Merayakan Pemecatan Jose Mourinho Sembari Menertawakan Pemuja Sepak Bola Membosankan

Sebagai salah satu pencinta episode Star Wars yang mengikuti filmnya dari era Anakin Skywalker masih kinyis-kinyis hingga kemudian menjadi Darth Vader, saya sangat menantikan Star Wars edisi The Force Awakens ini. Apalagi, konon, ada Iko Uwais dan Yayan Ruhian ambil bagian di film ini.

Surealis betul kan menonton jago silat dari Minang dan si Mad Dog itu bermain light saber? Tapi sayang, di saat gencar-gencarnya berita penayangan perdana film Star Wars terbaru ini, kabar gembira menyedihkan datang dari Inggris tentang pemecatan pelatih hebat sepanjang masa, Jose Mourinho.

Lengsernya sosok yang sempat mengeluarkan fatwa bahwa Arsene Wenger adalah spesialis gagal ini begitu masif direspon banyak orang di berbagai linimasa media daring. Mulai dari Twitter, Facebook, berita di mesin pencari dan masih banyak lagi.

Sebagai pemuja Darth Vader, saya sedikit kecewa ketika euforia orang-orang terhadap pemecatan Mourinho begitu sporadis dan ramai sekali. Jauh lebih gegap gempita daripada euforia terhadap Star Wars.

Padahal apa istimewanya berita pemecatan ini? Bukankah wajar memecat pelatih yang membawa juara bertahan sebuah Liga duduk di tabel klasemen yang hanya berjarak satu poin dari zona degradasi?

Kalau yang dipecat Arsene Wenger, baru itu itu tak wajar. Jelas bukan, dengan catatan rutin tampil di Liga Champions, hampir tidak pernah berlama-lama di zona bawah, rutin memberi pemasukan positif ke neraca keuangan klub hingga membangun stadion baru untuk tim. Nikmat Arsene Wenger mana yang Anda dustakan?

Jangankan berada di peringkat 16, finis peringkat 7 saja tak pernah sekalipun bagi Wenger sejak 1996. Soal juara? Ah itu kan bisa kapan-kapan, yang penting tak terancam degradasi. Sudah. Titik. Pilih mana? Juara tapi musim berikutnya terancam degradasi? Atau stabil papan atas? Anda pikir-pikir dulu saja, ya.

**

Mourinho, sebagai seorang Machiavellian yang cukup taat, karena konon begitu menggemari buku Il Principe, tentunya sadar betul bahwa iklim sepak bola modern memang anarkis dan banal. Bagaimana tidak banal, pelatih hebat seperti Carlo Ancelotti dengan persentase kemenangan yang tinggi saja bisa dipecat untuk digantikan seorang papa gendut bernama Rafael Benitez.

BACA JUGA:  Antonio Conte dan Pertaruhan Besarnya

Mourinho paham betul hal seperti ini. Maka dari itu, sekembalinya beliau ke Chelsea di periode keduanya, saya paham bahwa aroma sepak bola membosankan akan kembali digaungkan The Special One di tanah Britania.

Sebagai penganut realis yang patuh, pria Portugal ini tentu paham bahwa bagaimanapun caranya, kemenangan tetaplah yang utama. Proses itu nomor sekian, yang penting hasil akhir. Hebat betul, bukan?

Namun tentu saja, di dunia sepak bola modern yang semakin anarkis, agaknya Mourinho lupa satu hal, tidak selamanya bermain bertahan itu bisa membawa keuntungan jangka panjang. Tolong beri saya nama pelatih yang sukses berjaya dengan pola sepak bola pragmatis selama puluhan tahun sejak periode tahun 2000-an hingga sekarang. Bisa tidak?

Bermain bertahan tentu saja akan sukses kalau dieksekusi dengan tepat dan pas. Musim lalu Mourinho menerapkan betul teorema itu. Memainkan sepak bola pasif dan cenderung bertahan. Lebih berupaya mengamankan kemenangan, bukan mengejar kemenangan.

Bagi sepak bola menyerang, Anda boleh kebobolan 10 gol, tapi selama Anda sukses mencetak 11 gol, Anda yang menang.

Sepak bola pasif beda lagi. Anda boleh menang hanya satu gol, selama musuh tak mencetak gol, aman sudah. Tentu saja pakem sepak bola pasif ini berguna betul untuk digunakan satu atau dua musim.

Tapi untuk tim papan atas, rutin bermain bertahan tentunya menjadi cerita yang cukup aneh. Kecuali anda Tony Pulis yang rutin wara-wiri di tim-tim seperti Stoke City dan West Bromwich Albion, tolong beri saya alasan kenapa sebuah tim yang katanya papan atas harus rutin bermain bertahan dan membosankan? Untuk stabil juara? Oke, baiklah.

Sudah lihat kiprah Chelsea musim ini, kan? Bahkan, jauh sebelum menangani Manchester United dan begitu membosankan dengan filosofi omong kosongnya itu, Louis Van Gaal justru tampil atraktif bersama timnas Belanda dan Bayern Munchen beberapa musim sebelumnya.

BACA JUGA:  Mengapa Arsenal Memilih Kai Havertz?

Hampir tidak ada tim papan atas dalam sepuluh tahun terakhir yang gemar bermain bertahan dan parkir bus, kalaupun ada, itu pasti pelatihnya Jose Mourinho. Sayang, belum sampai sepuluh tahun di Chelsea, eh sudah dipecat. Kasihan betul.

Maka dari itu, di artikel kapan hari, saya mengajak orang-orang untuk aware dengan nikmat sepak bola atraktif. Kalaupun tak sering juara, setidaknya Anda bersyukur bisa menikmati sepak bola yang menyenangkan dan atraktif. Hidup yang sudah berat, jangan dibuat makin susah dengan menonton taktik parkir bus atau sepak bola negatif.

Bayangkan Anda pulang kerja dengan beban menumpuk karena pekerjaan di kantor, dan sebagai suporter sepak bola sejati, Anda membutuhkan penyegaran di sebuah pertandingan bola, eh tapi yang Anda tonton malah Chelsea-nya Mourinho atau West Brom-nya Tony Pulis. Apes betul nasib Anda. Sudah sana ke Camp Nou saja. Piknik sekaligus merasakan nikmat sepak bola yang sesungguhnya.

**

Sebelum Anda terlanjur ikut dalam arus media daring yang begitu masif memberitakan pelatih flamboyan dari Portugal itu, ada baiknya Anda segera menyempatkan waktu menonton Star Wars. Saya yakin sepenuhnya bahwa menonton Darth Vader pasti jauh lebih asyik daripada mengikuti berita pemecatan Mourinho.

Seingat saya, ketika Tim Sherwood dipecat dari Aston Villa awal musim ini, beritanya tak semasif ini. Lagipula, sejak kapan pemecatan pelatih dari sebuah tim yang berada di papan bawah begitu sensasional?

Ngomong-ngomong, saya mau usul dong, kelak kalau melatih lagi, Jose Mourinho bikin nickname baru ya, sebut saja The Fired One.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.