbatasan langsung dengan Bosnia. Daerah ini sendiri terkenal sebagai zona rawan. Oleh karena itu, bagi Mandzukic dan keluarganya, berjuang untuk tetap hidup dengan aman merupakan hal utama.
Pada tahun 1992, saat meletus Perang Bosnia, keluarga Mandzukic harus melarikan diri ke negara lain. Jerman menjadi tujuannya. Mereka menetap di Ditzingen, sebuah kota dekat Stuttgart. Di sana pula, ia mulai menggeluti sepakbola.
Kegemarannya terhadap sepakbola diasah di klub lokal TSF Ditzingen. Kebetulan ayahnya, Mato, merupakan seorang bek yang sempat membela tim senior Ditzingen. Sayangnya, karier sepakbola sang ayah tidak panjang.
Saat Perang Bosnia mereda sekitar tahun 1996, ia bersama keluarganya pulang. Tak butuh waktu lama, Mandzukic lantas melanjutkan mimpinya menjadi pesepakbola dengan memperkuat tim NK Marsonia. Selepas itu, guliran waktu menempa kemampuan Mandzukic secara paripurna.
Cita-cita menjadi pesepakbola profesional berhasil diwujudkan. Marsonia, NK Zagreb, dan Dinamo Zagreb jadi kesebelasan yang diperkuatnya saat berkarier di dalam negeri. Ia lalu hijrah ke Jerman guna membela Wolfsburg dan Bayern Munchen.
Perjalanan kariernya kemudian berlanjut di tanah Spanyol usai dipinang Atletico Madrid pada musim 2014/2015. Hanya semusim di Negeri Matador, Mandzukic lantas menyeberang ke Italia guna mengenakan kostum Juventus. Bareng klub yang disebut terakhir, lelaki setinggi 190 sentimeter ini mendapat kepercayaan luar biasa dari pelatih dan suporter.
Ya, keserbabisaan Mandzukic dalam bermain bikin pelatih memiliki banyak opsi saat memainkannya. Sementara karakter kuat yang ia selalu perlihatkan, membuat Juventini jatuh hati dan senantiasa memujanya.
Akan tetapi, kisah perjalanan Mandzukic di kota Turin terpaksa diakhiri pada tahun 2019 silam. Kedatangan pelatih anyar, Maurizio Sarri, mengubah peruntungan pemilik 89 penampilan dan 33 gol bersama tim nasional Kroasia ini. Berawal dari jarangnya mendapat kesempatan bermain, manajemen I Bianconeri lantas memutus kontraknya jelang bursa transfer musim dingin.
Berstatus bebas, sejumlah klub dikait-kaitan dengannya. Namun tim asal Qatar, Al-Duhail, sukses mengamankan tanda tangannya. Mandzukic sendiri sempat mengunggah salam perpisahannya kepada Juventus dan seluruh Juventini. Hal tersebut bikin Juventini merasa sedih karena kehilangan pemain yang hebat sekaligus rendah hati.
Lihat postingan ini di Instagram
Saya sebagai pengagum pria jangkung dengan penampilan ala-ala bad boy (yang biasanya membuat banyak wanita penasaran), jelas patah hati. Namun tenang saja, ini bukan pertama kalinya I Bianconeri membuat saya patah hati. Jadi tak ada gunanya meratapi kepergian Mandzukic yang nyatanya memang sengaja dilakukan pihak manajemen. Ya, sudahlah.
Kendati demikian, perjalanan Mandzukic di Qatar tak semulus ekspektasi awal. Hanya dalam tempo setengah tahun, ia mengakhiri kontraknya di Al-Duhail. Berstatus bebas untuk kedua kalinya, nama Mandzukic terus berkelindan sebagai buruan sejumlah klub top Eropa.
Usianya memang tak muda lagi, tetapi menyangsikan kemampuan Mandzukic sama saja dengan bunuh diri. Juventus disebut-sebut sebagai salah satu kubu yang berminat mendatangkannya pada bursa transfer musim dingin 2020/2021.
Namun siapa sangka kalau pilihan sang pemain malah jatuh kepada rival bebuyutan Juventus di Serie A, AC Milan. Jujur saja, saya patah hati melihat keputusan yang diambil Mandzukic. Namun sekali lagi, urusan seperti ini ada di luar kuasa saya.
We have a new number 9⃣
Welcome, @MarioMandzukic9 👊#ReadyToUnleash #SempreMilan pic.twitter.com/uFKeUo8FEd— AC Milan (@acmilan) January 19, 2021
Saya pun meyakini bahwa Mandzukic dapat membuktikan diri di Stadion San Siro kala bermain bersama Zlatan Ibrahimovic, Simon Kjaer, dan dilatih Stefano Pioli. Ia dapat menjadi mentor bagi anak-anak muda I Rossoneri yang tengah meniti jalan buat melesat tinggi-tinggi.
Lebih jauh, langkah Milan merekrut Mandzukic juga sebuah bukti jikalau mereka tengah serius memburu prestasi di pengujung musim ini. Apalagi performa mereka sejauh ini sungguh konsisten.
Seperti yang dikatakan Samuel Smiles “The battle of life is, in most cases, fought uphill; and to win it without a struggle were perhaps to win it without honor. If there were no difficulties there would be no success; if there were nothing to struggle for, there would be nothing to be achieved”. Perjuangan hidup, dalam banyak kasus, harus dijalani dengan payah. Memenangkannya tanpa perjuangan barangkali adalah kemenangan tanpa kehormatan. Jika tiada kesulitan, maka tidak akan ada kesuksesan; jika tidak ada yang diperjuangkan, maka tidak akan ada pencapaian.
Sepanjang hidupnya, Mandzukic telah memperjuangkan banyak hal. Dalam tataran sepakbola tentu saja menyoal keberlangsungan kariernya. Disia-siakan Juventus, ia menerima pinangan Al-Duhail. Kurang bersinar di Timur Tengah, ia ‘mudik’ ke Italia setelah Milan membukakan pintu kesempatan.
Juventini yang selama ini memuja Mandzukic pasti ada yang kecewa dengan keputusannya. Namun bagaimanapun juga, hidup adalah pilihan. Sama seperti kita yang pada satu momen harus memilih dan menentukan siapa yang pantas kita jadikan pasangan hidup guna menemukan kebahagiaan.
Bergabung dengan sisi merah-hitam kota Milan adalah cara Mandzukic menemukan kembali kebahagiaan yang sempat hilang usai disia-siakan I Bianconeri dan kegagalan di Al-Duhail.
Selamat berjuang kembali, Guerriero. Semoga sukses.