Persis Solo adalah satu klub yang menjadi tonggak sejarah persepakbolaan Indonesia. Rekam jejaknya yang panjang dari zaman sebelum merdeka hingga masa kini membuat Laskar Sambernyawa selalu memberi warna sepakbola Indonesia. Bahkan nama PSSI itu sendiri adalah ide dari orang asli Solo.
Nikko Auglandy selaku penulis, mampu menyajikan banyak sekali berita, cerita perjalanan Persis dan didukung dengan informasi sejarah yang kuat. Sehingga bagi pendukung, masyarakat Solo secara umum dan mungkin penggemar sepakbola lokal setidaknya mampu mendapatkan lanskap yang runtut dan lengkap terkait sepak terjang Persis Solo.
Dan buku berjudul Bangkitlah Sang Legenda: Kiprah Persis Solo di Dunia Sepakbola sudah cukup pegangan awal bagi pecinta sepakbola untuk menaruh respek pada klub tepi Sungai Bengawan Solo ini.
Buku ini memiliki total 198 halaman dan memiliki delapan bagian yang bisa kita selami. Mulai dari bab Tumbuh Dari Sebuah Iri dan Misi, Tinta Emas Pasukan Maladi CS, Cerita Abadi di Tanah Sriwedari, Sulit Lepas Dari Bayang Masa Lalu, Drama Kepala Botak, Naik Turun Bak Roller Coaster, Tumbuh Dari Kota ke Kota, dan Oleh-Oleh sang Turis. Di mana per bab memiliki rata-rata 4-8 sub bab yang berisi rentetan cerita dari bab tersebut.
Dari sekian banyak bab, yang menjadi favorit saya adalah bab Naik Turun Bak Roller Coaster. Di sini penulis menceritakan perjuangan Persis Solo dalam mengarungi kompetisi liga dari periode 2007 hingga 2020 yang naik turun layaknya sebuah roller coaster.
Bab ini menjadi favorit karena saya hidup di era tersebut sehingga sangat relevan dengan apa yang saya alami dan saya baca. Pertama penulis membahas regulasi baru terkait penyatuan Divisi Utama dari grup barat dan timur menjadi satu kompetisi utuh bersama ISL (Indonesia Super League).
Tapi sayang Persis yang dilatih Suharno itu gagal membawa klub kebanggaan warga Solo mentas di ISL karena hanya finis di peringkat ke-11. Sementara yang diambil di grup barat adalah klub dengan peringkat 1-9.
Asa Persis untuk mentas di ISL sempat terbuka ketika beberapa klub yang lolos gagal memenuhi verifikasi. Tapi asa itu kembali tertutup ketika Persis gagal lolos verifikasi karena masalah finansial. Sehingga Greg Nwokolo dkk harus mengulangi kiprahnya di Divisi Satu di tahun mendatang.
Dalam sub bab, Musim Kelam Si Anak Emas penulis berhasil menguraikan tentang masalah finansial yang di alami Persis Solo. Hal tersebut sangat berdampak pada kiprah klub ini di Liga Esia yang saat itu dilatih Eduard Tjong harus puas duduk di papan bawah.
Hasil minor pun berlanjut di 2 musim berikutnya tepatnya pada Liga Joss (2009/2010) dan Liga Tiphone Indonesia (2010/2011). Di mana Persis kembali menjadi juru kunci dan hampir saja terdegradasi ke divisi atau atau liga 3 saat itu.
Belum juga usai masalah Persis, masalah lain datang menghampiri. Klub kebanggaan wong Solo ini kembali mengalami dualisme klub akibat konflik internal di PSSI. Maka jadilah Persis PT.LI (Liga Indonesia) dan Persis LPIS (Liga Primer Indonesia).
Akibat perpecahan itu munculah istilah Persis Etan (timur) bagi Persis PT.LI dan Persis kulon (barat) bagi Persis LPIS yang memang mes pemainnya saling bersebelahan.
Sengkarut tersebut membuat Persis juga tidak kunjung berprestasi dan Persis PT.LI harus mengalami krisis finansial yang membuat sang pemain Diego Mendieta meninggal karena sakit dan telat gaji. Peristiwa memilukan itu terjadi pada tahun 2012.
Setelahnya, penulis juga menguraikan kiprah Persis di kompetisi lanjutan dengan hasil yang biasa-biasa saja dan tidak terlalu spesial. Hingga kemudian dualisme itu berakhir di tahun 2014 dan Persis baru bisa berkompetisi norma di ajang ISC-B (Indonesia Soccer Championship). Dan juga penulis juga menggambarkan Persis di periode 2015-219 sering kali terusir dari Manahan karena renovasi dll.
Buku ini menyajikan visual yang detail dan kata-kata yang ringan sehingga mudah dipahami. Bila kamu seorang penggemar bola lokal buku ini layak jadi santapan pengetahuan.