Menikmati Sepak Bola

“Dulu pas mau menonton Maradona melawan Jerman di Piala Dunia 1990 yang ditayangkan TVRI, sejak sore hari rumah sudah ramai, pada nyiapin aki untuk nyalain tivi yang mau digunain nonton di halaman rumah,” ujar Ayah kepada saya saat kami jogging di suatu minggu pagi.

Rumah kami berada di sebuah desa kecil di timur Salatiga. Listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) baru masuk pada tahun 1993. Meskipun tiga tahun sebelumnya sudah ada Perusahaan Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tapi jatah 100 watt tiap rumah hanya cukup untuk penerangan dan juga biayanya amat mahal.

Jadilah setiap ingin menonton sepak bola perlu menyiapkan aki. Tak semua rumah bisa menyediakannya jadi orang-orang di kampung kami biasa menonton bersama di balai desa atau di rumah salah seorang yang memiliki fasilitas. Tradisi nonton bareng ini justru bisa membuat masyarakat guyub dan dekat.

Cerita lain saya alami pada awal millenium baru. Saya yang saat itu baru kelas empat SD bersama teman-teman ingin membuat kostum sepak bola untuk tim tarkam kami. Berangkatlah saya dan kakak saya ke salah satu konveksi di Solo yang biasa menerima pesanan kostum bola.

Saat akan memasuki ruangan yang dipergunakan untuk menjahit baju ada suara samar-samar yang kami dengar. “Bola diterima oleh Modestus Setiawan, bola langsung diberikan kepada Rochi Puttiray yang berada di sebelah kiri bung! Utak atik Rochi, masih Rochi, umpan ke tengah, ada Mardiansyah di sana, bam! Sayang sekali bung tembakan kaki kanan Mardiansyah melenceng beberapa centi saja di sebelah kanan gawang!”

“Itu radio RRI Solo. Persijatim Solo FC lagi tanding di Manahan. Beginilah mas kalau lagi banyak orderan, kami tak sempat nonton langsung di sana. Lumayanlah bisa dengerin radio sambil bekerja. Asyik juga dengar penyiarnya heboh begitu,” jelas salah seorang penjahit pada kami menjelaskan apa yang sedang mereka dengarkan.

Sebelum ada televisi nasional yang rutin menyiarkan sepak bola Indonesia, radio adalah salah satu media yang populer untuk mengetahui perkembangan sepak bola. Ciri khas radio jelas pada laporan pandangan mata sang penyiar. Gayanya bombastis, lebih mengagetkan daripada teriakan “JEGER!” Binder Singh dan terkesan lebay.

Bola yang jauh melebar dibilang tipis beberapa centimeter saja di sebelah gawang. Padahal tak mungkin juga mereka mengukurnya. Bahkan ada satu kalimat lucu dari era radio, “bola ditendang dengan kerasnya bung, bola melambung tinggi di atas mistar, nampaknya akan mengganggu penerbangan domestik ini bung!” Kalimat-kalimat konyol tapi menggelikan seperti itu sering anda dengar jika mendengarkan radio yang memandu jalannya pertandingan sepak bola. Tetapi, itu semua ciri khas radio dan itulah yang kini dirindukan pecintanya.

BACA JUGA:  Selamat Ulang Tahun Persija!

Zaman kini telah berganti. Kisah ayah saya dan penjahit di konveksi bola di Solo sulit kita jumpai saat ini walaupun tak sepenuhnya hilang. Inilah saat di mana yang oleh Alvin Toffler disebut sebagai era ketiga dalam The Third Wave.

Gelombang pertama dari the third wave adalah saat ekonomi berbasis pertanian. Kedua, gelombang revolusi industri. Dan yang saat ini adalah era ketiga, yakni gelombang ekonomi informasi yang ditandai dengan meningkatkanya kualitas teknologi yang ditemukan oleh peradaban manusia.

Globalisasi yang membawa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sedikit banyak telah mempengaruhi gaya kita dalam menikmati sepak bola. Era digital seperti sekarang ini memudahkan kita untuk memperoleh berbagai macam informasi yang kita inginkan.

Televisi nasional kita berlomba-lomba menghadirkan berbagai liga Eropa dan event internasional sepak bola kehadapan kita secara gratis. Jika anda masih belum puas, anda cukup menyalakan laptop beserta internet dan anda bisa menyelami ribuan informasi mengenai sepak bola. Menonton pertandingan pun bisa anda lakukan dengan streaming di internet.

Budaya nonton bareng (nobar) semakin ramai kita jumpai. Berbagai perkumpulan fans semakin banyak muncul. Internet telah mendekatkan mereka dengan klub favorit. Apapun yang berkaitan dengan klub kesayangan dengan mudah bisa diperoleh.

Social media seperti facebook dan twitter semakin mendekatkan fans sepak bola dengan orang yang juga menyukai klub yang sama. Jika anda memiliki akun twitter dan ingin bergabung dengan komunitas klub kesayangan hampir semuanya tersedia. Sebut saja @UtdIndonesia, @JCIndonesia, @RomaIndonesia, @ChelseaIndo, @IndoSpurs, dan masih banyak lagi. Bahkan belakangan semakin banyak akun fanbase pemain, mulai dari sosok legendaris Steven Gerrard dengan akun @IndoStevieG hingga pemain kemarin sore Ryan Bertrand dalam akun @IndoRyanBertrand.

Sayangnya perkembangan teknologi tak selalu mendekatkan sesama fans. Twitter bisa menjembatani permusuhan antar dua kubu yang berbeda. Satu fans Manchester United bisa dengan mudah melakukan twitwar dengan fans Arsenal di timeline Twitter. Satu yang memicu twitwar akan mempengaruhi pengguna lain untuk ikut terlibat dalam twitwar.

Jika sudah begitu, mereka yang twitwar ini dan merasa tahu segala informasi tentang klub kesayangannya serta merta mencap dirinya sendiri sebagai Hooligan atau Ultras yang siap membela klubnya kapanpun mereka mau.

Jika merujuk pada definisinya Hooligan yaitu fans bola yang brutal ketika tim idolanya kalah atau Ultras sebagai suporter yang menyanyikan yel-yel sepanjang pertandingan dengan sesekali menyalakan red flare jelas fans twitter itu bukan bagian dari keduanya. Tetapi, inilah implikasi dari perubahan zaman dan anda tak bisa menahan ataupun mempersalahkan mereka mentah-mentah.

BACA JUGA:  Skenario Timnas Basket Indonesia Lolos ke Piala Dunia FIBA 2023

So, ketika ditanya jenis fans seperti apakah mereka? Maka, saya lebih suka menyebut fans ini sebagai suporter “Couch Potato”. Couch Potato adalah sebutan bagi mereka yang menonton tim kesayangannya bertanding melalui televisi bersama keluarga dan teman sembari menikmati snack. Serta sibuk ngetwit ketika ada momen bagus yang terjadi dalam pertandingan. Cara seperti inilah yang paling banyak dilakukan fans saat ini karena memang yang paling nyaman untuk menikmati pertandingan sepak bola.

Mungkin ada yang tidak suka atau bahkan tersinggung dengan saya, tetapi itu jelas hak anda. Seperti halnya negeri ini, sepak bola pun demokratis. Kita boleh berbicara, menulis, dan menikmati sepak bola dengan cara apa yang kita pilih, bukan begitu?

Dan saya memilih untuk menikmati sepak bola seperti layaknya Couch Potato saat menonton sepak bola Eropa, sembari sesekali datang ke stadion Maguwoharjo, Mandala Krida, Manahan, maupun lapangan di desa untuk menikmati atmosfir sepak bola lokal berkelas “profesional” ataupun sekadar pertandingan antar kampung, serta menulis untuk memenuhi hasrat saya pada sepak bola.

Beruntung suatu sore di hari minggu bulan Agustus itu saya bertemu dengan Yoga Cholandha, Gayuh Adityo, Galih Satrio, dan Arsyad Muhammad Fajri di Serafin Pastry, Yogyakarta. Semuanya pecinta bola, obrolannya pun tak jauh seputar sepak bola. Tetapi, berawal dari obrolan ringan itu kami berkolaborasi dalam project menarik. Tak lupa kami mengajak pula rekan kami, Aditya Nugroho, football pundit wanna be dari Jakarta yang ahli soal finance sepak bola.

Kami bersama-sama mengembangkan blog Football Fandom dan membuat E-magz Football Fandom yang edisi perdananya hadir ke hadapan anda ini. Lagi-lagi, ternyata benar kata Alvin Toffler, gelombang ketiga dari The Third Wave diikuti dengan gelombang ekonomi kreatif yang berorientasi pada ide dan gagasan kreatif. Kami sebentar lagi mungkin akan jadi bagian dari gelombang ekonomi kreatif ini.

Yang perlu anda tahu, kami hanyalah sekumpulan pemuda pecinta sepak bola yang mencoba sedikit berkreasi. Mohon maklum jika ada salah dalam proses kami berkarya. Semoga anda menikmati dan mari kita bersama-sama menikmati sepak bola. ☺

NB: Editorial ini tayang di Fandomagz edisi perdana. Jika anda belum membaca dan menginginkannya bisa mendaftar di sini.

Komentar
Akrab dengan dunia penulisan, penelitian, serta kajian populer. Pribadi yang tertarik untuk belajar berbagai hal baru ini juga menikmati segala seluk beluk sepak bola baik di tingkat lokal maupun internasional.