Ada jarak sekitar 1200 kilometer antara kota Marseille, Prancis, dan kota Muenchen di Jerman. Namun itu tak menghalangi suporter Olympique Marseille untuk berduyun-duyun menyambangi markas Bayern Muenchen tersebut pada 26 Mei 1993 silam.
Pasalnya, kesebelasan favorit mereka akan beraksi dalam sebuah partai megah di Stadion Olympia bertajuk final Liga Champions 1992/1993. Lawan Marseille di final adalah klub raksasa Italia sekaligus unggulan merebut trofi, AC Milan. Bagi Les Phoceens, julukan Marseille, ini merupakan momen kedua mereka menjejak final kompetisi antarklub paling prestisius di benua Eropa (sebelumnya di musim 1990/1991, tapi kalah di tangan Crvena Zvezda).
Menghadapi Milan yang dibesut Fabio Capello serta dimotori oleh Franco Baresi, Paolo Maldini, Daniele Massaro, dan Marco van Basten, Raymond Goethals di kubu Marseille mempercayai nama-nama seperti Basile Boli, Didier Deschamps, Abedi Pele, dan Rudi Voeller.
Kekuatan luar biasa yang dimiliki I Rossoneri, julukan Milan, bikin mereka sanggup mendominasi permainan sedari wasit asal Swiss, Kurt Roethlisberger, membunyikan peluit tanda pertandingan dimulai. Deschamps dan kolega lebih banyak menunggu guna melancarkan serangan balik ke lini pertahanan sang lawan yang digalang Baresi beserta kawan-kawan.
Berkali-kali Fabien Barthez, kiper Les Phoceens, dipaksa berjibaku membendung sejumlah peluang yang dibuat oleh Massaro hingga Van Basten. Ketidakmampuan Milan mencetak gol dibalas tuntas oleh Marseille yang akhirnya menggetarkan jala Sebastiano Rossi pada menit ke-43.
Berawal dari sepak pojok di sisi kiri pertahanan I Rossoneri, Boli yang ikut naik berhasil menghujamkan bola kiriman Pele via sundulan keras dan membuat Marseille unggul 1-0. Kedudukan ini sendiri bertahan sampai turun minum.
Tak ingin kalah, Milan mengubah strategi di babak kedua, termasuk menarik Roberto Donadoni dengan sosok yang sebelumnya jadi andalan Marseille selama enam musim, Jean-Pierre Papin. Sial bagi Capello, keputusannya tak membuahkan hasil lantaran anak asuh Goethals mampu mempertahankan keunggulan satu golnya sampai wasit meniup peluit panjang.
Sejarah besar di kancah sepakbola pun tercipta. Untuk pertama kalinya, Marseille mengangkat lambang supremasi tertinggi kejuaraan antarklub Eropa. Untuk kali pertama pula, kesebelasan asal Prancis melakukannya (walau sebelumnya sudah empat kali tim asal Negeri Menara Eiffel bertempur di final).
Kesuksesan Marseille ini disambut meriah, baik oleh suporter fanatik mereka maupun masyarakat Prancis pada umumnya. Puja dan puji dari seantero negeri diterima oleh Deschamps dan kawan-kawan. Namun ironis, hal itu cuma berlangsung singkat karena segala pujian yang diterima bersalin rupa menjadi caci maki selang beberapa pekan kemudian.
Skandal Suap dan Masalah Finansial di Bawah Kepemimpinan Bernard Tapie
Semenjak mengambilalih kepemilikan Marseille pada 1986, Bernard Tapie bercita-cita untuk mengembalikan Les Phoceens sebagai tim terbaik di Prancis. Berbekal pemain bintang sekelas Klaus Allofs, Alen Boksic, Boli, Deschamps, Papin, Pele, hingga Chris Waddle, hal itu sukses diwujudkan. Empat gelar Liga Prancis dan sebiji titel Piala Prancis dalam rentang 1986-1992 jadi buktinya.
Akan tetapi, ambisi Tapie tidak berhenti sampai di situ karena ia juga ingin melihat Marseille jadi kekuatan anyar di daratan Eropa. Bersaing dengan tim-tim selevel Bayern, Juventus, Liverpool, Milan, dan Real Madrid.
Saat mimpi Marseille jadi kampiun Piala/Liga Champions 1990/1991 pupus, Tapie enggan mengulanginya tatkala Deschamps dan kawan-kawan tampil di final Liga Champions 1992/1993. Maka ia mempersiapkan segalanya demi melanggenggkan ambisi tersebut. Tak terkecuali dengan cara culas.
Di Liga Prancis musim 1992/1993, Marseille bersaing ketat dengan rival bebuyutannya, Paris Saint-Germain (PSG), dalam memperebutkan gelar juara liga hingga pekan-pekan terakhir. Dalam journee ke-36 yang berlangsung pada 20 Mei 1993 atau sepekan sebelum final Liga Champions kontra Milan, Marseille kudu berduel dengan Valenciennes, klub papan bawah yang sedang berusaha keluar dari jerat relegasi.
Di atas kertas, Marseille bisa saja mengalahkan Valenciennes guna menobatkan diri sebagai jawara di Negeri Menara Eiffel tanpa harus menjalani partai hidup mati versus PSG dalam journee ke-37 yang dihelat pada 29 Mei 1993 atau tiga hari setelah berduel dengan Milan.
Namun Tapie ingin lebih dari sekadar itu. Sang patron ingin memastikan dua hal dari laga melawan Valenciennes. Pertama, memenangkan pertandingan dengan mudah sehingga Deschamps dan kolega memastikan diri sebagai kampiun Liga Prancis. Kedua, tak ada satu penggawa Marseille yang cedera saat berjumpa Les Atheniens, julukan Valenciennes, sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh jelang final Liga Champions.
Ia lantas meminta salah seorang penggawa Marseille, Jean-Jacques Eydelie, buat menghubungi dua pemain Valenciennes yakni Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert. Mereka disuap dengan uang senilai 250 ribu Franc (mata uang Prancis ketika itu) agar tak memberikan perlawanan berarti saat timnya bersua Les Phoceens.
Laga Valenciennes-Marseille pada 20 Mei 1993. Sumber: om4ever.com
Apa yang Tapie inginkan jadi kenyataan karena Valenciennes akhirnya ‘mengalah’ dengan kedudukan tipis 0-1. Angka penuh tersebut bikin raihan poin Marseille takkan mungkin dikejar oleh Les Parisiens. Selain itu, tak ada penggawa tim kepunyaannya yang mengalami gangguan fisik.
Sialnya, proses investigasi yang dilakukan secara komprehensif oleh asosiasi sepakbola Prancis (FFF) bikin Tapie tak mampu berkelit. Salah satu bukti otentik yang ditemukan pihak berwenang adalah paket senilai 250 ribu Franc di rumah salah satu penggawa Valenciennes yang disuap. Akibatnya, gelar Liga Prancis yang dipunyai Marseille dicabut oleh FFF.
Beruntung, kasus ini tidak berdampak pada titel Liga Champions yang mereka dapatkan. Namun Les Phoceens kehilangan hak untuk tampil di Piala Super Eropa 1993, Piala Interkontinental 1993, dan Liga Champions musim 1993/1994.
Makin pahit bagi Marseille, rezim Tapie juga yang bikin mereka mengalami kesulitan finansial. Tanpa ragu, FFF pun mendegradasi klub yang berdiri tahun 1899 ini secara paksa ke divisi dua per musim 1994/1995 dan mendekam di sana hingga semusim berikutnya. Segenap kasus tersebut juga mendorong Tapie untuk meninggalkan jabatannya sebagai presiden klub di tahun 1994.
Era kepemimpinan Tapie akan selalu diingat oleh fans Marseille maupun publik sepakbola dunia sebab periode tersebut sungguh penuh warna. Di satu sisi, Les Phoceens sukses memetik sejumlah trofi juara, baik di kancah domestik maupun regional, berbekal skuat penuh bintang.
Namun di sisi lain, prestasi apik itu juga diekori ironi bahwa Tapie menghalalkan segala cara demi memenuhi ambisinya, termasuk melakukan praktik suap yang merusak sportivitas, dan membuat Marseille terkena krisis finansial.