Perlunya Reshuffle di Serie A

Presiden Joko Widodo resmi melakukan perombakan (reshuffle) Kabinet Kerja jilid II per Rabu (27/2) lalu.

Salah satu keputusannya adalah mengangkat kembali Sri Mulyani Indrawati, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia, sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro yang dialihtugaskan menjadi Kepala Bappenas.

Perombakan kabinet atau reshuffle dilakukan untuk memperbaiki kinerja para menteri yang dianggap mengecewakan dan tidak menunjukkan kompetensi kerja yang memuaskan. Beberapa sektor mengalaminya, seperti di bagian Menteri Perhubungan dan Menteri ESDM, misalnya.

Lalu, apa perlunya kemudian isu reshuffle ini untuk Liga Italia Serie A musim depan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memperbarui info teranyar bahwa juara bertahan LIMA KALI di Liga Italia, Juventus FC, telah resmi mendatangkan Gonzalo Higuain, penyerang SSC Napoli, yang juga pencetak gol terbanyak Serie A musim lalu, dengan mahar hampir mencapai 94 juta euro atau setara 75 juta poundsterling.

Sebelum menebus penyerang tajam Argentina ini, Juventus sudah terlebih dahulu merampungkan transfer beberapa pemain.

Mereka adalah Dani Alves dari Barcelona (gratis), gelandang tengah Bosnia, Miralem Pjanic dari AS Roma (sekitar 35 juta euro), meminjam Medhi Benatia dari Bayern Munchen, dan mendatangkan wonderkid Kroasia yang bersinar di Euro 2016, Marko Pjaca (sekitar 27 juta euro).

Dengan aktifitas transfer ciamik seperti itu, dan membayangkan bahwa musim depan Bianconeri masih akan diperkuat kiper gaek Gianluigi Buffon di bawah mistar, trio Georginio Chiellini-Andrea Barzagli-Leonardo Bonucci di belakang, Claudio Marchisio, Sami Khedira di tengah, juga Paulo Dybala di depan, kita perlu mengapungkan isu reshuffle bagi 19 klub Italia lain di Serie A selain Juventus.

Saya berikan dua alasan. Pertama, gelagat transfer Juventus di musim panas ini menunjukkan bahwa ambisi terbesar mereka untuk musim depan bukan lagi mempertahankan gelar liga, tapi mengincar trofi tertinggi di Eropa, Liga Champions.

Bandingkan dengan klub rival Juventus lainnya yang proyeksi musim depannya (mungkin) masih sebatas mendongkel hegemoni lima musim Juventus atau minimal mengincar tiket ke kompetisi Eropa, seperti yang rutin dilakukan dua kesebelasan dari kota Milan beberapa musim terakhir.

Kedua, Juventus akan memiliki kedalaman skuat yang kemungkinan besar membuat mereka sangat sulit dikalahkan di liga. Sebagai perbandingan, sepeninggal Andrea Pirlo, Carlos Tevez, dan Arturo Vidal awal musim 2015/16 lalu, Juventus babak belur di sepuluh pertandingan pertama. Hasilnya kemudian?

Tim kota Turin ini menjuarai liga dengan keunggulan sembilan angka dari posisi kedua, Napoli. Dengan kedalaman skuat seperti yang bisa dibayangkan untuk musim depan, tidak ada alasan buat Juventus untuk keteteran membagi fokus di kompetisi domestik dan di Eropa.

BACA JUGA:  Matthijs de Ligt, Jenderal Anyar di Lini Belakang Juventus

Lalu, apa yang harus di-reshuffle dari 19 kontestan Serie A lainnya?

Pola Pikir dan Tata Kelola

Yang selalu mengherankan dari Liga Italia adalah kemampuan tim pesaing untuk berani dan mampu beriorientasi juara seperti Juventus. Saya selalu membayangkan persaingan di Serie A adalah kuda pacu di awal.

Ketika Juventus sudah menemukan ritme permainan mereka di pertengahan kompetisi, upaya para pesaing lainnya kemudian hanya sekadar mengamankan jatah tiket tampil di Eropa.

Kalau ambisi untuk lolos ke Eropa (Liga Champions dan Liga Europa) masih menjadi target realistis tim pesaing Juventus di papan atas, untuk beberapa tahun ke depan, mereka bisa mengucap selamat tinggal untuk kans mengecap gelar juara liga.

Secara pola pikir dan mentalitas saja, mereka sudah tertinggal satu bahkan dua langkah di belakang Juventus.

Tata kelola juga perlu dicermati. Dari empat tim papan atas musim lalu, hanya Juventus yang memiliki stadion sendiri. Kepemilikan sendiri mutlak diperlukan karena mereka bisa mengambil penuh keuntungan dari stadion sepenuhnya dan menggunakannya untuk kemaslahatan klub ke depannya.

Juventus sudah sejak dari tahun 2009 merencanakan pembangunan Juventus Stadium dan terealisasi di awal musim 2011/12 yang kemudian secara beruntun membuat mereka stabil secara pemasukan dan berimbas pada neraca keuangan yang positif dan stabilitas prestasi.

Di antara tiga tim selain Juventus tersebut, mungkin hanya AS Roma yang di pertengahan atau akhir tahun 2016 nanti akan meresmikan Stadio della Roma yang akan menjadi kandang resmi mereka pribadi menggantikan Stadio Olimpico.

Tapi itu pun belum cukup karena skuat Roma sendiri pun terancam memudar kekuatannya karena ditinggal banyak pemain kunci, salah satunya tentu playmaker Bosnia, Pjanic, yang hijrah ke Turin.

Kenapa memiliki stadion sendiri itu penting? Karena jelas akan mendongkrak pemasukan dan klub tidak perlu membayar uang sewa ke pemerintah kota guna perizinan menggunakan stadion.

Logika sederhananya, enak mana, punya rumah sendiri atau hanya kontrak rumah dari pihak lain? Tim sepak bola dari kota Milan pasti paham dilema seperti ini.

Kebijakan Transfer

Memang sulit menampik pesona Juventus di Italia. Saya rasa, mungkin, hampir sebagian besar pemain yang ingin bermain di Italia pasti lebih berminat bermain di Juventus daripada misal, Napoli atau Roma, apalagi duo Milan.

BACA JUGA:  BG Pathum United yang Terus Melompat

Tapi berkaca pada apa yang Giuseppe Marotta lakukan selama enam musim di Turin jelas bisa menjadi contoh konkret bahwa kebijakan transfer yang tepat bisa memberi imbas prestasi yang tak sedikit.

Masuk menggantikan Alessio Secco per Mei 2010, yang lengser usai Juventus finis di peringkat 7 akhir musim itu, Marotta membangun skuat Juventus dengan kebijakan transfer yang luar biasa ciamik.

Mencomot Andrea Pirlo dari rival AC Milan dengan gratis. Menampung si anak hilang dari Manchester, Paul Pogba, juga dengan gratis (yang desas-desusnya akan dibeli kembali si merah Manchester seharga 120 juta euro!). Lalu masih ada Fernando Llorente, Sami Khedira, dan terbaru, Dani Alves yang semuanya juga gratis.

Selain itu, eks direktur olahraga Sampdoria ini juga berhasil mendatangkan Arturo Vidal (hanya dengan banderol sekitar 10 juta euro), Carlos Tevez (hanya sekitar 7,5 juta euro), Patrice Evra (hanya 1 juta euro), dan Alvaro Morata (17 juta euro).

Semua transfer itu adalah manuver Marotta yang menjadi fondasi kesuksesan La Vecchia Signora mendominasi Italia selama lima musim beruntun.

Nah, dengan mencermati data dan kebijakan transfer Marotta dan Juventus, lalu menengok geliat transfer para rivalnya di papan atas, apa masih pantas menyandingkan Internazionale Milano (yang kerap bermasalah dengan Financial Fair Play), AC Milan (yang gemar gonta-ganti pelatih), AS Roma (yang hampir selalu kehilangan pemain terbaiknya di tiap musim), Napoli (walau sempat tampil ciamik bersama Maurizio Sarri namun kemudian tampil inkonsisten) sebagai kompetitor Juventus untuk persaingan gelar juara di musim depan?

Kesimpulannya sederhana, masih ada waktu sebulan lebih sebelum 31 Agustus 2016. Juventus masih mungkin akan kehilangan Paul Pogba, dan tim rival masih sangat mungkin melakukan manuver transfer yang tepat guna sesuai kebutuhan tim dan kebutuhan taktikal pelatih.

Karena sederet fakta di atas, saya rasa, mengapungkan isu reshuffle di pola pikir para kontestan Serie A selain Juventus adalah sebuah kewajiban. Itu pun, kalau mereka ingin membuat liga ini semakin semarak dengan aura kompetitif dan tidak hanya sekadar berebut tiket tampil di kompetisi Eropa.

Untuk 19 kontestan Serie A selain Juventus, ingat petuah utama Presiden Jokowi: kerja, kerja, kerja!

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.