Christian Lenglolo merupakan salah satu dari sekian banyak pemain asing dari benua Afrika yang pernah merasakan kerasnya kompetisi Liga Indonesia. Pemain yang berposisi striker ini ternyata memiliki kisah unik perihal kepindahannya ke Indonesia.
Di negara asalnya, Kamerun, Lenglolo muda memperkuat tim Union Douala. Pada usianya yang masih belia, ia sanggup melejit sebagai figur penting dan punya kontribusi besar atas kelolosan Union ke final Piala Kamerun pada tahun 2004.
Lenglolo selalu mengisi starting eleven dari babak penyisihan hingga semifinal. Namun tanpa disangka-sangka, pelatih Union malah memarkirnya di laga final. Alhasil, Union keok di tangan Coton Sport dengan skor 1-0.
Kecewa berat dengan hal itu, Lenglolo memutuskan angkat kaki dari Union. Gayung pun bersambut karena sang agen, menawarinya untuk berkiprah di Indonesia. Baginya, Indonesia merupakan negara yang asing waktu itu. Namun bujuk rayu sang agen yang mungkin memberitahunya bahwa banyak pesepakbola asal Kamerun yang sukses berkarier di Indonesia membuat Lenglolo tertarik.
Tawaran yang didapat Lenglolo pun tak main-main untuk ukuran sepakbola di tanah air. Kesebelasan asal Jayapura, Persipura, jadi kubu yang ingin memaksimalkan tenaganya. Bermain bersama Boaz Solossa yang sedang naik daun dan gelandang kreatif berwujud Eduard Ivakdalam bikin Lenglolo mengangguk setuju bergabung dengan tim Mutiara Hitam.
Tampil cukup elok di musim perdananya, sosok yang akrab disapa Lolo ini berhasil membawa Persipura menjadi kampiun Liga Indonesia musim 2005/2006. Namun pencapaian tersebut tak membuatnya bertahan di Papua pada musim selanjutnya.
Angin menuntunnya pindah ke Jawa guna membela tim asal Tangerang, Persikota. Meski dirinya jadi pilar utama, tetapi Lolo gagal mengatrol performa kubu Bayi Ajaib. Mereka cuma finis di posisi tujuh klasemen Wilayah Barat dan tak lolos ke babak 8 besar.
Entah dirinya menyimpan bakat nomaden atau memang sulit menampik proposal yang diajukan Sriwijaya FC, Lenglolo menyeberang ke Sumatra jelang bergulirnya musim 2007/2008. Bareng Charis Yulianto, Isnan Ali, dan Keith Kayamba Gumbs, pria setinggi 183 sentimeter ini kembali menikmati manisnya titel juara liga.
Tak sampai di situ karena di ajang Copa Dji Sam Soe (Piala Indonesia), Sriwijaya FC juga keluar sebagai kampiun usai menekuk Persipura via adu penalti.
Tragis, bersama Laskar Wong Kito pula, penampilan Lenglolo mengalami kemerosotan. Masalah fisik yang terus mendera bikin namanya terpinggirkan jelang bergulirnya musim anyar. Praktis, perjalanan Lenglolo bareng tim-tim papan atas Indonesia juga selesai sampai di situ.
Setelahnya, ia cuma merumput bagi tim-tim selevel Persema, PSBI, PSIR, dan Persijap. Khusus pada kesebelasan yang disebut ketiga, Lenglolo seperti menemukan lagi puncak performanya.
Walau hanya beraksi di kasta kedua, Lenglolo jadi figur sentral bagi Laskar Dampo Awang. Ia didapuk sebagai kapten tim, ujung tombak andalan yang kemudian jadi top skorer utama, serta penggawa dengan pengaruh besar baik di dalam maupun luar lapangan.
Di kota Rembang, Lolo mendapat keistimewaan lebih sebagai pemain. Rekan setimnya pun menaruh respek besar kepada lelaki kelahiran 28 Juli 1982 ini.
Singkat cerita, Lenglolo berhasil membawa PSIR finis di posisi kedua Grup 2 kompetisi Divisi Utama Liga Prima Indonesia (LPI) musim 2011/2012 sekaligus memastikan satu tiket promosi ke Indonesia Premier League (IPL) yang merupakan kompetisi resmi tertinggi di tanah air kala itu.
PSIR sendiri tercatat finis dibawah Persepar serta berhasil mengangkangi klub-klub sarat tradisi macam Persik, PSIS, Persis, dan PS Sleman. Lenglolo sendiri mampu menggelontorkan 11 gol dari 18 penampilannya di musim tersebut. Sebuah catatan yang sangat impresif.
Ajang Divisi Utama LPI musim 2011/2012 sendiri adalah salah satu musim terbaik sepanjang sejarah PSIR selama berkiprah di persepakbolaan nasional. Pencapaian terbaik mereka adalah kompetisi Perserikatan 1993/1994 di mana Laskar Dampo Awang menembus babak 8 besar.
Pada musim 2011/2012 itu, PSIR dilatih oleh duo Bambang Handoyo dan Hariyanto yang merupakan legenda klub. Selain Lenglolo, skuad PSIR ketika itu juga dihuni oleh talenta lokal Rembang seperti Amirul Fafa, Efendi Bendot, Edi Santoso, Heru Wibowo, Koko Hartono, Kusen Riandi, Suyono, dan Yoni Ustaf. Mereka juga diperkuat legiun asing semisal Abunouw Lapula dan Eric Awoundja.
Berbekal status jago kandang dan memiliki pertahanan kuat, PSIR sukses menang delapan kali dan cuma sekali seri kala beraksi di Stadion Krida. Laskar Dampo Awang juga mencatatkan diri sebagai tim yang paling sedikit kebobolan, 16 gol, dari 18 laga musim tersebut.
Berlaga di kompetisi teratas sepakbola nasional membat Lenglolo bertahan di PSIR pada musim 2012/2013. Manajemen PSIR sendiri berharap keberadaan Lolo bisa membuat tim tetap tangguh dalam mengarungi kompetisi yang levelnya berbeda.
Akan tetapi, problem internal yang mendera bikin ia cabut dari Rembang di pertengahan musim untuk kemudian bergabung dengan Persijap.
Uniknya, masa kerja Lenglolo di Kota Ukir tak berlangsung lama sebab di paruh kedua musim 2014, ia kembali ke PSIR yang saat itu mentas di kasta kedua usai terdegradasi. Nahasnya, tak ada cerita gemilang lain yang sanggup ia bukukan di Stadion Krida.
Sanksi FIFA kepada PSSI yang membuat raibnya kompetisi sepakbola nasional per tahun 2015 plus larangan klub-klub kasta kedua diperkuat pemain asing bikin perjalanan Lenglolo bersama PSIR selesai. Total dua setengah musim ia habiskan di daerah yang ada di sisi timur laut Jawa Tengah ini.
Meski demikian, publik Rembang bakal selalu mengingatnya sebagai pilar penting perjalanan PSIR di awal era 2010-an. Ketajaman, ketenangan dan kekuatannya di lini depan adalah jaminan gol yang bikin suporter yang memadati Stadion Krida tak berhenti bersorak dan berani berharap (akan kemajuan prestasi PSIR).
Dalam sebuah pertemuan, saya pernah bertanya kepada Lenglolo mengapa ia begitu trengginas kala mengenakan seragam oranye PSIR. Jawaban yang diutarakannya begitu sederhana yakni rasa nyaman yang ia dapatkan di sana. Rasa kekeluargaan yang hangat di PSIR serta dukungan masif publik Rembang menjadi pemicunya kendati ia sempat mengalami konflik internal pada tahun 2013.
Kini, di tengah ketidakjelasan kompetisi dan nasib PSIR, mengingat Lenglolo adalah satu dari sekian cara terbaik untuk melihat bahwa sepakbola Rembang pernah menggeliat serta mewarnai kasta teratas sepakbola nasional.