Flew dalam buku Birowo, dkk (2016) yang berjudul “Pergulatan Media Komunitas di Tengah Arus Media Baru” mengungkapkan dua pendekatan terhadap konsep media baru ―yang akhir-akhir ini juga banyak digeluti kelompok suporter.
Pertama, ia mendefinisikan media baru sebagai media yang mengalami konvergensi. Kedua, Flew melihat media baru sebagai media digital, yaitu media yang kontennya diproduksi dengan menggabungkan dan mengintegrasikan data teks, suara, dan gambar.
Konten tersebut disimpan dalam format digital yang pendistribusiannya memanfaatkan jaringan berbasis broadband, kabel serat optik, satelit dan sistem informasi gelombang mikro. Jadi, media baru ialah media digital yang selama ini kita kenal.
Rekomendasi T-Shirt Timnas Indonesia dari Erspo
Kehadiran media baru menciptakan budaya baru dalam kehidupan manusia. Pada era konvensional, manusia harus mengeluarkan uang dan membeli koran demi bisa mengakses informasi informasi.
Kini, sejak teknologi media baru hadir, manusia hanya perlu memegang gawai yang terkoneksi dengan jaringan internet. Tidak jarang, akses informasi tersebut didapatkan secara cuma-cuma. Kebiasaan baru tersebut berlaku bagi banyak kalangan, termasuk suporter sepakbola.
Jika dulu suporter sepakbola harus menunggu hasil pertandingan di hari berikutnya ketika berita di koran diterbitkan, kini suporter bisa mengetahui skor di waktu yang sama dengan berlangsungnya pertandingan. Hal ini karena ada akses informasi melalui media digital, seperti media sosial.
Rahmad Harianto (2013) dalam artikel berjudul “Social Media dan Sepak Bola: Penggunaan Twitter sebagai Media Reportase Sepak Bola” yang terbit di Jurnal Ilmu Komunikasi UIN Surabaya mengubungkan hal itu dengan perkembangan baru media si kulit bulat.
Diungkapkan bahwa peningkatan penetrasi internet dan penggunaannya yang meluas memang menyebabkan media alternatif, seperti blog, yang membahas sepakbola semakin mudah ditemukan.
Penggunaan media sosial dalam pemberitaan sepakbola juga menyebabkan terjadinya “demokratisasi media”. Pasalnya, suporter tidak lagi bersifat pasif sebagai penerima berita, tetapi aktif menjadi saluran berita.
Media Anyar, Kreativitas Baru
Media baru pun menciptakan era anyar dalam dunia suporter sepakbola. Suporter tidak lagi hanya menempati posisi sebagai khalayak media, tetapi juga menjadi pelaku media.
Indikasinya adalah kemunculan media-media komunitas suporter dalam berbagai format, mulai dari media sosial, situs web, televisi streaming, hingga podcast.
Melalui media komunitas, suporter sepakbola aktif menyampaikan pesan atau berbagi informasi seputar tim kebanggan kepada khalayak yang menjadi bagian dari komunitasnya.
Saya pun teringat pada pertemuan saya dengan kawan-kawan pengelola media komunitas Sepakbola Jakarta akhir Februari lalu. Mereka bercerita tentang bagaimana mengelola media komunitas berbasis fans sepakbola, baik mengelola situsweb maupun mengelola media sosial.
Selain menggunakan media sosial sebagai media pendukung situsweb dan media penyampaian informasi, media komunitas dari kalangan pendukung Persija itu juga menggunakan media sosial untuk membuka ruang diskusi serta mengkampanyekan pesan positif.
Terutama melalui Twitter, Sepakbola Jakarta beberapa kali menyampaikan pesan anti seksisme. Mereka menentang seksisme dalam sepakbola, terutama seksisme yang seringkali ditujukan terhadap kaum perempuan.
“Hal yang terpenting dari kami adalah tidak membuat konten yang menggunakan perempuan. Kami tidak mengobjektifikasi perempuan. Kami anti seksisme,” ujar Kris, founder Sepakbola Jakarta.
Ia juga mengatakan bahwa media sosial dengan jangkauannya yang luas tidak semestinya diisi dengan konten negatif, seperti olok-olokan atau bolak-balik logo klub rival sebagaimana yang sering terjadi selama ini.
Sebab, konten negatif semacam itu kerap kali menjadi akar permasalahan aksi kekerasan yang terjadi di dunia nyata. Sebaliknya, rivalitas suporter di media sosial bisa diisi dengan psywar yang kreatif, seperti dengan berbalas pantun. Dengan kata lain, rivalitas sebaiknya dihadapi dengan kepala dingin.
Hal ini serupa dengan apa yang dilakukan suporter Persis beberapa waktu lalu. Melalui akun Twitter @persisfansstyle, salah satu bagian suporter Laskar Sambernyawa tersebut menyampaikan kritik terhadap Aremania melalui thread yang diunggah pada Minggu (15/3) lalu.
Satu hal yang dilupakan aremania beberapa tahun terakhir adalah intropeksi ❤
— PFS! (@persisfansstyle) March 15, 2020
Kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang apik. Pesan yang disampaikan juga jelas. Semakin melegakan, banyak kalangan Aremania menyambut dengan tangan terbuka kritik tersebut di kolom komentar. Hubungan dua kelompok itu membuktikan bahwa kini suporter semakin terliterasi dan semakin cerdas.
Lagipula, menurut saya, rivalitas di era modern saat teknologi berkembang pesat seperti sekarang menjadi terlalu primitif apabila diisi dengan adu otot di tribun, di lapangan, atau di jalanan. Persaingan suporter di era media baru pun tidak lagi sebatas adu korografi dan chants saat tim mereka bertarung.
Lebih dari itu, suporter dituntut untuk menarik pertunjukkan kreativitas keluar dari tribun agar kreativitas mereka tidak selesai ketika pertempuran di lapangan hijau rampung.
Media baru telah memberi ruang baru bagi suporter untuk bersaing melalui kreativitas baru. Bisa dikatakan, masa ini menantang suporter untuk menyongsong era baru mereka melalui media dan pesan.
Suporter juga ditantang agar lebih kritis dan mampu menyampaikan pesan kritik dengan baik kepada insan sepakbola, mulai dari federasi, manajemen klub, pemain, wasit, hingga kelompok suporter lain.
Selain itu, suporter diajak untuk urun sudut pandang terkait suatu permasalahan. Dengan kata lain, saat ini peran suporter tidak hanya sebatas menjadi pemain kedua belas yang mendukung tim saat bertanding, tetapi juga menjadi agen perubahan bagi dunia persepakbolaan.